Nikah

“Kalau aku nggak boleh kawin dengan Hans, lebih baik aku mati sajaaa…. Huhuhuuu….”

Brakk! Pintu kamar tertutup keras, nyaris menggoncangkan apa saja, termasuk hati setiap manusia yang mendengarkannya. Sarwendah segera menggedor-gedor pintu, sementara Ngatiman hanya sanggup bisu sembari mengisap rokoknya dalam-dalam. Pikirannya sedang tak karuan.

“Bagaimana ini, Pak? Aku sudah kehabisan akal buat ngatasin anak perempuanmu yang keras kepala ini. Rasanya percuma saja kita bersikukuh menentang kemauannya,” keluh Sarwendah pada Ngatiman. Ia sudah di ambang putus asa, karena bahkan membujuk Sari membuka pintu kamar pun ia tak lagi mampu.

“Ah, Bu… Cobalah kau bujuk sekali lagi… Pelan-pelan saja…” timpal Ngatiman, masih kokoh pada pendiriannya. Ia benar-benar merasa gusar karena Sari ngotot ingin kawin dengan Hans, sosok laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya, tak jelas asal-usulnya. Padahal ia sudah mempersiapkan seorang calon yang hebat untuk putri semata wayangnya.

“Sari, dengarkan Ibu dulu, Nak… Cobalah kau mengenal Dimas lebih dulu. Dia anak yang baik, mapan, dari keluarga yang terpandang. Kalau kau memang tidak suka, kami tidak akan memaksa. Tapi cobalah dulu temui dia… Kasihan lho, sudah jauh-jauh datang tapi malah tidak kamu temui.” Sarwendah mencoba sekali lagi membujuk rayu dari balik pintu jati yang terkunci rapat.

Kan sudah kubilang, aku tak mau dengan Dimas. Pilihanku hanya Hans, Bu! Hans Hans Hans titik! Kalau Bapak dan Ibu terus memaksa, lebih baik aku bunuh diri sekarang!”

“Wah, NdukNduk… Jangan nekat, Nduk!” Sarwendah panik. Ia terus menggedor-gedor pintu sambil menoleh pada Ngatiman, yang juga mulai tertular kepanikan dan bangkit menghampiri Sarwendah di muka pintu kamar Sari. “Baiklah, Nduk… Kami turuti apa maumu. Dimas akan kami suruh pulang. Sekarang keluarlah. Mari bicarakan masalah pernikahanmu dengan Hans.” Akhirnya Sarwendah dan Ngatiman mengalah.

Tak seberapa lama, pintu kamar terbuka pelan-pelan. Sari muncul dengan muka yang sembab. Sorot matanya hanya berisi penderitaan. Tapi kemudian ia mulai dapat tersenyum sedikit demi sedikit.

“Sebaiknya kau ajak kemari dulu pacarmu yang bernama Hans. Kami ingin mengenalnya terlebih dulu, atau setidaknya membicarakan soal rencana pernikahan,” Kata Ngatiman dengan nada yang lunak. Ia sadar bahwa hati anaknya sedang seperti selembar kaca tipis.

Tiba-tiba Sari merengut. “Tentu saja Hans tidak bisa kemari, Pak. Dia orang Belanda. Tapi Bapak dan Ibu tak perlu khawatir. Kami sudah membicarakan semuanya. Bapak dan Ibu tinggal siapkan hari ijab kabulnya saja. Nanti dia pasti akan datang. Dia sibuk sekali…”

“Tapi, Nak… Kan tidak bisa begitu juga…” Sarwendah merasa keberatan. Bagaimanapun, Menurut Sarwendah, ide Sari tergolong nekat.

“Oke, lebih baik aku bunuh diri saja!” potong Sari sengit.

“Baiklah… Baiklah… Kami akan turuti maumu.” kata Sarwendah lekas-lekas.

***

Seminggu kemudian, di hari ijab kabul yang sederhana dan tampak tergesa-gesa, semua perangkat telah siap. Sementara Sari tampak tersipu-sipu dengan gaun kebaya putihnya, Ngatiman dan Sarwendah justru terserang rasa gelisah.

“Bagaimana? Mana calon mempelai prianya? Sudah jam 11 siang. Apa masih ada di perjalanan?” tanya Penghulu, yang tampak sudah tak sabar.

“Oh ya, tunggu sebentar ya, Pak…” jawab Sari dengan suaranya yang lembut dan riang, seolah-olah ia baru saja teringat sesuatu. Kemudian ia beranjak dan pergi menuju kamarnya.

Selang lima menit kemudian, Sari kembali ke ruang tamu, tempat acara sakral diselenggarakan. Kali ini ia datang dengan membawa laptopnya.

“Sari! Apa-apaan kamu! Masa di acara segenting ini malah mau main laptop!” Hardik Sarwendah setengah berbisik. Ia tampak gusar dengan kelakuan anaknya yang menurutnya tidak pada tempatnya.

“Tapi, Bu… Sari harus membuka laptopnya…” bantah Sari dengan setengah berbisik, membuat Sarwendah semakin tidak habis mengerti.

Di hadapan para hadirin, dengan tanpa merasa canggung, Sari membuka dan menghidupkan laptopnya. “Pak Penghulu, mari kita mulai acaranya. Hans sudah siap. Kami berdua sudah siap,” kata Sari sambil tersenyum pada Pak Penghulu.

Kemudian ia mengaktifkan aplikasi Skype. ***

cyber education silhouette

Tobat

“Te, hari ini rame, ya?” tanya Dahlia alias Darsih, pada Mawar alias Marni. Tapi Dahlia cukup memanggil Mawar dengan sebutan ‘Lonte’; sebuah panggilan akrab yang sudah lazim dan tak memberatkan hati.

“Wah, payahh… Cuma dapet lima buntut! Itupun nawar abis-abisan… Kalau begini terus, bisa-bisa kita cuman makan daun nih…” keluh Mawar. “Kamu sendiri, Rek?” Mawar balik bertanya pada Dahlia, yang biasa dipanggil ‘Perek’.

“Hari ini aku nggak dinas. Biasalah…. periksa ke klinik,” jawab Dahlia sembari mengipas-ngipasi dirinya dengan sebuah kipas plastik. Hari yang begitu panas membuatnya kegerahan teramat sangat.

“Kalau nggak salah baru minggu kemarin kamu ke klinik. Kok sekarang ke klinik lagi? Kamu nggak sampai kena raja singa kan, Rek?” Tanya Mawar penasaran dan antusias. Berbeda dengan Dahlia, Mawar tak lagi merasa terlalu gerah karena ia bahkan hanya memakai kutangnya saja.

“Nggak lah… Steril, tahu….” Kilah Dahlia. “Eh, ngomong-ngomong, mulai minggu depan dinas sosial mau mendatangkan pak kiai dan suruh kita-kita ikut pengajian. Sudah dengar, kan?” Dahlia mengalihkan pembicaraan. Ia menyelonjorkan kedua kakinya di ambin sempit, apek, dan keras yang biasa mereka tiduri berdua.

“Wah… modarrr kita! Bisa kobong nih… Makin lama makin kurang kerjaan amat sih orang-orang dinas sosial itu. Percumaa nggak bergunaaa!!! Kalo cuman mau bikin kita tobat, kenapa nggak sekalian kawinin kita-kita sama pak kiai aja, huh!” Mawar mulai sewot. Raut wajahnya sampai berkerut-merut, tak indah sama sekali. Usia tuanya yang sudah nyaris empat puluh tahun tak lagi dapat ia sembunyikan.

“Ya maklum lah, Te… Harga bensin sekarang sudah selangit. Tapi kabarnya gaji pegawai nggak naik. Makanya, mereka makin sibuk bikin proyek. Yaahh, kayak begini ini nih macam proyeknya. Kita-kita mah cuman bisa pasrah jadi obyek garapan proyek…”

“Memang nasib, Rek… Sekali jadi lonte pasar, selamanya jadi lonte pasar. Biar jaman berubah jadi surga, kita toh tetap cari makan dari selangkangan yang udah basi. Masih untung bisa beli makan, asal nggak ngunyah kutu aja, hahahaa…”

“Iya, kutu kupret yang bisanya cuman ngutang, hahahaa….”

***

Satu bulan kemudian…

“Lho… lho… Mau kemana, Rek? Kok kemas-kemas masukin baju ke koper segala… Mau pulang kampung? Sudah lapor sama mami?” Mawar terkejut saat masuk ke dalam kamar dan melihat Dahlia sedang memasukkan pakaian-pakaiannya di lemari ke dalam koper butut.

“Aku mau hidup di pesantren, Te…” jawab Dahlia singkat, masih sambil memberesi barang-barangnya yang hanya sedikit.

“Heh, kamu nggak sedang ngigau kan? Maksudmu apa? Bener serius?? Apa gara-gara kamu rajin ikut pengajian pak kiai itu? Wah, kamu pasti sudah naksir dan jatuh cinta sama pak kiai itu, ya… Memang sih, dia ganteng. Tapi harusnya kamu ngaca, dong… Eling, hal yang mustahil kalau dia sampai mau ngelirik kamu!” Mawar tampak tidak suka dengan gelagat Dahlia.

“Yaa… siapa tahu dengan hidup di pesantren bisa jodoh sama pak kiai, hihihii…” jawab Dahlia asal, sambil terkikik. “Wong pak kiai sendiri yang nawarin aku buat hidup di pesantren, kok… Janjinya, aku nggak bakal dianiaya. Lagian, aku sudah capek hidup begini-begini terus. Pengen ganti suasana lah…” sambungnya, kali ini sambil menatap serius ke arah Mawar. Ia sudah selesai mengemasi barangnya dan bersiap hendak pergi meninggalkan Mawar yang masih terperangah.

“Eh.. eh.. eh.. tapi nggak bisa begitu juga, dong… Trus, gimana dengan Darman? Masa kamu rela mengkhianati dia? Sudah dua tahun dia jadi pelanggan setiamu. Katanya, minggu depan dia mau ngelamar kamu, lho! Kalau kamu pergi, aku harus bilang apa ke Darman? Aku nggak enak sama dia. Selama ini kan dia selalu baik sama kita…” Mawar mulai merajuk. Ia tampak amat khawatir.

“Bilang aja kalau aku sudah tobat. Gitu aja kok repot,” kata Dahlia tanpa beban. Ia beranjak memeluk Mawar yang masih berdiri mematung di depan pintu kamar, mencium pipi kanan kirinya, kemudian mengeloyor pergi begitu saja.

“Wahh… Modaarr akuu!!!” ujar Mawar sambil menepuk jidatnya. Ia benar-benar shock dengan kepergian Dahlia, terutama karena teringat dengan segepok uang yang pernah Darman berikan untuk membuat Dahlia mau menerima Darman, duda 60 tahun yang kaya raya dan punya banyak anak buah, sebagai suaminya. Mawar pun teringat sebuah ancaman yang mengincar keselamatannya. Pasalnya, uang itu telah ludes di meja judi.***

Note :
Kobong : Terbakar (bahasa Jawa)
Modar  aku!: Mati aku! (prokem; bahasa Jawa)
Eling : Ingat (bahasa Jawa)

Travel with you…

gambar dari: upload.wikimedia.org

gambar dari: upload.wikimedia.org

 

“I want to travel around the world only with @zhienjie.”

