Cerpen menulis duet @greennsubmarine dan @bintangberkisah
Katakan padaku, kau tak akan hidup selamanya. Bilang padaku, kau tak akan menjadi baik selamanya. Bilang padaku, kau akan berbuat kejahatan. Berjanjilah padaku, kau akan mengotori lembar putih hidupmu dengan coretan dosa besar. Tak perlu banyak-banyak. Satu saja. Cukup satu dosa besar, sayangku.
Diremasnya surat itu. Tidak cukup sekali, tidak cukup dengan satu tangan. Kedua tangannya meremas kuat-kuat, seolah dengan meremasnya, semua kata dan huruf yang ada di sana akan remuk tak berbentuk. Seolah dengan meremukkannya, peluru dan pecahan granat itu tak jadi menggores paru-parunya. Seolah dengan itu si pengirim surat akan kembali ke dunia fana.
Tentu saja dia akan kembali. Entah kapan dan dimana, dia pasti akan kembali. Mereka berdua percaya itu. Mereka membuai diri sendiri dengan harapan. Mereka menghidupkannya dari hari ke hari. Hingga suatu hari, dia ingin menjadi lembar putih tanpa noda. Tanpa dosa.
Ralat. Itu bukan keinginannya. Itu paksaan perang saudara yang biadab ini.
Tapi kata orang-orang, mereka bukan saudara. Dua propinsi yang bertetangga belum tentu bersaudara, kan? Bahasanya saja beda. Yang satu tidak mau bicara memakai bahasa tetangganya. Yang satu lagi juga ogah ngomong pakai bahasa yang bukan bahasanya. Padahal mereka sama-sama bisa mengerti bahasa masing-masing.
Saudara atau bukan, perang tetap perang. Tetap biadab dan kejam. Tetap abai pada cinta. Oh ya, jangan sampai kau menyebut-nyebut cinta. Salah-salah kau dianggap gila.
Cinta itu milik masa lalu. Milik bayangan teduh di bawah pohon, di sisi Barat halaman kampus, tempat untuk sembunyi dari silaunya pancaran matahari sore yang enggan pulang. Milik anak-anak muda yang bicara tentang energi kehidupan yang mengambang di setiap molekul senyum, tentang perjalanan roh setelah meninggalkan jasad membusuk, tentang kelahiran kembali, dan tentang keabadian.
**
“Siapa juga mau hidup abadi.”
“Kalau aku hidup abadi, kamu nggak mau ikutan?”
“Pertanyaan bodoh.”
“Jawaban bodoh.”
Dan mereka berdua tertawa berderai-derai.
“Aku yakin kamu dulunya kucing. Di kehidupanmu sebelum ini, kamu pasti kucing yang baiiiik banget. Setia pada tuannya. Lalu setelah mati tertabrak mobil, kebaikanmu selama menjadi kucing membuat kamu menitis ke tubuh bayi perempuan cantik bermata indah.”
“Rayuan gombal dan bertele-tele. Poinmu lima setengah.”
“Jangan pelit-pelit dong, Cinta. Ntar di kehidupanmu selanjutnya, kamu turun pangkat, lho. Menitis jadi binatang lagi. Trus gimana aku bakal mencarimu?”
“Makanya jangan bodoh-bodoh banget dong, Sayang. Ntar di kehidupanmu selanjutnya kamu menitis jadi keledai atau udang.”
“Nggak apa-apa. Selama kamu jadi udang juga.”
“Tapi kalau aku jadi manusia? Jadi koki seafood, misalnya?” godanya. Mata kucingnya mengedip jahil.
“Sebagai udang yang baik, aku mati demi melanggengkan karir sang koki. Maka ketika rohku lepas dari tubuh udang, aku segera menitis ke dalam tubuh bayi tampan. Dan kau koki manis,” dia mengangkat dagu gadisnya dengan lembut, “Jangan buru-buru mati. Tunggu aku. Aku akan datang membawa cinta.”
“Lalu aku, koki setengah baya, pacaran dengan cowok ingusan ini?” katanya sambil mencubit pipi sang kekasih.
“Cinta tidak kenal usia.”
“Cinta itu abadi. Cinta kita abadi.”
