Apa kabar, Fabel ?

Tak biasanya saya sedemikian terhibur saat perjalanan kereta. Itu terjadi kira-kira satu bulan yang lalu. Pasalnya, sebuah buku yang saya bawa benar-benar berhasil memecah kebosanan. Bukan novel-novel serius seperti yang biasa saya baca, melainkan sebuah karya besar Rudyard Kipling yang berisi kumpulan fabel. Novel ringan terjemahan itu berjudul Just So Story atau Sekedar Cerita. Setelah dengan cepat melahap habis semua kisah-kisah fabel yang lucu dan menggemaskan itu, saya memutuskan untuk menjadi salah satu pengagum Rudyard Kipling, yang juga tersohor saat melahirkan “The Jungle Book”.

Kemudian saya jadi berpikir-pikir sendiri; kapan terakhir kali  membaca fabel? Hmm… barangkali saat saya masih berkutat dengan masa kanak-kanak. Waktu saya masih mengidolakan kancil ataupun semut. Rasanya, sekarang kita terlampau sibuk dengan cerita cinta antara dua insan. Apakah kita sudah mengucapkan selamat tinggal pada fabel ? Padahal ia dulu sudah sedemikian amat menghibur kita. Sungguh kasihan jika sekarang ditinggalkan… 🙂

Seharusnya fabel tak hanya milik anak-anak, namun juga dapat menghibur mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak. Buktinya, saya sendiri masih merasa terhibur! Dalam diri manusia dewasa, sebenarnya pun masih tersimpan sisi kanak-kanak yang acapkali masih butuh dipuaskan.

Sebenarnya menyisihkan fabel di antara tumpukan buku-buku yang melulu berisi kisah romantika ataupun motivasi adalah semacam selingan yang dapat menjadi penyegaran. Kita akan lekas menyadari, betapa luasnya dunia tulis-menulis itu.

Fabel sendiri adalah sebuah bentuk tulisan dimana karakter-karakter yang eksis direpresentasikan pada sosok-sosok binatang. Adalah sebuah kebebasan jika nantinya binatang-binatang tersebut dapat bertingkah laku bak manusia. Saya rasa, disinilah peranan imajinasi para penulis fabel.

Satu kelebihan fabel, umumnya mengandung nilai moral positif – meski saat ini perkembangan fabel menjadi lebih modern. Sebenarnya, fabel lebih unggul daripada bacaan komik atau manga yang saat ini seringkali terlalu berlebihan. Bagaimanapun, seharusnya fabel menjadi pilihan prioritas, terutama untuk bacaan anak.

Fabel sendiri adalah bentuk literatur yang tergolong kuno, lahir sejak jenis literatur lain belum bermunculan. Fabel bahkan telah ada sejak manusia belum mengenal dunia tulis-menulis. Mulanya ia disampaikan melalui media verbal, atau cerita dari mulut ke mulut. Hampir setiap negara di dunia ini memiliki versi fabel masing-masing. Barangkali disini kita akrab dengan kancil dan mentimun. Namun saat ini fabel pun mengalami banyak perkembangan. Fabel-fabel modern jauh lebih kreatif dan membuka wawasan tanpa melupakan unsur menghibur.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang fabel dan sejarahnya, dapat  klik disini.

Apakah membuat kisah fabel itu sulit ?
Entahlah… Barangkali ini adalah persoalan pengalaman. Tapi seharusnya pun menjadi sebuah tantangan menarik. Menulis fabel dapat merangsang imajinasi supaya tak terbiasa terkekang. Melalui fabel, kita dapat menyadari, betapa luasnya lorong-lorong imajinasi manusia – jika mau digali lebih dalam.
Jujur saja, saya sendiri belum pernah menuliskannya. Tapi saya pun ingin mencobanya meski dengan kemampuan ala kadarnya. Kendati demikian, saya tak ingin menulis sendirian saja. Saya tahu bahwa aktivitas ini akan cukup menarik, menantang, dan bermanfaat positif. Maka saya tak ingin menikmatinya sendiri. Oleh karena itu, melalui #Proyekfabel, saya ingin mengajak lebih banyak penulis untuk meramaikan fabel Indonesia.

Saya sangat menyarankan mereka yang (mengaku) mencintai dunia tulis-menulis untuk berpartisipasi dalam proyek ini. Jangan dulu berdalih ‘saya tak bi(a)sa menulis fabel jika belum mencobanya. Koki masakan Eropa pun sekali waktu perlu mencoba membuat kue lemper sekedar untuk menambah wawasan dan pengalaman. 🙂 Ini adalah sebuah tantangan baru yang menarik. Anggap saja proyek ini adalah sebuah sepeda baru. Jika kita tak memiliki keberanian dan kemauan untuk mencobanya, bagaimana kita dapat mengendarai sepeda ? 🙂

Selain itu, semoga #ProyekFabel ini pun dapat menjadi penyegaran atas mainstream yang saat ini melulu menyajikan romantika dan kegalauan anak-anak manusia.

Mari mencintai imajinasi! 😀