Jie terkaget saat membaca kalimat tersebut di tab mention. Satu kalimat yang cukup membuat darah di sekujur tubuh Jie berdesir dan memberi sensasi hangat di kedua pipinya yang mulai merona. Jie membalas mention tersebut.

“I do too.”
Reply

Beberapa saat kemudian, LED merah berkelap-kelip di sudut kanan atas BlackBerrynya. Bukan mention baru di twitter, tapi satu pesan di BBM.

“So, will you travel around the world only with me?”

Jie hanya tersenyum simpul dan mengetik, “For sure!”

Percakapan di BBM berlanjut, dan Jie semakin terlarut. Ia seakan lupa pada bentang jarak yang memisahkan dirinya dengan Zack. Jie juga mulai mengabaikan kalau Zack hanyalah teman baiknya di dunia maya yang belum pernah bertemu sekali pun di dunia nyata. Ia berpikir bahwa percakapan tersebut hanya sekadar keisengan pengisi waktu luang. Bagaimana mungkin dia dan Zack bisa berkeliling dunia bersama — sementara mereka belum pernah bertemu sebelumnya?

Jam  sudah menunjukkan pukul satu tengah malam, dan Jie baru saja ‘berpamitan’ dengan Zack di BBM. Ia merebahkan tubuhnya, tapi masih memikirkan Zack dan rencana mereka untuk keliling dunia bersama. Apa itu mungkin?Apa Zack sebaik yang kukenal di dunia maya? Bagaimana kalo Zack hanya ingin memperdayaiku? Berbagai pertanyaan dalam benaknya berkelebat, menahan kantuknya.

Tahun 2009, Jie menemukan Zack Wijaya — sosok asing yang meminta pertemanan dengannya di akun Facebook. Dengan sembarangan dan tanpa maksud apa-apa, Jie menerima pertemanan itu. Mulanya mereka sekadar saling menyapa, kemudian saling bercerita, membagi apa saja. Apalagi foto profil Zack terlihat begitu tampan. Jie semakin merasa nyaman dengan kehadiran Zack. Seiring waktu, dan seiring bertambahnya kedekatan mereka di dunia maya, Jie dan Zack tak hanya sekadar dihubungkan oleh Facebook semata, tapi mulai merambah ke Twitter, hingga BBM. Zack pun semakin sering meneleponnya, setidaknya seminggu sekali.

Jie semakin merasa bahwa kehadiran Zack memiliki arti yang istimewa dalam mengisi hari-harinya. Saat sedang gundah, Zack adalah orang pertama yang menjadi tempat curahan hatinya. Saat sedang sakit, Zack pun tak segan memberi perhatian intens melalui telepon-teleponnya. Zack seolah memiliki kepekaan yang tinggi saat ia sedang senang ataupun sedih, tanpa Jie perlu memberi tahunya terlebih dulu. Jie merasakan sebuah ikatan batin di antara mereka berdua. Lamat-lamat, muncul keraguan dan kegundahan dalam hati Jie. Apakah ia benar sedang jatuh cinta pada Zack? Perempuan mana yang tidak akan terbuai dengan perhatian berlebihan dari seorang lelaki yang secara intens menjadi bagian dari hidupnya selama lebih dari 3 tahun? Batinnya tak henti-henti bertanya-tanya dan menjawab-jawab sesuai prasangkanya sendiri.



Namun kisah cinta ini seolah begitu sederhana. Gayung bersambut, karena pada akhirnya Zack pun mengungkapkan perasaan cintanya pada Jie.

“Bagaimana mungkin kamu bisa jatuh cinta pada seseorang yang belum pernah sekali pun bertatap muka denganmu? Bagaimana jika aku bukanlah seperti yang kamu bayangkan selama ini? Bagaimana kita bisa menjalin hubungan yang absurd?” Berbagai pertanyaan berhamburan dari mulut Jie, sesaat setelah Zack mengakui perasaan cintanya di telepon. Akal sehatnya yang menggiring sikapnya untuk menampik cinta Zack. Jie masih merasa tak siap dengan hubungan yang di matanya terasa absurd.

Tapi rupanya Zack mampu bersikap dewasa. Dia bukanlah lelaki yang memperlakukan Jie sebagai musuhnya ketika cintanya ditolak. Mereka berdua malah bersepakat untuk merasa cukup dengan sekadar menjadi teman baik. Kenyataannya, hubungan pertemanan mereka memang menjadi semakin baik, semakin dekat. Setidaknya sampai malam ini, ketika Zie dibuatnya tak bisa tidur memikirkan keseriusan rencana traveling bersama Zack.

“Kita ke Batam lalu menyeberang ke Singapura dengan kapal ferry. Setelah itu naik sleeping bus ke Malaysia, lalu ke Thailand,” jelas Zack, dalam pembicaraan telepon mereka.

“Kenapa rutenya panjang begitu? Aku bisa mabuk laut loh kalo harus nyebrang ke Singapura naik kapal ferry.”

“Tenang saja, Jie. Kalau di sampingku, kamu pasti nggak bakal mabuk laut. Bahuku ini akan menjadi tempatmu bersandar saat menikmati sapuan ombak di laut.” Zack mulai mengeluarkan jurus rayuannya.

“Ihh apaan sih? Aku memang nggak suka naik kapal. Dulu, waktu SD, aku…”

“Iya, dulu waktu SD kamu pernah mabuk laut parah sampe muntah-muntah kan?”

“Kok kamu tahu sih?”

“Kamu kan udah pernah cerita, Jie. Waktu SMA juga kamu urung ikutan study tour karena harus naik kapal laut. Waktu itu kamu sampai dimarahi wali kelas dan dikasih nilai merah di raport. Hihii…”

Ihh ngeledek! Ngeselin tahu gak?” Jie pura-pura merasa kesal.

“Hahahaha, becanda kok, Jie. Becanda. Lagian udah gede masih aja takut naik kapal laut? Gimana mo ngarungi bahtera rumah tangga bareng aku?”

“Apa? Kamu barusan ngomong apa? Ihh! Aku  delete dari kontak BBM, lho ya…”

“Hihihi… judes banget. Becanda, sayang, eh Jie. Jadi, intinya kamu tenang aja, ntar aku jamin kamu gak bakalan mabuk laut. Bukan traveler namanya kalo maunya naik alat transportasi yang enak-enak aja. Malah dengan merasakan semua jenis alat transportasi, perjalanan itu akan semakin hidup dan berkesan. Don’t you think so?”

“Iya deh iya. Aku mau aja naik kapal laut. Tapi janji yah aku gak bakalan mabuk laut.”

“Yap! Cinta ini jaminannya. Eh..”

“Ihh!”

“Becanda! Bobo gih sana, besok pagi aku telepon, yah. Mimpi indah, Jie. Semoga gak mabuk laut di mimpinya.”

“Iya, kapten!”

Jie masih tersenyum-senyum sendiri setelah membaca lagi kutipan percakapan dengan Zack di BBM.

“Ke Thailand bareng dia, mungkinkah?” — Itulah twit terakhir yang diposting Jie sebelum memutuskan untuk tidur.

“Hooooaaam… Semoga gak mabuk laut di mimpi.” Ucap Jie pelan, mengutip kembali ucapan Zack di BBM, sambil menyelimuti badannya.

Jie terlonjak dari atas kasur saat mendengar handphone berdering. “Sial! Siapa yang sepagi ini udah nelpon? Ganggu orang lagi tidur aja.” Umpatnya dalam hati.
Dengan gerakan malas, diraihnya handphone yang diletakkan di atas meja belajar di sebelah kasur.

***

“Hallo, selamat pagi, Jie. Gimana mimpinya? Gak mabuk laut, kan?” Suara yang tak asing terdengar di ujung telepon.

“Ihh! Masih pagi loh, Zack! Kenapa udah ngajak orang berantem sih?” Jawab Jie ketus sambil menguap.

“Hmm, aku cuma mo minta kepastian aja nih tentang rencana traveling kita. Kalau deal, pagi ini aku bisa atur itinerary-nya supaya ntar gak ribet. Dua minggu lagi kita berangkat.”

“Hah? Dua minggu lagi? Duh, Zack! Aku mikir-mikir dulu, yah. Gak mungkin lah secepat ini aku langsung jawab iya.”

“Oke, kamu mikir-mikir dulu aja yah, Jie. Ntar jam 10 aku telepon kamu lagi dan kepastiannya harus sudah ada. Oke?”

“Iya…iya.”

Percakapan di telepon berakhir seiring hilangnya rasa kantuk Jie. Dia mulai memikirkan tentang rencana traveling ini.
2 minggu lagi? Duh! Apa aku sudah siap? Batin Jie, masih merasa bimbang dengan rencana yang baginya sedikit gila.

***

 

Satu hari sebelum keberangkatan…

Jie kaget karena mendengar dering handphone nyaring di sebelahnya. Pasalnya, ia sedang asyik melamun, membayangkan kisah perjalanan yang menyenangkan bersama Zack.

“Hallo, Jie… Lagi di mana?” Seperti biasa, suara Zack yang menyapanya terdengar lembut di telinga.

“Lagi di rumah aja. Tumben, masih sore sudah nelpon. Biasanya…”

“Sedang sibuk?” Zack cepat-cepat memotong ucapan Jie.

“Nggak, kok. Lagi nonton Korea aja…” Jawab Jie berbohong, karena nyatanya ia sedang tak menonton televisi.

“Oke sip! Kalau begitu, aku tunggu sekarang juga di kafe Waroeng Kopi, ya… Sudah pasti kamu tahu tempatnya, kan? Cepat, ya… SEKARANG!”

“Eh, tapi….” Jie semakin terkejut dan keheranan. Tentu saja ia tahu betul kafe Waroeng Kopi, sebuah kafe yang cukup terkenal di kotanya, terutama di kalangan anak muda. Yang membuat Jie terkejut, bagaimana mungkin Zack tiba-tiba menyuruhnya ke sana? Apakah Zack sedang berada di sana saat ini? Mengapa mendadak sekali? Mengapa tak memberi tahunya lebih dulu? Tapi… bukankah tempat tinggal Zack sangat jauh dari kota tempat tinggal Jie? Berbagai tanda tanya meruapi benak Jie tak sudah-sudah. Namun demi segera mendapat jawaban, akhirnya Jie memutuskan untuk bersiap dan segera meluncur ke tempat yang dijanjikan Zack.

Sosok pria jangkung dengan kepalanya yang nyaris plontos melambai ke arah Jie yang sedang berdiri di tengah deretan meja kursi café sambil celingak-celinguk menyapu ruangan, mencari seseorang. Jie sempat merasa tak yakin, namun toh ia pun melangkah mendekat ke arah lelaki yang melambai itu, yang duduk sendirian di salah satu kursi di deretan utara café, bersebelahan dengan jendela besar. Pancaran keemasan matahari sore membuat siluet tubuhnya tampak kokoh. Jie tersenyum. Ia mulai merasa yakin bahwa sosok tersebut adalah Zack, yang sedang menunggunya.