Keduanya saling bertukar senyum. Matahari meluncur di ufuk Barat, cahayanya pelan-pelan disedot senja. Tak lama lagi senyum sepasang kekasih itu ditelan pula oleh gelapnya, menyisakan sekedar siluet kelabu. Tak lebih dan tak kurang.
“Gimana kalau kita ganti skenario?”
“Maksudmu?”
Si gadis menoleh ke arah matahari yang lenyap di cakrawala.
“Gimana kalau kita berdua jadi orang baik, suci tanpa dosa, lalu kita tak perlu lahir kembali ke dunia? Kita cari keabadian di nirwana.”
“Kau tahu tingkat kemustahilan skenariomu? Sepuluh dari skala 1 – 10. Kita manusia biasa. Dosa itu wajar buat manusia. Tanpa dosa? Ah …” matanya menelusuri siluet gadis yang dicintainya, “aku mau menanggung dosa apa saja asal bisa bersamamu.”
Kini giliran mata si gadis yang menapaki siluet kekasihnya.
“Kalau begitu, tidak ada cara lain. Kita harus kompak. Jangan ada yang main malaikat di antara kita.”
“Dan jangan ada yang main setan di antara kita. Dosa kita harus sama besarnya.”
“Jangan ada yang coba-coba nyasar ke nirwana.”
“Kita berdua akan abadi di dunia fana.”
“Mati dan hidup lagi, dan mati lagi…”
“… dan hidup lagi…”
“… untuk mencarimu…”
“… untuk bersamamu…”
“… selamanya.”
Tapi adakah hak manusia untuk berkata ‘selamanya’?
Maukah dunia fana menjamin bahwa janji akan ditepati? Perang merusak segalanya tanpa sisa. Tak terkecuali janji yang terucap di bawah pohon kala senja tak bernama. Apalah artinya janji itu dibanding konflik etnis panjang dan sporadis? Sepenting apakah dia dibanding euphoria setelah lepas dari kuasa rezim otoriter? Seberapa berartikah dia dibanding urusan politik propinsi-propinsi yang menjelma menjadi negara-negara merdeka?
Dia menjadi tak lebih berarti daripada debu mesiu. Dan keabadian di dunia fana menjadi utopia.
**
Aku tak bisa menghitung berapa kali aku lolos melewati perbatasan dan kembali lagi ke negaraku. Sudah terlalu sering. Penjagaan mereka ketat? Omong kosong. Mereka memang menggeledah barang bawaan dan pakaian setiap orang yang mau lewat, melecehkan wanita-wanita kami di sela-sela penggeledahan, dan menembaki siapa saja yang nekat lari menerobos pagar berduri. Tapi aku bisa berhasil menyeberang. Aku dan belasan pemuda lain selalu lolos.
Awalnya kami cuma ingin melanggar jam malam dan menjajal penjagaan perbatasan mereka. Setelah sampai di negara keparat ini, kami jadi punya ide baru. Kami tulis kebiadaban mereka di dinding-dinding kota dan jalan aspal mereka. Biar mereka tahu kalau kami bukan bangsa rendahan yang bisa seenaknya mereka hina. Bahkan pintu-pintu rumah kami coret dengan tanda X besar-besar. Penghuninya pasti ketakutan, menyangka mereka bakal menjadi korban terror kami. Padahal kami sama sekali tak kenal mereka. Kami tak ada urusan dengan mereka. Kami hanya anak-anak muda bersenjata cat semprot. Kami habiskan isi cat dengan menulis semua kata makian yang kami tahu. Puas sekali rasanya malam itu.
Tentu saja mereka marah. Penjagaan perbatasan diperketat. Penggeledahan dipertegas. Jam malam diperpanjang. Tank-tank wara-wiri dan puluhan tembakan diobral. Kami mendidih.
Kami kembali ke sana. Tak puas hanya dengan mencoret tembok, kami merobek bendera mereka menjadi serpihan-serpihan kecil. Kalian kira kami takut pada peluru dan tank-tank kalian? Puah. Kami bakal bikin kalian seperti sobekan bendera konyolmu itu!