Detik-detik pertama, Jie sedikit kikuk di hadapan Zack. Namun lekas ia dapat menguasai diri dan segera duduk. Kedua mata mereka sempat bertatap-tatapan, dan dalam hati, Jie merasa sedikit girang. Setidaknya, kini ia tahu bahwa ternyata Zack bukanlah seorang penipu. Foto-foto yang pernah dilihatnya di halaman Facebook Zack tak terlalu jauh berbeda. Penampilan Zack secara nyata tak terlalu buruk, bahkan boleh dibilang cukup tampan. Meski demikian, Jie masih merasa ragu. Seolah-olah Zack menjelma menjadi seorang yang benar-benar asing. Jie merasa, dunia nyata yang sedang dirasakannya kali ini terpisah begitu jauh dengan dunia maya yang telah sekian lama diselaminya.

“Kenapa bengong begitu, Cantik? Ah, jangan-jangan kamu mulai naksir aku, ya… heheee….” Zack yang pertama kali memecahkan keheningan di antara mereka. Dan tak jauh dari dunia maya, ternyata Zack pun masih senang menggodanya. Jie sedikit gugup, terutama setelah Zack melemparkan senyum menggoda ke arahnya.

“Ih, GeeR banget sih, kamu! Siapa yang naksir? Aku cuman kaget aja… Nggak nyangka kalau pertemuan kita begitu mendadak seperti ini… Kamu sengaja ke sini untuk menemui aku atau karena kebetulan ada acara di sini?” Jie mencoba untuk melenturkan kekakuannya, bersikap sewajar mungkin. Bagaimanapun, ia harus menjaga imagenya.

“Tentu saja aku ke sini hanya untuk menemui kamu, Sayang… Aku ingin bersama-sama kamu sejak awal pemberangkatan travelling kita. Besok, kan?”

“Eh, mmm….”

“Kamu mau makan atau minum aja di sini?” Zack tak memberi kesempatan Jie untuk berkata-kata lebih banyak. Inisiatifnya begitu menggebu-gebu, seolah tak peduli pada perasaan Jie.

“Minum saja. Aku nggak lapar, kok.”

“Oke. Setelah itu kita ke mana? Ayo dong! Ajak aku ke tempat paling romantis di kota ini. Duduk-duduk di kafe aja mah nggak seru!” Zack terlihat makin agresif. Ia mengerling ke arah Jie, sambil sebelah alisnya dinaik-naikkan demi menggoda Jie. Senyumnya pun tak ketinggalan.

“Mau kemana?”

“Lha, kok malah nanya aku? Kan kamu yang punya kota…”

“Mmmm… kemana yaa…” Jie mulai berpikir mencari ide. “Oh ya, aku tahu! Bagaimana kalau ke pantai saja? Nggak jauh, kok. Hanya 15 menit. Apalagi sore-sore begini, asyik banget, deh!” kata Jie dengan mata berbinar-binar. Kini, ia mulai terbiasa dengan kehadiran Zack, tak lagi merasa canggung.

“Oke sip! Kalau begitu cepat minumnya, ya… Eh, pelan-pelan, ding… Soalnya nanti bisa berabe kalau kamu pingsan di sini karena kesedak cappuchinno, hahahaa….” Kelakar Zack, yang diakhiri dengan derai  tawanya yang terdengar renyah di telinga Jie.

 

“Kok kamu nggak pernah cerita sih, kalau ada pantai yang indah begini di sini.” Kata Zack, usai mereka berjalan-jalan menyusuri bibir pantai, dan kemudian memilih duduk di atas pasir hitam yang bersih sambil memandangi anak-anak nelayan yang sedang bermain layangan. Tinggi matahari sudah sepenggalah, sehingga mata mereka tak mau beralih dari cakrawala, menunggu saat-saat matahari tenggelam sempurna.

“Abis kamu nggak nanya juga, sih…” jawab Jie asal-asalan.

“Idiih… Masa kamu nggak punya inisiatif untuk mempromosikan kotamu, sih… Payah!”
“Hahahaa… Soalnya aku nggak merasa punya kepentingan untuk mempromosikan keindahan kotaku sama kamu.” Sekarang giliran Jie yang mempermainkan Zack. Tentu saja maksudnya hanya bercanda.

“Oh, gitu! Awas, yaa…! Eh, tapi ngomong-ngomong sejauh mana persiapan kamu besok? Aku sudah bawa ranselku sekalian lho…”

“Oh ya? Di mana ranselmu?”

“Di hotel, lah… Nanti kubuktikan, kalau kamu nggak percaya. Tapi nanti malam kamu temani aku tidur di hotel, ya…”

“Eh, maksudmu apa?” Tiba-tiba Jie mulai merasa was-was. Ia menangkap maksud tak baik dari ucapan Zack.

“Hehee… nggak ada maksud apa-apa. Tapi masa sih, kamu tega biarin aku tidur sendirian di hotel? Orang seganteng aku kalau sendirian bisa diculik, loh… Memangnya kamu mau tanggung jawab, gituh? Jadi, temani aku, ya… Oke, Sayang?”

Setelah berkata demikian, Zack bergeser semakin merapatkan duduknya di samping Jie. Kini, ia bahkan tak segan melingkarkan tangan kirinya pada pinggang Jie. Redupnya cahaya senja yang memayungi mereka membuat Zack selangkah lebih berani. Ia bermaksud untuk mengecup pipi kanan Jie, namun Jie buru-buru berdiri dan menepis Zack.

“Maaf, Zack… Kurasa kita baru benar-benar saling mengenal meski kita sudah saling berhubungan di dunia maya cukup lama. Jadi, maukah kau menghormatiku?” Jie mulai berkata-kata tegas.

Sejenak Zack tertegun memandangi Jie yang kini sudah berdiri di hadapannya. Namun lekas ia menetralisir keadaan dengan mengukir senyum di wajahnya. Ia berharap sikap Jie sedikit melunak.

“Oh, maaf kalo gitu… Tentu saja aku menghormatimu. Tapi aku mencintai kamu, Jie. Kau kan tahu, sejak awal mula aku mencintai kamu. Dan sampai sekarang kita bertemu, aku juga masih tetap mencintai kamu.” Kali ini, kata-kata Zack terdengar lebih serius.

“Terima kasih atas cintamu, Zack. Tapi please… Sudikah kamu mencintai aku dengan cara yang baik? Bersikaplah yang baik terhadapku. Aku juga akan menghormatimu.”

Sejenak ada jeda kesenyapan di antara mereka. Kemudian Zack bangkit berdiri setelah membersihkan bagian belakangnya dari pasir. Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, tatapan Zack beralih ke arah cakrawala. Setelah menarik nafas dalam, kemudian ia berkata, “Apakah kalau aku mencintaimu dengan cara yang baik kau akan menerimaku?”

Jie tak segera menjawab. Ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam hatinya.

“Terlalu dini untuk memutuskannya, Zack… Tapi, apa kamu akan menyerah kalau aku tak dapat memberikan jawaban itu sekarang?” tanya Jie lirih. “Oh ya, soal rencana travelling kita, maafkan aku, Zack. Sepertinya aku belum bisa… Tapi jika kamu sudah membeli tiket-tiketnya, nanti aku ganti. Jangan khawatir. Memang salahku yang tak memberi tahu kamu jauh-jauh hari…” tutur Jie. Kali ini, Jie merasa lebih mantap membuat sebuah keputusan meski ada sedikit perasaan tak enak di hatinya. Sebuah keputusan spontan yang ia yakin adalah yang terbaik baginya.

Semula Jie menduga bahwa ia akan segera mendapati seraut kekecewaan di wajah Zack. Namun rupanya Zack justru memberikan sikap berbeda.

“Tak apa, Jie… Aku mengerti, kok… Kamu nggak perlu ganti tiketnya.” Kata Zack dengan suara yang lunak. “Aku juga nggak akan menyerah, Jie. Meski ini adalah penolakan kedua darimu, aku tetap nggak akan menyerah. Aku justru mendapat banyak pelajaran darimu. Aku jadi semakin yakin, bahwa kamu adalah sosok perempuan yang harus kukejar hingga penghabisan. Aku janji akan mengikuti semua aturan mainmu asal kau masih memberiku kesempatan.”

Kali ini, Jie menatap lembut ke arah Zack. Ia merasa lega mendengar perkataan Zack. Pelan-pelan, Jie mulai mengembangkan senyumnya. Senyum yang menyaingi pesona jingga keemasan yang sedang ditebar lelangit tak berbatas. “Kesempatan itu selalu ada, Zack… Menjadi teman atau sahabat adalah kesempatan terbaik dari sebuah cinta yang diperjuangkan. Manfaatkanlah kesempatan itu. Lagipula, kau kan suka travelling. Anggap saja bahwa kesempatan kita berteman ini adalah sebuah travelling hati sebelum sampai pada titik cinta, sebagai tujuan akhir.”

I Love you, Jie. I love the way you do… So, let’s travel to the love, Dear…” kata Zack sambil tersenyum. Kali ini, senyumnya bahkan tinggal lebih lama di kedua bibir tipisnya.

“Jie, kau lihat karang yang tinggi di sebelah sana?” kata Zack tiba-tiba sambil menunjuk ke barat, dimana terdapat sebuah batu karang yang menjulang di tengah lautan. “Seperti itulah kamu. Indah, namun kokoh dan kuat. Jie, aku akan menjadi lautan untuk dapat memelukmu dan meluluhkan hatimu.”

“Hahaha…. gombal aja, teruuuusss…” Tawa Jie meledak mendengar kata-kata puitis yang diucapkan Zack.

Seiring cahaya yang makin memudar, mereka mulai beranjak meninggalkan hamparan pantai yang kini hanya diriuhkan oleh suara debur ombak. Anak-anak nelayan itu sudah pulang, burung-burung itu pun tak lagi kelihatan. Namun tawa mereka masih menjadi penawar kesenyapan semesta. Tawa yang tak lagi mengandung beban selain ketulusan. ***

 

 

Cerpen kolaborasi @sindyshaen dan Bintang Berkisah

Editor : Bintang Berkisah

Lomba Resensi #SCUK

Dear kawan,

Sudah membaca novel terbaru saya Surat Cinta untuk Kisha? Jika belum, segera dapatkan di toko-toko buku terdekat, atau dapat dipesan melalui online disini.

Selain lomba menulis surat balasan untuk Ramu, Saya pun mengadakan lomba membuat resensi/review untuk novel tersebut.

Syaratnya :

  • Silakan berteman dahulu dengan Bintang Berkisah di akun FaceBook.
  • Tulis resensi/review #SCUK mu di note facebook, kemudian tagging minimal 10 kawanmu (termasuk Bintang Berkisah). Ini syarat wajib.
  • Atau posting resensi/review #SCUK mu di blog, kemudian mention link pada @bintangberkisah (twitter). Ini syarat tak wajib, tapi punya nilai tambah jika dipenuhi. 😀
  • Akan lebih bagus lagi jika menyertakan fotomu bersama novel #SCUK di resensimu. Ini bukan syarat wajib, tapi punya nilai tambah jika dipenuhi. 😀
  • Deadline hingga 15 Mei 2013.
  • Pengumuman pemenang pada 20 Mei 2013.

 

Khusus lomba ini, saya menyediakan hadiah uang tunai Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) untuk satu orang pemenang.

 

Selamat meresensi! 😀

samsara

Cerpen menulis duet @greennsubmarine dan @bintangberkisah 

Katakan padaku, kau tak akan hidup selamanya. Bilang padaku, kau tak akan menjadi baik selamanya. Bilang padaku, kau akan berbuat kejahatan. Berjanjilah padaku, kau akan mengotori lembar putih hidupmu dengan coretan dosa besar. Tak perlu banyak-banyak. Satu saja. Cukup satu dosa besar, sayangku.

Diremasnya surat itu. Tidak cukup sekali, tidak cukup dengan satu tangan. Kedua tangannya meremas kuat-kuat, seolah dengan meremasnya, semua kata dan huruf yang ada di sana akan remuk tak berbentuk. Seolah dengan meremukkannya, peluru dan pecahan granat itu tak jadi menggores paru-parunya. Seolah dengan itu si pengirim surat akan kembali ke dunia fana.

Tentu saja dia akan kembali. Entah kapan dan dimana, dia pasti akan kembali. Mereka berdua percaya itu. Mereka membuai diri sendiri dengan harapan. Mereka menghidupkannya dari hari ke hari. Hingga suatu hari, dia ingin menjadi lembar putih tanpa noda. Tanpa dosa.

Ralat. Itu bukan keinginannya. Itu paksaan perang saudara yang biadab ini.

Tapi kata orang-orang, mereka bukan saudara.  Dua propinsi yang bertetangga belum tentu bersaudara, kan? Bahasanya saja beda. Yang satu tidak mau bicara memakai bahasa tetangganya. Yang satu lagi juga ogah ngomong pakai bahasa yang bukan bahasanya. Padahal mereka sama-sama bisa mengerti bahasa masing-masing.

Saudara atau bukan, perang tetap perang. Tetap biadab dan kejam. Tetap abai pada cinta. Oh ya, jangan sampai kau menyebut-nyebut cinta. Salah-salah kau dianggap gila.

Cinta itu milik masa lalu. Milik bayangan teduh di bawah pohon, di sisi Barat halaman kampus, tempat untuk sembunyi dari silaunya pancaran matahari sore yang enggan pulang. Milik anak-anak muda yang bicara tentang energi kehidupan yang mengambang di setiap molekul senyum, tentang perjalanan roh setelah meninggalkan jasad membusuk, tentang kelahiran kembali, dan tentang keabadian.

**

“Siapa juga mau hidup abadi.”

“Kalau aku hidup abadi, kamu nggak mau ikutan?”

“Pertanyaan bodoh.”

“Jawaban bodoh.”

Dan mereka berdua tertawa berderai-derai.

“Aku yakin kamu dulunya kucing. Di kehidupanmu sebelum ini, kamu pasti kucing yang baiiiik banget. Setia pada tuannya. Lalu setelah mati tertabrak mobil, kebaikanmu selama menjadi kucing membuat kamu menitis ke tubuh bayi perempuan cantik bermata indah.”

“Rayuan gombal dan bertele-tele. Poinmu lima setengah.”

“Jangan pelit-pelit dong, Cinta. Ntar di kehidupanmu selanjutnya, kamu turun pangkat, lho. Menitis jadi binatang lagi. Trus gimana aku bakal mencarimu?”

“Makanya jangan bodoh-bodoh banget dong, Sayang. Ntar di kehidupanmu selanjutnya kamu menitis jadi keledai atau udang.”

“Nggak apa-apa. Selama kamu jadi udang juga.”

“Tapi kalau aku jadi manusia? Jadi koki seafood, misalnya?” godanya. Mata kucingnya mengedip jahil.

“Sebagai udang yang baik, aku mati demi melanggengkan karir sang koki. Maka ketika rohku lepas dari tubuh udang, aku segera menitis ke dalam tubuh bayi tampan. Dan kau koki manis,” dia mengangkat dagu gadisnya dengan lembut, “Jangan buru-buru mati. Tunggu aku. Aku akan datang membawa cinta.”

“Lalu aku, koki setengah baya, pacaran dengan cowok ingusan ini?” katanya sambil mencubit pipi sang kekasih.

“Cinta tidak kenal usia.”

“Cinta itu abadi. Cinta kita abadi.”

Keduanya saling bertukar senyum. Matahari meluncur di ufuk Barat, cahayanya pelan-pelan disedot senja. Tak lama lagi senyum sepasang kekasih itu ditelan pula oleh gelapnya, menyisakan sekedar siluet kelabu. Tak lebih dan tak kurang.

“Gimana kalau kita ganti skenario?”

“Maksudmu?”

Si gadis menoleh ke arah matahari yang lenyap di cakrawala.

“Gimana kalau kita berdua jadi orang baik, suci tanpa dosa, lalu kita tak perlu lahir kembali ke dunia? Kita cari keabadian di nirwana.”

“Kau tahu tingkat kemustahilan skenariomu? Sepuluh dari skala 1 – 10. Kita manusia biasa. Dosa itu wajar buat manusia. Tanpa dosa? Ah …” matanya menelusuri siluet gadis yang dicintainya, “aku mau menanggung dosa apa saja asal bisa bersamamu.”

Kini giliran mata si gadis yang menapaki siluet kekasihnya.

“Kalau begitu, tidak ada cara lain. Kita harus kompak. Jangan ada yang main malaikat di antara kita.”

“Dan jangan ada yang main setan di antara kita. Dosa kita harus sama besarnya.”

“Jangan ada yang coba-coba nyasar ke nirwana.”

“Kita berdua akan abadi di dunia fana.”

“Mati dan hidup lagi, dan mati lagi…”

“… dan hidup lagi…”

“… untuk mencarimu…”

“… untuk bersamamu…”

“… selamanya.”

Tapi adakah hak manusia untuk berkata ‘selamanya’?

Maukah dunia fana menjamin bahwa janji akan ditepati? Perang merusak segalanya tanpa sisa. Tak terkecuali janji yang terucap di bawah pohon kala senja tak bernama. Apalah artinya janji itu dibanding konflik etnis panjang dan sporadis? Sepenting apakah dia dibanding euphoria setelah lepas dari kuasa rezim otoriter? Seberapa berartikah dia dibanding urusan politik propinsi-propinsi yang menjelma menjadi negara-negara merdeka?

Dia menjadi tak lebih berarti daripada debu mesiu. Dan keabadian di dunia fana menjadi utopia.

**

 

Aku tak bisa menghitung berapa kali aku lolos melewati perbatasan dan kembali lagi ke negaraku. Sudah terlalu sering. Penjagaan mereka ketat? Omong kosong. Mereka memang menggeledah barang bawaan dan pakaian setiap orang yang mau lewat, melecehkan wanita-wanita kami di sela-sela penggeledahan, dan menembaki siapa saja yang nekat lari menerobos pagar berduri. Tapi aku bisa berhasil menyeberang. Aku dan belasan pemuda lain selalu lolos.

Awalnya kami cuma ingin melanggar jam malam dan menjajal penjagaan perbatasan mereka. Setelah sampai di negara keparat ini, kami jadi punya ide baru. Kami tulis kebiadaban mereka di dinding-dinding kota dan jalan aspal mereka. Biar mereka tahu kalau kami bukan bangsa rendahan yang bisa seenaknya mereka hina. Bahkan pintu-pintu rumah kami coret dengan tanda X besar-besar. Penghuninya pasti ketakutan, menyangka mereka bakal menjadi korban terror kami. Padahal kami sama sekali tak kenal mereka. Kami tak ada urusan dengan mereka. Kami hanya anak-anak muda bersenjata cat semprot. Kami habiskan isi cat dengan menulis semua kata makian yang kami tahu. Puas sekali rasanya malam itu.

Tentu saja mereka marah. Penjagaan perbatasan diperketat. Penggeledahan dipertegas. Jam malam diperpanjang. Tank-tank wara-wiri dan puluhan tembakan diobral. Kami mendidih.

Kami kembali ke sana. Tak puas hanya dengan mencoret tembok, kami merobek bendera mereka menjadi serpihan-serpihan kecil. Kalian kira kami takut pada peluru dan tank-tank kalian? Puah. Kami bakal bikin kalian seperti sobekan bendera konyolmu itu!

Kami kembali dan kembali lagi. Kami lumuri patung pahlawan mereka dengan tai kambing. Kamu tak pantas disebut pahlawan. Apa jasamu? Kamu menyerah ke rezim setan itu. Kamu bahkan menyeret kami. Kamu yang bikin diktator bajingan itu memerah darah kami. Pahlawan? Kambing kami lebih mulia dibanding kamu. Dan sekarang, anak cucumu tak juga berhenti menembaki kami. Maka terimalah ini.

Kami kencingi bangku-bangku rumah ibadahmu. Kami robek dan cacah kitab suci agamamu. Dan kau, kalian semua lihat sendiri kan? Tuhan kalian tidak bisa apa-apa. Tuhan kalian yang menyebut kami sesat, kafir, bodoh, lalu membunuhi kami satu per satu itu tidak bisa apa-apa.

Bukan kami yang sesat. Kalianlah yang iblis. Kalian semua iblis!!!

Kecuali dia.

Tanpa setahu teman-teman, aku selalu mengawasi rumahnya. Tapi rumah itu kosong. Perkampungan kecil itu kosong. Ke mana kau pergi, kekasih? Kenapa kau buru-buru pergi? Kenapa kau tak menunggu aku datang menjemputmu? Akan kubawa kau pergi dari negeri biadab ini. Kita berdua akan meninggalkan perang terkutuk ini.

Kita akan mati dan hidup lagi bukan sebagai musuh.

Ah, kenapa kau mesti terlahir dari bangsa mereka? Lima tahun lalu itu tak ada artinya. Kita masih bisa bercanda di halaman kampusmu. Kau masih ingat teman-teman kita yang suka berpuisi panjang-panjang itu? Kita tetap saling memuji meskipun satu-dua dari kita makan rumput. Kita saling ledek meskipun tahu satu-dua dari kita berdarah biru. Kita bicara dengan dua bahasa. Kita lupa kalau kita berbeda bangsa dan agama.

Dan bagian hidup kita yang itu bukan mimpi. Sulit dipercaya memang. Perang ini juga bukan mimpi. Perang ini sangat nyata.

Ia menjadi semakin nyata saat kumasuki rumahmu yang kini dihuni laba-laba. Ke mana kau pergi? Apakah pemerintahmu membunuhi orang-orang sepertimu? Orang-orang yang pernah berjabat mesra dengan bangsaku? Semoga kau terlahir kembali bukan sebagai bayi mereka. Aku telanjur membenci bangsa itu dengan seluruh nafasku. Jangan mati selagi kau masih bayi. Tunggu aku. Aku akan menemukanmu, sayang.