Kami kembali dan kembali lagi. Kami lumuri patung pahlawan mereka dengan tai kambing. Kamu tak pantas disebut pahlawan. Apa jasamu? Kamu menyerah ke rezim setan itu. Kamu bahkan menyeret kami. Kamu yang bikin diktator bajingan itu memerah darah kami. Pahlawan? Kambing kami lebih mulia dibanding kamu. Dan sekarang, anak cucumu tak juga berhenti menembaki kami. Maka terimalah ini.
Kami kencingi bangku-bangku rumah ibadahmu. Kami robek dan cacah kitab suci agamamu. Dan kau, kalian semua lihat sendiri kan? Tuhan kalian tidak bisa apa-apa. Tuhan kalian yang menyebut kami sesat, kafir, bodoh, lalu membunuhi kami satu per satu itu tidak bisa apa-apa.
Bukan kami yang sesat. Kalianlah yang iblis. Kalian semua iblis!!!
Kecuali dia.
Tanpa setahu teman-teman, aku selalu mengawasi rumahnya. Tapi rumah itu kosong. Perkampungan kecil itu kosong. Ke mana kau pergi, kekasih? Kenapa kau buru-buru pergi? Kenapa kau tak menunggu aku datang menjemputmu? Akan kubawa kau pergi dari negeri biadab ini. Kita berdua akan meninggalkan perang terkutuk ini.
Kita akan mati dan hidup lagi bukan sebagai musuh.
Ah, kenapa kau mesti terlahir dari bangsa mereka? Lima tahun lalu itu tak ada artinya. Kita masih bisa bercanda di halaman kampusmu. Kau masih ingat teman-teman kita yang suka berpuisi panjang-panjang itu? Kita tetap saling memuji meskipun satu-dua dari kita makan rumput. Kita saling ledek meskipun tahu satu-dua dari kita berdarah biru. Kita bicara dengan dua bahasa. Kita lupa kalau kita berbeda bangsa dan agama.
Dan bagian hidup kita yang itu bukan mimpi. Sulit dipercaya memang. Perang ini juga bukan mimpi. Perang ini sangat nyata.
Ia menjadi semakin nyata saat kumasuki rumahmu yang kini dihuni laba-laba. Ke mana kau pergi? Apakah pemerintahmu membunuhi orang-orang sepertimu? Orang-orang yang pernah berjabat mesra dengan bangsaku? Semoga kau terlahir kembali bukan sebagai bayi mereka. Aku telanjur membenci bangsa itu dengan seluruh nafasku. Jangan mati selagi kau masih bayi. Tunggu aku. Aku akan menemukanmu, sayang.
**
Bau anyir dan obat. Anyir darah bisa ada di jalan atau di pematang sawah. Tapi bau obat hanya ada di rumah sakit. Ngapain aku di rumah sakit?
Samar-samar terdengar suara raungan dan jeritan. Di sela-sela itu, samar kudengar suara perempuan. Suara itu seperti kukenal. Tapi telingaku tidak bisa mendengarnya jelas. Mungkin aku harus mencari sumber suara itu.
Aku menoleh ke kanan. Tidak ada perempuan di sana. Yang kulihat adalah seorang lelaki terbaring. Tangannya dibebat perban putih. Rambutnya panjang, kemerahan bekas disengat matahari. Sepertinya aku kenal dia. Tahi lalat besar di daun telinga … ah ya. Dia tetanggaku, temanku melempar bom. Lemparannya sering meleset. Dia cuma pintar melumuri patung dengan tahi kambing dan merobek bendera. Dan sekarang dia cuma pintar merintih dan mengutuki bangsa mereka.
Anehnya, aku tak terlalu ingin mengutuk mereka saat ini. Setidaknya mereka menyerang saat kami benar-benar siap. Paling tidak ada pertempuran sejati, bukan sekedar mereka melempari sawah dan kebun dengan granat atau menembaki wanita-wanita kami. Cukup sepadan dengan bom yang kami lempar selama dua bulan terakhir. Tapi sekarang giliran granat mereka yang menggasak kampung kami.
Aku ingat desisnya di kolong meja. Nyaring seperti ular marah. Aku melompat lewat jendela ketika desisnya habis. Mungkin juga aku tak sempat melompat. Entahlah. Yang jelas, kini sudut bibir dan pipi kiriku perih dan …oh, ternyata hanya satu mataku yang terbuka. Dunia di sebelah kiriku gelap gulita. Kenapa ya? Aku menoleh ke kiri. Perih menyengat leherku seketika. Tak perlu diterangkan. Aku sudah bisa menebak bagian mana yang terkoyak. Melihat dengan satu mata itu tidak mudah. Tapi aku harus melihat semua yang terjadi di sini.
Disana kulihat teman sekolahku. Wajahnya masih tampan, meskipun kulitnya tergores di sana-sini. Selimut yang bagian bawah tubuhnya tampak menyembunyikan sesuatu di tempat kakinya seharusnya berada. Sesuatu itu tampak gemuk dan … pendek. Pendek bukan kata yang tepat untuk menggambarkan dia. Dari dulu, sejak kami masih kecil, dia pelari tercepat. Apalagi kalau soal mengejar layang-layang putus. Dia juga yang mengenalkan aku pada benang gelasan tertajam di langit. Dia memang jagoan. Dia tak pernah membeli layang-layang, karena yang dia pakai adalah milik lawan-lawan yang ditaklukkannya. Tanda tangannya menari-nari di angkasa. Tiga bulan lalu, dia mengenalkan aku pada benda baru. Bubuk mesiu. Kami pun langsung akrab.
Di samping tempat tidurnya, kulihat gadis berbaju perawat berdiri memunggungiku. Rambut coklatnya diikat asal-asalan, ujungnya menyentuh tengkuk putih. Aku kenal warna rambut itu. Aku pernah kenal tengkuk itu. Itu tengkuk yang dulu kugelitik dengan ujung rumput. Itu tengkuk yang dulu kukalungi lengan setiap aku ingin berbisik, dan pemiliknya mendorongku sambil berkata, “Aku tahu kau mau bilang apa. Tidak perlu bilang lagi, aku sudah percaya kok. Dan nggak perlu bisik-bisik, kan?” Ah, dia selalu bisa membaca pikiranku. Bisakah dia membaca pikiranku sekarang?
Dia berbalik. Tubuh yang dibungkus seragam kedodoran itu menghadap ke arahku. Dengan satu mata, aku berusaha mengingat-ingat logo yang ada di dada seragamnya. Sebetulnya tidak terlalu sulit. Logo itu beberapa kali mampir di ingatanku pada berbagai warna seragam petugas medis yang wira-wiri di sini sejak perang berkobar. Oh ya. Logo Palang Merah Internasional.
Bosan dengan logo itu, mataku menapaki leher, dagu, ke atas, mencari tanda lain yang kukenal. Mau tak mau, mataku berhenti di matanya. Aku kenal mata itu, sangat kenal. Mungkin jauh sebelum aku lahir di sini, di negeri ini, aku telah mengenal mata itu. Mata itu masih seindah dulu. Mata kucing yang sedang mengamati lengan kiriku.
Sekilas kulihat bibirnya bergerak, tapi aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Tak masalah. Aku bisa membaca gerak bibir. Itu warisan tak ternilai dari ibuku yang tuli.
“Sudah saatnya diganti,” kata bibir itu.
Dia menoleh ke samping, ada semacam meja dorong kecil berisi perban dan mungkin obat-obatan. Tangannya sibuk disana. Aku juga kenal tangan itu. Aku kenal tanda lahir di punggung tangan, memanjang dari bawah pangkal ibu jari hingga pergelangan tangan. Dulu aku suka menggambarinya dengan spidol, membuatnya mirip peta kedua propinsi kami.
Pemilik tangan itu bergerak ke arahku. Mata kananku menelusuri lengan putih pucat itu hingga ke wajahnya. Ia melihat senyum di sana. Apakah senyum itu mengenaliku?
Kulihat senyum itu menghilang bersamaan dengan mata indah yang berubah membelalak.
Bibirnya membentuk kata, “Kau?”
“Hai,” jawabku.