**

Bau anyir dan obat. Anyir darah bisa ada di jalan atau di pematang sawah. Tapi bau obat hanya ada di rumah sakit. Ngapain aku di rumah sakit?

Samar-samar terdengar suara raungan dan jeritan. Di sela-sela itu, samar kudengar suara perempuan. Suara itu seperti kukenal. Tapi telingaku tidak bisa mendengarnya jelas. Mungkin aku harus mencari sumber suara itu.

Aku menoleh ke kanan. Tidak ada perempuan di sana. Yang kulihat adalah seorang lelaki terbaring. Tangannya dibebat perban putih. Rambutnya panjang, kemerahan bekas disengat matahari. Sepertinya aku kenal dia. Tahi lalat besar di daun telinga … ah ya. Dia tetanggaku, temanku melempar bom. Lemparannya sering meleset. Dia cuma pintar melumuri patung dengan tahi kambing dan merobek bendera. Dan sekarang dia cuma pintar merintih dan mengutuki bangsa mereka.

Anehnya, aku tak terlalu ingin mengutuk mereka saat ini. Setidaknya mereka menyerang saat kami benar-benar siap. Paling tidak ada pertempuran sejati, bukan sekedar mereka melempari sawah dan kebun dengan granat atau menembaki wanita-wanita kami. Cukup sepadan dengan bom yang kami lempar selama dua bulan terakhir. Tapi sekarang giliran granat mereka yang menggasak kampung kami.

Aku ingat desisnya di kolong meja. Nyaring seperti ular marah. Aku melompat lewat jendela ketika desisnya habis. Mungkin juga aku tak sempat melompat. Entahlah. Yang jelas, kini sudut bibir dan pipi kiriku perih dan …oh, ternyata hanya satu mataku yang terbuka. Dunia di sebelah kiriku gelap gulita. Kenapa ya? Aku menoleh ke kiri. Perih menyengat leherku seketika. Tak perlu diterangkan. Aku sudah bisa menebak bagian mana yang terkoyak.  Melihat dengan satu mata itu tidak mudah. Tapi aku harus melihat semua yang terjadi di sini.

Disana kulihat teman sekolahku. Wajahnya masih tampan, meskipun kulitnya tergores di sana-sini. Selimut yang bagian bawah tubuhnya tampak menyembunyikan sesuatu di tempat kakinya seharusnya berada. Sesuatu itu tampak gemuk dan … pendek. Pendek bukan kata yang tepat untuk menggambarkan dia. Dari dulu, sejak kami masih kecil, dia pelari tercepat. Apalagi kalau soal mengejar layang-layang putus. Dia juga yang mengenalkan aku pada benang gelasan tertajam di langit. Dia memang jagoan. Dia tak pernah membeli layang-layang, karena yang dia pakai adalah milik lawan-lawan yang ditaklukkannya. Tanda tangannya menari-nari di angkasa. Tiga bulan lalu, dia mengenalkan aku pada benda baru. Bubuk mesiu. Kami pun langsung akrab.

Di samping tempat tidurnya, kulihat gadis berbaju perawat berdiri memunggungiku. Rambut coklatnya diikat asal-asalan, ujungnya menyentuh tengkuk putih. Aku kenal warna rambut itu. Aku pernah kenal tengkuk itu. Itu tengkuk yang dulu kugelitik dengan ujung rumput. Itu tengkuk yang dulu kukalungi lengan setiap aku ingin berbisik, dan pemiliknya mendorongku sambil berkata, “Aku tahu kau mau bilang apa. Tidak perlu bilang lagi, aku sudah percaya kok. Dan nggak perlu bisik-bisik, kan?” Ah, dia selalu bisa membaca pikiranku. Bisakah dia membaca pikiranku sekarang?

Dia berbalik. Tubuh yang dibungkus seragam kedodoran itu menghadap ke arahku. Dengan satu mata, aku berusaha mengingat-ingat logo yang ada di dada seragamnya. Sebetulnya tidak terlalu sulit. Logo itu beberapa kali mampir di ingatanku pada berbagai warna seragam petugas medis yang wira-wiri di sini sejak perang berkobar. Oh ya. Logo Palang Merah Internasional.

Bosan dengan logo itu, mataku menapaki leher, dagu, ke atas, mencari tanda lain yang kukenal. Mau tak mau, mataku berhenti di matanya. Aku kenal mata itu, sangat kenal. Mungkin jauh sebelum aku lahir di sini, di negeri ini, aku telah mengenal mata itu. Mata itu masih seindah dulu. Mata kucing yang sedang mengamati lengan kiriku.

Sekilas kulihat bibirnya bergerak, tapi aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Tak masalah. Aku bisa membaca gerak bibir. Itu warisan tak ternilai dari ibuku yang tuli.

“Sudah saatnya diganti,” kata bibir itu.

Dia menoleh ke samping, ada semacam meja dorong kecil berisi perban dan mungkin obat-obatan. Tangannya sibuk disana. Aku juga kenal tangan itu. Aku kenal tanda lahir di punggung tangan, memanjang dari bawah pangkal ibu jari hingga pergelangan tangan. Dulu aku suka menggambarinya dengan spidol, membuatnya mirip peta kedua propinsi kami.

Pemilik tangan itu bergerak ke arahku. Mata kananku menelusuri lengan putih pucat itu hingga ke wajahnya. Ia melihat senyum di sana. Apakah senyum itu mengenaliku?

Kulihat senyum itu menghilang bersamaan dengan mata indah yang berubah membelalak.

Bibirnya membentuk kata, “Kau?”

“Hai,” jawabku.

**

 

Bintang-bintang tampak menari dengan gemerlapan di atas sehamparan permadani gulita, namun tak juga sanggup menggusur kegalauanku. Meski tubuhku terbaring tengadah di atas rerumputan di bukit ini, sebenarnya aku tak benar-benar merasa rileks. Pikiranku seperti seekor kucing yang bermain-main dengan benang ruwet yang terulur panjang. Kegelisahanku kian menggejolak. Setelah lima hari mendekam di camp perawatan,  menikmati senyumnya, mereguk keramahannya, mendekap kelembutannya, tiba-tiba tadi sore dia berbisik padaku bahwa aku harus segera berkemas untuk pergi. Yang lebih mengejutkan lagi, dia bahkan telah mempersiapkan semuanya; menata perbekalanku, hingga menggambarkan peta ‘jalur aman’ padaku.

“Kamu nggak bisa terus-terusan disini. Kamu bukan bagian dari kami, meski kami adalah netral. Aku mohon, pergilah besok, pagi-pagi sekali, sebelum mereka datang untuk menginspeksi. Jadwalnya besok. Jadi jangan sampai kau diketemukan oleh mereka. Aku tak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu. Percayalah, dengarkan aku.” Raut wajahnya demikian memelas, seolah-olah tiap katanya adalah permohonan, sementara hanya aku yang sanggup memberi permakbulan.

“Tapi… tapi… aku harus pergi kemana? Aku sudah tak lagi punya tujuan. Kupikir aku sudah menemukan tujuanku, disini. Kamu adalah tujuan hidupku. Aku tak lagi butuh kemana-mana. Biar saja mereka menemukanku, aku tak gentar. Oke?”

“Jangan berkata begitu. Kamu terlalu berharga untuk menjadi mangsa mereka. Kalau memang aku adalah tujuan hidupmu, maka turuti semua kata-kataku,” katanya sembari membeliakkan kedua mata kucingnya, seolah-olah aku adalah anak nakal yang kedapatan membuat keonaran. “Aku sudah menyiapkan semuanya. Pergilah melalui jalur aman yang sudah kutunjukkan padamu, sampai kau tiba di sebuah rumah bercat kelabu, tak terlalu jauh dari peternakan. Disana masih aman. Kau akan menemui Josan disana. Setelah kau menyerahkan suratku padanya, biarkan dia yang mengurusmu. Percayakan saja semua padanya.”

“Tunggu… Siapa Josan?”

Tiba-tiba wajahnya semburat merah. Ia seperti merasa kikuk ketika aku bertanya tentang sebuah nama yang tiba-tiba dia sebutkan, kemudian bergaung-gaung di antara pembicaraan kami. Sejenak ia tertunduk, seperti menyembunyikan kilap perasaannya di hadapanku. Setelah terdiam beberapa lama, baru ia sudi menjawabku.

“Maafkan aku… Tapi kita sudah berpisah sedemikian lama. Aku tak bisa mengelak dari takdir. Tak ada waktu untuk menjelaskan semuanya. Josan adalah suamiku. Tapi percayalah, dia laki-laki yang baik…”

Mendengarnya menyebut kata suami, aku serasa lupa dengan pedihnya serpihan bom molotov yang menggores kulitku, juga lupa dengan segala rasa sakit yang kudapat sepanjang perang berkecamuk. Sebuah luka baru menghunjam tepat di ulu hatiku. Kali ini, rasa sakit yang kurasakan seolah nyaris membunuhku. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh kenyataan pahit yang baru saja kudengar dari mulutnya sendiri. Ingin rasanya aku menghancurluluhkan dia yang telah menghancurluluhkan hatiku. Sudah sekian lama aku mencarinya, berjuang untuk mendapatkannya, namun dia malah mengkhianatiku dengan menikah bersama orang lain. Tapi lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa padanya selain diam terpaku dengan rasa terbakar di dalam hati. Rasa cintaku yang mengalahkan kemarahanku.

“Kau… Kau mengkhianatiku…” gumamku lirih. Tapi aku pun tak bermaksud untuk menyalahkannya.

“Apa kau anggap bahwa apa yang kulakukan adalah sebuah dosa? Maafkan aku, kalau begitu…” katanya lagi. Aku sama sekali tak habis pikir, dia dapat mengatakan itu dengan entengnya. “Tapi asal kau tahu, tak sedetikpun aku melupakanmu. Tak sedetikpun aku mengkhianati cinta kita. Keadaanlah yang memaksa… Mengertilah…”

Aku terdiam. Kami terdiam. Bisu menjadi satu-satunya penyelamat kami atas rasa bersalah yang mulai menggerogoti kesadaran kami.

**

Ada alasan yang kuat mengapa pada akhirnya aku mengalah untuk menuruti semua kata-katanya. Pelarianku bukan sekedar untuk penyelamatanku semata. Aku penasaran. Aku ingin melihat seperti apakah sosok Josan, yang sebegitu hebatnya hingga berhasil merebut hati Anna, kekasihku. Jika perlu, aku akan menghabisinya. Dia adalah musuhku. Musuh negaraku. Musuh bagi cintaku. Lagipula, ini jaman perang. Sah-sah saja jika aku membunuhnya, kan? Aku bisa membuat berbagai alasan hingga Anna dapat kembali lagi bersamaku. Cintaku yang telah lama menghilang akan segera kudapatkan.