**
Bintang-bintang tampak menari dengan gemerlapan di atas sehamparan permadani gulita, namun tak juga sanggup menggusur kegalauanku. Meski tubuhku terbaring tengadah di atas rerumputan di bukit ini, sebenarnya aku tak benar-benar merasa rileks. Pikiranku seperti seekor kucing yang bermain-main dengan benang ruwet yang terulur panjang. Kegelisahanku kian menggejolak. Setelah lima hari mendekam di camp perawatan, menikmati senyumnya, mereguk keramahannya, mendekap kelembutannya, tiba-tiba tadi sore dia berbisik padaku bahwa aku harus segera berkemas untuk pergi. Yang lebih mengejutkan lagi, dia bahkan telah mempersiapkan semuanya; menata perbekalanku, hingga menggambarkan peta ‘jalur aman’ padaku.
“Kamu nggak bisa terus-terusan disini. Kamu bukan bagian dari kami, meski kami adalah netral. Aku mohon, pergilah besok, pagi-pagi sekali, sebelum mereka datang untuk menginspeksi. Jadwalnya besok. Jadi jangan sampai kau diketemukan oleh mereka. Aku tak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu. Percayalah, dengarkan aku.” Raut wajahnya demikian memelas, seolah-olah tiap katanya adalah permohonan, sementara hanya aku yang sanggup memberi permakbulan.
“Tapi… tapi… aku harus pergi kemana? Aku sudah tak lagi punya tujuan. Kupikir aku sudah menemukan tujuanku, disini. Kamu adalah tujuan hidupku. Aku tak lagi butuh kemana-mana. Biar saja mereka menemukanku, aku tak gentar. Oke?”
“Jangan berkata begitu. Kamu terlalu berharga untuk menjadi mangsa mereka. Kalau memang aku adalah tujuan hidupmu, maka turuti semua kata-kataku,” katanya sembari membeliakkan kedua mata kucingnya, seolah-olah aku adalah anak nakal yang kedapatan membuat keonaran. “Aku sudah menyiapkan semuanya. Pergilah melalui jalur aman yang sudah kutunjukkan padamu, sampai kau tiba di sebuah rumah bercat kelabu, tak terlalu jauh dari peternakan. Disana masih aman. Kau akan menemui Josan disana. Setelah kau menyerahkan suratku padanya, biarkan dia yang mengurusmu. Percayakan saja semua padanya.”
“Tunggu… Siapa Josan?”
Tiba-tiba wajahnya semburat merah. Ia seperti merasa kikuk ketika aku bertanya tentang sebuah nama yang tiba-tiba dia sebutkan, kemudian bergaung-gaung di antara pembicaraan kami. Sejenak ia tertunduk, seperti menyembunyikan kilap perasaannya di hadapanku. Setelah terdiam beberapa lama, baru ia sudi menjawabku.
“Maafkan aku… Tapi kita sudah berpisah sedemikian lama. Aku tak bisa mengelak dari takdir. Tak ada waktu untuk menjelaskan semuanya. Josan adalah suamiku. Tapi percayalah, dia laki-laki yang baik…”
Mendengarnya menyebut kata suami, aku serasa lupa dengan pedihnya serpihan bom molotov yang menggores kulitku, juga lupa dengan segala rasa sakit yang kudapat sepanjang perang berkecamuk. Sebuah luka baru menghunjam tepat di ulu hatiku. Kali ini, rasa sakit yang kurasakan seolah nyaris membunuhku. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh kenyataan pahit yang baru saja kudengar dari mulutnya sendiri. Ingin rasanya aku menghancurluluhkan dia yang telah menghancurluluhkan hatiku. Sudah sekian lama aku mencarinya, berjuang untuk mendapatkannya, namun dia malah mengkhianatiku dengan menikah bersama orang lain. Tapi lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa padanya selain diam terpaku dengan rasa terbakar di dalam hati. Rasa cintaku yang mengalahkan kemarahanku.
“Kau… Kau mengkhianatiku…” gumamku lirih. Tapi aku pun tak bermaksud untuk menyalahkannya.
“Apa kau anggap bahwa apa yang kulakukan adalah sebuah dosa? Maafkan aku, kalau begitu…” katanya lagi. Aku sama sekali tak habis pikir, dia dapat mengatakan itu dengan entengnya. “Tapi asal kau tahu, tak sedetikpun aku melupakanmu. Tak sedetikpun aku mengkhianati cinta kita. Keadaanlah yang memaksa… Mengertilah…”
Aku terdiam. Kami terdiam. Bisu menjadi satu-satunya penyelamat kami atas rasa bersalah yang mulai menggerogoti kesadaran kami.
**
Ada alasan yang kuat mengapa pada akhirnya aku mengalah untuk menuruti semua kata-katanya. Pelarianku bukan sekedar untuk penyelamatanku semata. Aku penasaran. Aku ingin melihat seperti apakah sosok Josan, yang sebegitu hebatnya hingga berhasil merebut hati Anna, kekasihku. Jika perlu, aku akan menghabisinya. Dia adalah musuhku. Musuh negaraku. Musuh bagi cintaku. Lagipula, ini jaman perang. Sah-sah saja jika aku membunuhnya, kan? Aku bisa membuat berbagai alasan hingga Anna dapat kembali lagi bersamaku. Cintaku yang telah lama menghilang akan segera kudapatkan.
Jalur aman yang diberikan Anna benar-benar membuat perjalananku terasa aman. Dua hari mengandalkan tapak-tapak kaki, akhirnya sampai juga aku ke tempat tujuan. Rumah tua bercat kelabu yang sangat sederhana itu tampak sepi. Hanya asap membumbung yang kulihat, berasal dari tumpukan sampah daun kering dan jerami yang dibakar di sisi timur pekarangan. Tak ada tanda-tanda keberadaan manusia, sehingga kesenyapan kawasan yang jauh dari perkampungan penduduk itu hanya diramaikan oleh ayam-ayam ternak yang berseliweran di halaman dan membuang kotoran seenaknya di lantai teras yang penuh debu. Kuputuskan untuk melangkah mendekat, mengetuk pintu kayu yang terlihat lapuk dan kusam.
Seorang laki-laki tegap bercambang tipis membuka pintu. Usianya tampak sedikit lebih tua dariku. Ia sembari menggendong seorang bocah berusia sekitar dua tahunan, yang sedikit terisak-isak entah karena apa. Bola matanya yang tajam menatap curiga padaku. Tapi kubalasi dia dengan senyuman, dan segera kurogoh saku celanaku, mengambil titipan surat untuknya.
“Surat ini untuk Josan…” kataku sambil menunduk memberi hormat.
Dia masih memandangiku dengan curiga meski tangan kanannya meraih surat itu dariku. Segera ia robek amplopnya dengan agak kesusahan, karena tangan kirinya harus menggendong bocah yang masih terisak-isak itu. Setelah membuka lembar surat, ia membacanya dengan singkat. Kemudian kembali menatapku. Kali ini tatapannya sedikit lebih ramah.
“Masuklah…” Ia mempersilakanku.
Hanya ada satu lampu yang tak terlalu terang di rumah itu, terletak di ruang tengah yang tertata serampangan. Suasana di rumah itu benar-benar terlihat muram, seperti telah lama tak mendapat sentuhan perempuan. Begitu kusam, hingga terlihat kawanan laba-laba mendekam di beberapa sudut ruangan. Aku duduk di sofa usang yang telah dihiasi beberapa lobang hingga busanya mencuat keluar. Meja di hadapanku tak tertutup taplak, dan hanya ada sebuah mangkuk bekas makanan balita di atasnya. Dia pamit sejenak, berlalu meninggalkanku menuju ruang belakang, kemudian kembali sembari membawakan segelas teh hangat untukku.
“Nyamankan dulu dirimu, aku akan menyiapkan makanan terlebih dulu,” ujarnya sambil tersenyum. Kemudian lagi-lagi dia meninggalkanku, masuk ke sebuah kamar. Tak lama, beberapa menit kemudian, ia keluar sambil mendorong hati-hati seorang lelaki tua yang kurus dan pucat di kursi roda. Mereka menuju kamar mandi.
Baru setelah menyelesaikan segala urusan ‘rumah tangganya’, lelaki yang kuduga bernama Josan itu kembali menemuiku, mengajakku makan siang dengan menu ala kadarnya. Setelah itu kami bercakap-cakap sambil berharap kantuk segera datang. Sembari mengobrol, dia kembali meraih bocah yang semula bermain-main di atas ambin di pojok ruangan. Dipangkunya bocah itu sambil menyodorkan sebotol susu. Bocah itu menghisap dot dengan rakus. Susunya tandas tak bersisa. Kemudian tak lama, kulihat mata bocah itu sudah mulai mengantuk.