Jalur aman yang diberikan Anna benar-benar membuat perjalananku terasa aman. Dua hari mengandalkan tapak-tapak kaki, akhirnya sampai juga aku ke tempat tujuan. Rumah tua bercat kelabu yang sangat sederhana itu tampak sepi. Hanya asap membumbung yang kulihat, berasal dari tumpukan sampah daun kering dan jerami yang dibakar di sisi timur pekarangan. Tak ada tanda-tanda keberadaan manusia, sehingga kesenyapan kawasan yang jauh dari perkampungan penduduk itu hanya diramaikan oleh ayam-ayam ternak yang berseliweran di halaman dan membuang kotoran seenaknya di lantai teras yang penuh debu. Kuputuskan untuk melangkah mendekat, mengetuk pintu kayu yang terlihat lapuk dan kusam.

Seorang laki-laki tegap bercambang tipis membuka pintu. Usianya tampak sedikit lebih tua dariku. Ia sembari menggendong seorang bocah berusia sekitar dua tahunan, yang sedikit terisak-isak entah karena apa. Bola matanya yang tajam menatap curiga padaku.  Tapi kubalasi dia dengan senyuman, dan segera kurogoh saku celanaku, mengambil titipan surat untuknya.

“Surat ini untuk Josan…” kataku sambil menunduk memberi hormat.

Dia masih memandangiku dengan curiga meski tangan kanannya meraih surat itu dariku. Segera ia robek amplopnya dengan agak kesusahan, karena tangan kirinya harus menggendong bocah yang masih terisak-isak itu. Setelah membuka lembar surat, ia membacanya dengan singkat. Kemudian kembali menatapku. Kali ini tatapannya sedikit lebih ramah.

“Masuklah…” Ia mempersilakanku.

Hanya ada satu lampu yang tak terlalu terang di rumah itu, terletak di ruang tengah yang tertata serampangan. Suasana di rumah itu benar-benar terlihat muram, seperti telah lama tak mendapat sentuhan perempuan. Begitu kusam, hingga terlihat kawanan laba-laba mendekam di beberapa sudut ruangan. Aku duduk di sofa usang yang telah dihiasi beberapa lobang hingga busanya mencuat keluar. Meja di hadapanku tak tertutup taplak, dan hanya ada sebuah mangkuk bekas makanan balita di atasnya. Dia pamit sejenak, berlalu meninggalkanku menuju ruang belakang, kemudian kembali sembari membawakan segelas teh hangat untukku.

“Nyamankan dulu dirimu, aku akan menyiapkan makanan terlebih dulu,” ujarnya sambil tersenyum. Kemudian lagi-lagi dia meninggalkanku, masuk ke sebuah kamar. Tak lama, beberapa menit kemudian, ia keluar sambil mendorong hati-hati seorang lelaki tua yang kurus dan pucat di kursi roda. Mereka menuju kamar mandi.

Baru setelah menyelesaikan segala urusan ‘rumah tangganya’, lelaki yang kuduga bernama Josan itu kembali menemuiku, mengajakku makan siang dengan menu ala kadarnya. Setelah itu kami bercakap-cakap sambil berharap kantuk segera datang. Sembari mengobrol, dia kembali meraih bocah yang semula bermain-main di atas ambin di pojok ruangan. Dipangkunya bocah itu sambil menyodorkan sebotol susu. Bocah itu menghisap dot dengan rakus. Susunya tandas tak bersisa. Kemudian tak lama, kulihat mata bocah itu sudah mulai mengantuk.

“Siapa anak itu?” tanyaku, dengan nada sedikit kaku.

“Oh, tentu saja dia anakku dengan Anna,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Dia adalah anak paling tabah karena harus berpisah dengan ibunya yang sibuk menjalankan tugas,” jelasnya. Tak ada rasa sesal sedikitpun dalam tiap katanya, sehingga aku hanya bisa mengangguk-angguk.

“Lantas, siapakah lelaki tua yang duduk di kursi roda itu?” selidikku, masih dengan rasa penasaran.

“Dia adalah ayah Anna. Kedua kakinya pernah menginjak ranjau sehingga beliau tak lagi bisa berjalan. Padahal beliau hanya sekedar peternak yang hendak menghalau kambing-kambingnya. Tapi demikianlah perang, tak pandang bulu pada siapapun. Tak ada yang bisa disalahkan meski aku terpaksa harus berjauhan dengan istriku. Apapun bisa terenggut sewaktu-waktu.”

Setiap penuturan lelaki sederhana di hadapanku ini membuatku terhenyak. Pengetahuan baru yang kuketahui bahkan membuatku lupa dengan tujuan awal mulaku – ingin menghabisinya. Bagaimana mungkin aku dapat membunuh lelaki yang memilih berjuang dengan caranya sendiri untuk menghidupi istrinya – yang adalah kekasihku? Benar kata Anna, dia adalah laki-laki yang baik. Tak seharusnya aku memupuk dendam padanya. Apapun alasan pernikahan mereka, kenyataan sekarang membuatku bertekuk lutut pada kemanusiaan. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Josan memang lebih tepat bagi Anna ketimbang diriku. Setidaknya, dia tak egois sepertiku. Aku hanyalah seorang tak berguna, pecundang perang, budak nafsu, manusia iblis, generasi terkutuk. Seharusnya aku mati saja tertembak. Seharusnya Anna tak perlu menyelamatkanku, mengobatiku. Tapi Andai aku punya kesempatan menitis kembali ke kehidupan selanjutnya, aku akan memperbaiki semuanya. Aku takkan membiarkannya pergi meninggalkanku dan hidup menderita. Persetan dengan segala jenis perang dan kemunafikan.

Dua hari kemudian, bahkan sebelum fajar menyingsing, aku memutuskan pergi diam-diam. Tak ada gunanya bagiku menjadi beban bagi Josan, meski dia berjanji hendak mengantarkanku ke perbatasan dengan selamat. Aku tak lagi butuh keselamatan. Aku tak lagi berhasrat dengan misi awalku. Satu-satunya yang kuinginkan adalah segera menemui Anna, membawanya pergi dari daerah rawan itu, dan mempertemukannya kembali dengan keluarganya.

Namun alangkah terkejutnya aku ketika akhir perjalananku justru mempertemukanku dengan keadaan camp medis yang telah hancur berantakan, porak poranda. Barak-barak yang dulu kujumpai telah roboh, sekadar menyisakan puing-puing kayu dan batu bata yang berserakan. Debu-debu kotor membumbung memenuhi udara senja, seolah mengabarkan banyak tangis dan kematian yang sempat kulewatkan. Ini sungguhan biadab. Bukankah seharusnya camp ini netral? Jika mereka sampai merusak tempat ini, berarti mereka adalah pihakku.

Tulang-tulang lututku seperti terlepas dari persendian. Yang bisa kulakukan sekedar menggigit bibirku hingga berdarah. Mataku serasa terbakar oleh pedihnya amarah yang kutahan-tahan. Nafasku bahkan terasa sesak, aku tercekik oleh kenyataan pahit. Tak ada seorangpun yang dapat kutemui untuk menjelaskan semua ini. Aku hanya dapat terpekur menatap langit yang kemerahan, menghitung kawanan burung yang pulang ke sarang dengan pikiran kosong. Hari beranjak malam, tapi aku tak lagi peduli dengan suasana yang mulai terasa mencekam. Aku telah kehilangan semuanya. Aku telah mati rasa. Tapi kesadaranku segera pulih saat tiba-tiba kudengar suara peluru berdesingan menyerbuku. Refleks aku lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Sialnya, salah satu peluru itu menyerempet pelipisku, juga menghunjam dada kiriku. Aku tak lagi kuat bertahan. Perlahan aku roboh. Aku akan mati. Pergi. Siapa tahu akan hidup lagi. Menjumpai dia yang tersemat di hati. Mati. Mati. Ma ti.

**

picture taken from : fineartamerica.com

picture taken from : fineartamerica.com

Tapi aku hidup lagi. Atau sepertinya tak jadi mati. Saat pertama kali membuka mata, suasana di sekitarku masih mengembalikan ingatan terakhirku. Deretan ranjang darurat yang berisi pasien perang, mangkuk-mangkuk aluminium berisi bubur beras dan sebutir telur rebus, hilir mudik petugas medis dengan langkah kaki terburu-buru, bau penicilin bercampur amoniak, tempat sampah yang penuh dengan perban-perban bernoda darah, namun tak sekalipun kulihat Anna. Dimanakah dia berada? Bukankah seharusnya dia ada disini?

Seorang petugas medis perempuan dengan raut wajahnya yang manis datang menghampiriku. Ia bermurah hati menyediakan sesungging senyuman untukku. Tapi aku bahkan tak sanggup membalasnya. Bibirku kaku demi menahan luka yang hampir mengering.

“Ah, rupanya kau sudah sadar… Bersyukurlah karena ternyata kau selamat. Ketika kami menemukanmu, kami pikir kau takkan selamat. Keadaanmu sangat kritis. Tapi dokter bekerja keras untuk menolongmu mengeluarkan peluru yang sempat bercokol di dadamu. Kau akan segera baik-baik saja.”
Tatapan petugas medis itu begitu lembut, namun aku seolah kehilangan kewarasan untuk sekedar membalas sikap baiknya. Ingatan-ingatan dalam kepalaku berloncatan, membuatku merasa sedikit pusing dan tak bisa berpikir lebih banyak.

“Hei, kau masih ingat semuanya, bukan? Apa kau masih mengenalku? Aku adalah sahabat Anna, dan aku tahu bahwa kau pun adalah teman Anna… Kau pernah dirawat di camp sana, bukan?” katanya lagi, kali ini terlihat sedikit khawatir karena aku tak juga merespon seperti yang diharapkannya. Mungkin dia pikir kejiwaanku telah terganggu.

Mendengar nama Anna disebut, aku nyaris terlonjak. Bahkan namanya saja membuat jantungku berdetak-detak, dan nyaris tersedak oleh nafasku sendiri.

“Anna… Dimana dia?” Tanyaku tergesa, dengan suara parau.

Perempuan itu tak segera menjawab, melainkan malah diam sejenak sembari menghela nafas berat. Seketika firasatku merasa tak enak.

“Rupanya Anna tahu bahwa harinya akan segera tiba. Dia pun seperti punya firasat bahwa kau akan kembali kesini. Maafkan, Anna telah lebih dulu pergi ke surga. Dia tak terselamatkan saat peristiwa mengerikan itu terjadi. Mereka benar-benar membabi buta. Anna sempat sekarat, tapi dia sempatkan pula menuliskan surat untukmu, yang kemudian dia titipkan padaku. Tunggu sebentar, aku akan segera mengambilnya.”

Setelah mengatakan kabar duka yang merobek-robek harapanku, perempuan muda itu segera berlalu dari hadapanku. Tak lama, ia kembali lagi sambil membawa sepucuk surat yang segera diserahkannya padaku. Lekas kubaca surat dengan beberapa baris tulisan tangan Anna. Selanjutnya, aku tak lagi ingat semuanya. Dunia ini tiba-tiba senyap, gelap, sementara aku terjerembab dan hanya mendengar suaraku sendiri yang melolong-lolong. Aku tahu ini bukan akhir dari segalanya. Anna akan hidup kembali. Saat ini, jiwanya pasti sedang mencari tubuh baru untuknya menitis, supaya kami dapat bertemu kembali. Bukankah demikian janji kami?

Seketika itu juga, aku tahu apa yang harus segera kulakukan. Aku tak lagi sudi menyia-nyiakan waktu. ****

 

 

Fei Lung dan Kho Ping (satu)

Aside

 

Fei Lung, anak perempuan Lin Xiang Ru, seorang pengrajin keramik terkenal di negeri Zhao, sedang sibuk merapikan buku-buku pelajarannya ke dalam almari kayu yang terletak di sudut kamarnya. Namun jika diamat-amati lebih jelas, ternyata air mata gadis delapan belas tahun itu sedang mengalir deras, menetes-netes membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sementara itu, kedua tangannya sibuk meraih dan meletakkan bermacam-macam benda, juga buku-buku, dan apa saja yang tampak olehnya. Ia sedemikian gugup.  Siapapun yang melihatnya akan mahfum bahwa pikirannya sedang mengembara ke lembah-lembah kenangan yang tertutup kabut kelabu. Namun sayangnya, sedang tak ada siapapun disana. Ayahnya, Lin Xiang Ru, sedang pergi menawar bahan baku di pasar. Sebenarnya terlihat lucu sekali melihat seseorang yang tampak sibuk menata rapi sesuatu sementara hatinya berantakan. Tapi demikianlah Fei Lung; ia masih tak sanggup menggusur mendung dalam hatinya — meski buku-buku itu senantiasa mengingatkannya pada kenangan, pada sebuah masa yang tak mudah ia tanggalkan begitu saja.

Fei Lung baru saja tiba beberapa minggu yang lalu, merasakan kembali kehangatan rumahnya, tempat ia tinggal bersama ayahnya yang telah lama seorang diri. Ibunya meninggal karena penyakit serius yang menghantam paru-parunya. Saat itu, Fei Lung berusia enam tahun.  Namun ia sungguhlah gadis yang baik, yang segera mengerti bahwa posisinya akan menggantikan ibunya merawat ayahnya, juga membereskan segala tugas perempuan di rumah.

Lin Xiang Ru begitu sayang padanya. Maka ia bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi anak perempuan satu-satunya. Di usia lima belas tahun, Lin Xiang Ru mengirim Fei Lung ke sebuah asrama pendidikan yang cukup terkenal, dengan harapan Fei Lung dapat belajar dengan baik dan mendapat kenalan orang-orang terpandang. Perempuan yang cerdas akan dipandang memiliki derajat yang tinggi dibanding perempuan jelata. Dan biasanya, hanya perempuan-perempuan dengan pendidikan tinggi yang memiliki suami pejabat atau orang-orang berderajat tinggi.

Tiga tahun di asrama, Fei Lung dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan. Dengan prestasi yang diperolehnya, Lin Xiang Ru menjadi amat bangga pada putrinya. Fei Lung selalu merasa bahagia jika ayahnya pun bahagia. Namun di balik kebahagiaan itu, tak ada yang tahu bahwa sesungguhnya Fei Lung pun memikul sekarung kegundahan dan kenangan masa-masanya ketika tinggal di asrama. Bagi Fei Lung, kebahagiaannya adalah untuk semuanya, namun kesedihannya hanyalah miliknya sendiri.

Kehidupan asrama tidaklah mudah bagi siapa saja. Terlalu banyak aturan yang kaku, sehingga murid-murid senantiasa tegang dan serius. Juga banyak tugas-tugas sekolah, yang membuat mereka kerap diliputi rasa frustasi terpendam. Kendati demikian, tak ada perbedaan dalam perlakuan. Entah itu anak raja, anak pejabat, anak pedagang, atau bahkan anak pelayan bergaji rendah, semuanya diperlakukan sama. Satu sama lain saling bersaing untuk menjadi yang terbaik, juga untuk hal-hal yang lainnya. Jadi bukan hal yang mengherankan  jika seseorang menikam atau mengadu domba seseorang lainnya dengan berbagai strategi busuk demi mencapai keberhasilan, demi memperoleh perhatian.

Namun Fei Lung adalah seorang gadis yang tak memperdulikan ambisi, meski tak ada yang mengecewakan dari potensinya. Ia sudah merasa bahagia asal setiap hari dapat menikmati hidupnya dengan keceriaan dan kesederhanaan. Ia tak terpengaruh dengan kubu-kubu yang saling memperkuat, mengintimidasi, dan mengolok-olok satu sama lain. Juga tak mau menentukan sikap harus berteman dengan siapa, harus bermusuhan dengan siapa, harus membolos pada pelajaran apa, harus hadir pada pelajaran siapa. Bagi Fei Lung, tugasnya hanyalah belajar dengan baik, memenuhi harapan terbesar ayahnya. Herannya, Fei Lung tak pernah kesulitan bergaul dengan siapa saja. Ia senantiasa memiliki banyak kawan yang baik.

Andai saja semua murid seperti Fei Lung, dunia pasti akan indah seindah-indahnya. Namun sayang, tak semua murid seperti Fei Lung. Tak semua yang dapat bergembira dengan cara yang mereka temukan masing-masing. Salah satunya adalah Kho Ping, seorang murid laki-laki yang lebih sering menghabiskan waktu istirahatnya di bawah pohon Willow yang rindang di samping perpustakaan sembari membaca beberapa kisah dongeng yang ia pinjam. Namun ketika tidak sedang membaca, wajahnya selalu terlihat murung dan tak bersemangat. Pembawaanya cenderung menutup diri dan jarang bergaul dengan teman-teman lainnya. Ironisnya, ia kerap menjadi bahan olok-olok di antara kawan-kawannya.

“Hei, kaki ayam! Larilah dulu mengelilingi gedung asrama supaya kakimu sedikit lebih besar, baru kau akan kami angkat menjadi anggota geng kami, hahahaa….” demikian anak-anak lain mengolok dan menertawakannya tanpa pernah peduli pada perasaannya. Kadang ada pula anak yang mengusilinya dengan cara menyembunyikan alas kakinya di rerimbunan semak, hingga ia hanya bertelanjang kaki saat pulang menuju asrama.

Sebenarnya Kho Ping tergolong murid yang benderang otaknya, terutama ketika menghapal pelajaran. Sementara murid-murid lain membutuhkan dua-tiga hari untuk menghapal kitab-kitab baru, Kho Ping hanya membutuhkan waktu satu hari untuk mematrinya dalam ingatan. Setidaknya, kelebihan inilah yang membuatnya terlihat baik, terutama di mata para guru. Selain itu, Kho Ping pun pada dasarnya seorang yang cukup ramah dan senang membantu. Namun sayang, banyak murid-murid lain yang mendekatinya sekedar untuk memanfaatkan kepintarannya.

Adalah Fei Lung, yang merasa bersimpati terhadap Kho Ping. Sejak lama ia memperhatikan Kho Ping dari kejauhan, hingga ia merasa berbelas kasihan kepadanya. Tak sampai hati ia melihat Kho Ping yang senantiasa dipermainkan dan dipermalukan. Beberapa kali Fei Lung memergoki Kho Ping tersedu sendirian. Barangkali ia merasa sangat sedih karena sering diperlakukan tak adil dan semena-mena. Maka suatu hari, Fei Lung pun mencoba untuk diam-diam mendekatinya.

“Aku mengerti jika kau merasa sangat bersedih. Tapi tersenyumlah! Kamu harus melihat matahari yang senantiasa tegar menyinari dunia meski manusia semakin lama semakin tak ramah dan berkata seenaknya mengenainya. Suatu saat, kita pasti menyadari bahwa kehadiran matahari adalah segalanya bagi kehidupan kita. Yang kita perlukan hanya bersabar… Maka sabar dan tegarlah, Kho Ping…” kata Fei Lung dengan lemah lembut.

Kho Ping yang segera menyadari kehadiran Fei Lung cepat-cepat menghapus air matanya. Ia memaksakan dirinya untuk tersenyum karena malu terlihat lemah di mata Fei Lung. Sejenak ia merasa kikuk, tak tahu apa yang harus dikatakan demi mencairkan suasana yang sedang ia rasakan muram. Namun Fei Lung adalah seorang gadis yang mudah menciptakan suasana sekehendak hatinya. Andaikata kemuraman adalah sebuah batu, ia mampu menghancurkannya dengan tetesan air yang menjelma keceriaannya.

“Apa kau sudah siap menghadapi ujian akhir musim dingin ini, Kho Ping?” Fei Lung mengalihkan pembicaraan, dengan harapan Kho Ping merasa tak terlalu terbebani.

“Eh… emmm… entahlah, masih ada beberapa kitab yang belum kubaca tuntas…” Kho Ping menjawab sekenanya.

“Tapi kupikir akan mudah bagimu menghapal rumus-rumus itu. Sebaliknya, aku benar-benar kewalahan dan rasanya aku tak sanggup menghapal dan mempelajari sebanyak itu. Wah, banyak sekali yang belum kumengerti.” Fei Lung tampak sungguh-sungguh berkeluh kesah. “Andai kau mau berbaik hati padaku, ajarilah aku beberapa. Atau jika kau tak keberatan, barangkali kita bisa belajar bersama-sama. Bagaimana?”

“Oh, eh… Aku sama sekali tak keberatan, kok. Aku senang bisa membantumu.” Jawab Kho Ping malu-malu.

“Kalau begitu, bagaimana jika besok sore kita belajar bersama setelah kelas usai? Kita bertemu di serambi kelas, ya… Setelah itu kita bisa tentukan dimana akan belajar. Hmm… Sepertinya di bawah pohon Willow samping perpustakaan itu akan cukup menyenangkan, sembari melihat danau yang tenang. Biasanya pada sore hari beberapa bangau terbang dan menangkap ikan di sana. Kau sering kesana, bukan?”

Kho Ping hanya mengangguk sambil tersenyum. Kini, kesedihannya sedikit tersamarkan. Ia merasa senang jika seseorang membutuhkannya, menganggap dirinya lebih berarti. Apalagi jika orang tersebut adalah Fei Lung.

“Baiklah, kalau begitu sampai jumpa nanti, Kho Ping..”

**

Pada waktu yang telah disepakati, mereka pun bertemu di tempat yang disepakati pula — di bawah pohon Willow, di samping perpustakaan. Pada hari-hari kemudian, mereka semakin kerap bertemu di tempat yang indah itu, yang tak pernah membuat mereka bosan berlama-lama disana. Pemandangannya memang mengagumkan. Sembari duduk di atas rerumputan yang halus, mereka dapat menikmati danau seluas mata memandang, juga deretan gunung yang berdiri megah di kejauhan. Memandang hamparan alam itu membuat pandangan mata mereka senantiasa terasa sejuk, juga membawa perasaan damai. Pada sore hari, acapkali beberapa bangau berbulu putih terbang dan menukik memburu ikan-ikan di permukaan air yang tenang. Sementara beberapa burung yang menghias angkasa berkelepak kesana-kemari, bersaing dengan pesona gulungan awan tipis yang menjadi pemanis. Matahari tak pernah garang sejak mereka senantiasa berteduh di bawah pohon Willow yang besar dan kokoh, yang entah telah berumur berapa tahun — sepertinya jauh lebih tua dari usia mereka.