“Siapa anak itu?” tanyaku, dengan nada sedikit kaku.
“Oh, tentu saja dia anakku dengan Anna,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Dia adalah anak paling tabah karena harus berpisah dengan ibunya yang sibuk menjalankan tugas,” jelasnya. Tak ada rasa sesal sedikitpun dalam tiap katanya, sehingga aku hanya bisa mengangguk-angguk.
“Lantas, siapakah lelaki tua yang duduk di kursi roda itu?” selidikku, masih dengan rasa penasaran.
“Dia adalah ayah Anna. Kedua kakinya pernah menginjak ranjau sehingga beliau tak lagi bisa berjalan. Padahal beliau hanya sekedar peternak yang hendak menghalau kambing-kambingnya. Tapi demikianlah perang, tak pandang bulu pada siapapun. Tak ada yang bisa disalahkan meski aku terpaksa harus berjauhan dengan istriku. Apapun bisa terenggut sewaktu-waktu.”
Setiap penuturan lelaki sederhana di hadapanku ini membuatku terhenyak. Pengetahuan baru yang kuketahui bahkan membuatku lupa dengan tujuan awal mulaku – ingin menghabisinya. Bagaimana mungkin aku dapat membunuh lelaki yang memilih berjuang dengan caranya sendiri untuk menghidupi istrinya – yang adalah kekasihku? Benar kata Anna, dia adalah laki-laki yang baik. Tak seharusnya aku memupuk dendam padanya. Apapun alasan pernikahan mereka, kenyataan sekarang membuatku bertekuk lutut pada kemanusiaan. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Josan memang lebih tepat bagi Anna ketimbang diriku. Setidaknya, dia tak egois sepertiku. Aku hanyalah seorang tak berguna, pecundang perang, budak nafsu, manusia iblis, generasi terkutuk. Seharusnya aku mati saja tertembak. Seharusnya Anna tak perlu menyelamatkanku, mengobatiku. Tapi Andai aku punya kesempatan menitis kembali ke kehidupan selanjutnya, aku akan memperbaiki semuanya. Aku takkan membiarkannya pergi meninggalkanku dan hidup menderita. Persetan dengan segala jenis perang dan kemunafikan.
Dua hari kemudian, bahkan sebelum fajar menyingsing, aku memutuskan pergi diam-diam. Tak ada gunanya bagiku menjadi beban bagi Josan, meski dia berjanji hendak mengantarkanku ke perbatasan dengan selamat. Aku tak lagi butuh keselamatan. Aku tak lagi berhasrat dengan misi awalku. Satu-satunya yang kuinginkan adalah segera menemui Anna, membawanya pergi dari daerah rawan itu, dan mempertemukannya kembali dengan keluarganya.
Namun alangkah terkejutnya aku ketika akhir perjalananku justru mempertemukanku dengan keadaan camp medis yang telah hancur berantakan, porak poranda. Barak-barak yang dulu kujumpai telah roboh, sekadar menyisakan puing-puing kayu dan batu bata yang berserakan. Debu-debu kotor membumbung memenuhi udara senja, seolah mengabarkan banyak tangis dan kematian yang sempat kulewatkan. Ini sungguhan biadab. Bukankah seharusnya camp ini netral? Jika mereka sampai merusak tempat ini, berarti mereka adalah pihakku.
Tulang-tulang lututku seperti terlepas dari persendian. Yang bisa kulakukan sekedar menggigit bibirku hingga berdarah. Mataku serasa terbakar oleh pedihnya amarah yang kutahan-tahan. Nafasku bahkan terasa sesak, aku tercekik oleh kenyataan pahit. Tak ada seorangpun yang dapat kutemui untuk menjelaskan semua ini. Aku hanya dapat terpekur menatap langit yang kemerahan, menghitung kawanan burung yang pulang ke sarang dengan pikiran kosong. Hari beranjak malam, tapi aku tak lagi peduli dengan suasana yang mulai terasa mencekam. Aku telah kehilangan semuanya. Aku telah mati rasa. Tapi kesadaranku segera pulih saat tiba-tiba kudengar suara peluru berdesingan menyerbuku. Refleks aku lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Sialnya, salah satu peluru itu menyerempet pelipisku, juga menghunjam dada kiriku. Aku tak lagi kuat bertahan. Perlahan aku roboh. Aku akan mati. Pergi. Siapa tahu akan hidup lagi. Menjumpai dia yang tersemat di hati. Mati. Mati. Ma ti.
**

picture taken from : fineartamerica.com
Tapi aku hidup lagi. Atau sepertinya tak jadi mati. Saat pertama kali membuka mata, suasana di sekitarku masih mengembalikan ingatan terakhirku. Deretan ranjang darurat yang berisi pasien perang, mangkuk-mangkuk aluminium berisi bubur beras dan sebutir telur rebus, hilir mudik petugas medis dengan langkah kaki terburu-buru, bau penicilin bercampur amoniak, tempat sampah yang penuh dengan perban-perban bernoda darah, namun tak sekalipun kulihat Anna. Dimanakah dia berada? Bukankah seharusnya dia ada disini?
Seorang petugas medis perempuan dengan raut wajahnya yang manis datang menghampiriku. Ia bermurah hati menyediakan sesungging senyuman untukku. Tapi aku bahkan tak sanggup membalasnya. Bibirku kaku demi menahan luka yang hampir mengering.
“Ah, rupanya kau sudah sadar… Bersyukurlah karena ternyata kau selamat. Ketika kami menemukanmu, kami pikir kau takkan selamat. Keadaanmu sangat kritis. Tapi dokter bekerja keras untuk menolongmu mengeluarkan peluru yang sempat bercokol di dadamu. Kau akan segera baik-baik saja.”
Tatapan petugas medis itu begitu lembut, namun aku seolah kehilangan kewarasan untuk sekedar membalas sikap baiknya. Ingatan-ingatan dalam kepalaku berloncatan, membuatku merasa sedikit pusing dan tak bisa berpikir lebih banyak.
“Hei, kau masih ingat semuanya, bukan? Apa kau masih mengenalku? Aku adalah sahabat Anna, dan aku tahu bahwa kau pun adalah teman Anna… Kau pernah dirawat di camp sana, bukan?” katanya lagi, kali ini terlihat sedikit khawatir karena aku tak juga merespon seperti yang diharapkannya. Mungkin dia pikir kejiwaanku telah terganggu.
Mendengar nama Anna disebut, aku nyaris terlonjak. Bahkan namanya saja membuat jantungku berdetak-detak, dan nyaris tersedak oleh nafasku sendiri.
“Anna… Dimana dia?” Tanyaku tergesa, dengan suara parau.
Perempuan itu tak segera menjawab, melainkan malah diam sejenak sembari menghela nafas berat. Seketika firasatku merasa tak enak.
“Rupanya Anna tahu bahwa harinya akan segera tiba. Dia pun seperti punya firasat bahwa kau akan kembali kesini. Maafkan, Anna telah lebih dulu pergi ke surga. Dia tak terselamatkan saat peristiwa mengerikan itu terjadi. Mereka benar-benar membabi buta. Anna sempat sekarat, tapi dia sempatkan pula menuliskan surat untukmu, yang kemudian dia titipkan padaku. Tunggu sebentar, aku akan segera mengambilnya.”
Setelah mengatakan kabar duka yang merobek-robek harapanku, perempuan muda itu segera berlalu dari hadapanku. Tak lama, ia kembali lagi sambil membawa sepucuk surat yang segera diserahkannya padaku. Lekas kubaca surat dengan beberapa baris tulisan tangan Anna. Selanjutnya, aku tak lagi ingat semuanya. Dunia ini tiba-tiba senyap, gelap, sementara aku terjerembab dan hanya mendengar suaraku sendiri yang melolong-lolong. Aku tahu ini bukan akhir dari segalanya. Anna akan hidup kembali. Saat ini, jiwanya pasti sedang mencari tubuh baru untuknya menitis, supaya kami dapat bertemu kembali. Bukankah demikian janji kami?
Seketika itu juga, aku tahu apa yang harus segera kulakukan. Aku tak lagi sudi menyia-nyiakan waktu. ****