Kho Ping dan Fei Lung semakin giat belajar. Namun adakalanya mereka membicarakan hal-hal lain, misalnya dongeng atau kampung halaman mereka. Kho Ping memang senang dengan cerita-cerita dongeng. Ia telah membaca banyak dongeng dari berbagai negeri. Acapkali ia mengkisahkan beberapa dongeng pada Fei Lung, yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketakjuban. Kadang-kadang, Kho Ping mendengarkan Fei Lung menyanyi dengan suaranya yang merdu, atau membaca sajak-sajak yang dibuatnya. Jika tak ada lagi hal-hal menarik yang bisa dibicarakan, maka biasanya mereka akan berbincang-bincang tentang sekolah mereka sendiri — sebuah pembicaraan yang tak habis-habis.

“Tak terasa libur panjang musim semi sebentar lagi tiba. Sudahkah kau menghubungi orang tuamu untuk menjemputmu?” tanya Fei Lung sembari mengibaskan beberapa semut yang menjalari kakinya.

“Belum. Sepertinya aku berencana untuk pulang sendirian. Aku ingin memberi kejutan kedua orang tuaku.”

“Wah, kau hebat jika bisa melakukannya. Aku berharap orang tuamu tak marah ketika mengetahui kau pulang sendirian.” kata Fei Lung, yang tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Dan kebetulan tahun baru nanti masih dalam masa liburan. Sangat menyenangkan jika merayakannya bersama keluarga.”

“Ya, betul… Ada banyak makanan dan hadiah-hadiah yang membuatku berangan-angan andai saja setiap hari adalah tahun baru, hahahaa… Bagaimana dengan perayaan tahun barumu?”

“Sepertinya kurang lebih sama. Ada banyak tamu yang berkunjung ke rumahku, karena ayah dan mendiang ibuku memiliki banyak saudara. Biasanya, mereka membawa buah tangan yang menarik untukku” .

“Bersyukur kita selalu dapat menikmati tahun baru dengan baik. Ngomong-ngomong, apa kau tahu dongeng asal usul tahun baru Cina itu sendiri?”

“Ceritakanlah!” pinta Fei Lung dengan antusias.

“Konon di zaman dahulu kala hidup seekor monster bertanduk tunggal, bermata besar dan berkuku tajam, bernama Nian.” Kho Ping memulai dongengnya. “Monster tersebut tinggal di dalam lautan, dan sepanjang tahun dia habiskan waktunya untuk tidur. Dia hanya bangun saat musim semi tiba untuk mencari makanan. Makanan kesukaan monster Nian tersebut adalah manusia. Bukan hanya memburuh manusia, monster tersebut juga memporak-porandakan ladang penduduk dan merusak panen.”

“Wah, apakah tidak ada cara untuk menghentikan ulah monster Nian? Kasihan sekali manusia-manusia itu…” Fei Lung mulai terbawa oleh imajinasinya.

“Tak ada yang berani padanya. Tapi untuk menghindari korban jiwa, penduduk selalu mengungsi ke dataran tinggi di setiap awal musim semi. Mereka menyiapkan bekal makanan yang cukup. Pada suatu hari di musim semi, seorang pengemis melewati desa tersebut untuk meminta makanan. Ternyata ia mendapatkan desa tersebut dalam keadaan kosong. Saat ia bertemu dengan seorang nenek, ia bertanya kemana gerangan semua warga desa. Nenek tersebut menjelaskan soal monster Nian dan pengungsian penduduk. Sang nenek yang baik hati itu pun memberikan makanan kepada si pengemis. Pengemis itu lalu bertanya, kenapa nenek tidak ikut mengungsi. Nenek tersebut berkata, ‘Anak dan cucu saya telah menjadi korban tahun lalu, dan saya sudah terlalu tua untuk ikut mengungsi. Jika monster Nian datang, saya akan melawan sebisa saya’.

“Si pengemis menjadi iba pada sang nenek, lalu mengatakan pada sang nenek bahwa sesungguhnya mahluk tersebut takut pada tiga hal, yakni mahluk yang lebih besar dan seram daripada dia, suara keras dan bising, juga warna merah. Lalu si pengemis meminta sang nenek menyediakan kain besar untuk membuat binatang-binatangan dan mencat depan rumah menjadi merah. Ia pun menyuruh nenek tersebutberpakaian merah, lalu dia mengumpulkan batang-batang bambu supaya menimbulkan suara ledakan saat dibakar.

“Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya monster Nian muncul. Si pengemis bergegas memakai kain yang telah dibuat menyerupai monster. Ia juga meminta sang nenek membakar batang bambu yang sudah disediakan serta memukul benda apa saja yang bisa menimbulkan suara bising. Mendapat sambutan demikian, monster Nian sangat kaget. Ia pun lari terbirit-birit dan terbang, tak pernah kembali lagi.

“Sejak peristiwa kemenangan ini, penduduk desa merayakannya setiap tahun sebagai hari raya besar serta perayaan panen. Perayaan diadakan dengan cara meniru apa yang telah dilakukan oleh si pengemis dan sang nenek, juga sebagai tindakan pencegahan akan kembalinya monster Nian. Para penduduk mendatangi rumah-rumah kerabat untuk mengucapkan selamat atas terbebasnya mereka dari ancaman monster nian. Sebagai balasan, setiap keluarga menyediakan minuman dan kue-kue untuk tamu mereka. Selain itu, mereka pun memakai berbagai hiasan yang berwarna merah. Itulah sebabnya, sampai sekarang, setiap tahun baru, kita tak asing dengan warna merah, kue-kue, dan juga petasan.” Kho Ping mengakhiri ceritanya.

“Wow! Aku tak menyangka jika ternyata asal usulnya demikian. Terima kasih sudah menceritakannya padaku, Kho Ping!” Fei Lung tampak berbinar-binar setelah mendengar kisah yang diceritakan oleh Kho Ping.

Kho Ping selalu merasa puas setelah ia usai bercerita pada Fei Lung. Hanya Fei Lung, satu-satunya yang mau mendengarnya dengan penuh perhatian. Dan hanya pada Fei Lung, Kho Ping menceritakan banyak hal. Sedikit demi sedikit, ia mulai merasa memiliki rasa percaya diri.  Tapi di sisi lain, ia pun menyimpan rasa tersendiri di hati yang tersembunyi. Seperti ada percikan api dalam dirinya saat jantungnya berdegup kencang, saat ia menatap binar mata Fei Lung yang menurutnya paling indah di dunia ini. Kadangkala ia sampai merasa salah tingkah saat Fei Lung mendapati dirinya sedang memandanginya. Juga pada waktu-waktu yang lain, saat rembulan mulai bersinar dan kesendiriannya mulai terpapar, Kho Ping kerap memikirkan Fei Lung dan mengangan-angankannya.

Pada suatu hari, beberapa hari sebelum libur usai ujian tiba, Kho Ping menghampiri Fei Lung dan berkata, “Bolehkah pada tahun baru nanti aku berkunjung ke rumahmu, Fei Lung?”

Benarkah? Apakah kau serius? Tentu saja boleh, Kho Ping! Aku akan senang sekali!” pekik Fei Lung karena terkejut sekaligus girang.

Maka saat libur musim semi tiba, berpisahlah mereka. Fei Lung pulang ke kampung halamannya saat ayahnya datang menjemputnya. Demikian pula Kho Ping, pulang ke kampung halamannya dengan berangkat seorang diri, sesuai dengan niatnya sejak awal mula.

***

Saat perayaan tahun baru tiba, Fei Lung jauh lebih antusias daripada tahun-tahun sebelumnya. Ia memilih cheongsam merah dari sutra terbaik yang dijual di kotanya, juga jeruk-jeruk yang paling segar yang ada di pasar. Bahkan Fei Lung pun membuat sendiri kue keranjang dalam jumlah yang cukup banyak, juga menyiapkan beberapa lampion merah yang indah di bagian depan beranda rumahnya. Pada ayahnya, ia mengatakan bahwa akan ada seorang kawan sekolahnya yang berkunjung.

Memang benar, Kho Ping datang berkunjung ke rumah Fei Lung saat langit sedang merah, saat matahari sudah sepenggalah dan hendak meluncur ke peraduan. Bukan main senangnya hati Fei Lung saat mendapati sahabatnya menepati janji. Setelah berkenalan dengan Lin Xiang Ru, ayah Fei Lung, dan menyantap penganan-penganan lezat yang disajikan, mereka berjalan-jalan menyusuri sepanjang sungai dan sepanjang jembatan yang ramai dengan muda-mudi maupun anak-anak. Gemintang sedang bertaburan, memantulkan bayangannya di permukaan sungai yang mengalir tenang.

“Tak terasa, sekolah kita tinggal satu tahun lagi. Aku berharap semoga kita lulus dengan nilai yang memuaskan…” Kho Ping berusaha memecah keheningan di antara mereka.

“Ya, tentu aku pun berharap demikian. Setelah lulus nanti, kau hendak kemana, Kho Ping?” tanya Fei Lung penasaran.

“Sepertinya aku akan mendaftar ujian untuk menjadi pejabat kerajaan. Ayahku berharap demikian. Doakan aku lulus, ya… Kau sendiri bagaimana?” Kho Ping balik bertanya.

“Entahlah… sepertinya aku akan meneruskan usaha ayahku membuat keramik. Aku sudah belajar cara membuat keramik yang baik. Kuharap aku bisa mewarisi keahlian dan nama besarnya…”

“Semoga kau sukses. Aku yakin kau bahkan bisa melebihi ayahmu jika bekerja dan belajar lebih keras. Tapi jangan lupa untuk selalu jaga kesehatan, ya… Aku tak ingin mendengar kabar kau jatuh sakit karena terlalu memforsir diri membuat keramik.”

Fei Lung jadi tersipu oleh perhatian Kho Ping. Tak banyak yang memperhatikannya hingga sedemikian rupa, sehingga di mata Fei Lung, Kho Ping adalah sosok yang memiliki kebaikan hati yang sempurna.

Malam itu, Kho Ping menginap di rumah Fei Lung. Ia tidur di ruang tengah setelah beberapa jam menghabiskan waktu minum teh bersama Lin Xiang Ru. Keesokan paginya, Kho Ping bersiap untuk pulang ke kampung halamannya yang berjarak sekitar seratus mil ke selatan.

“Sampai jumpa lagi di sekolah, Fei Lung. Aku pasti tak sabar untuk segera bertemu kembali,” pamit Kho Ping sebelum pergi meninggalkan Fei Lung.

“Tentu saja! Aku berharap segera dapat mendengar dongeng-dongengmu yang terbaru. Ceritakan yang lebih hebat lagi, ya!” kata Fei Lung sambil tersenyum lebar.

Namun tiba-tiba saja, Kho Ping mengeluarkan sepucuk surat dari balik mantelnya. “Fei Lung, sebenarnya tujuanku kemari adalah menyampaikan surat ini. Ini surat dariku. Ada beberapa hal yang membuatku merasa lebih nyaman jika kusampaikan melalui surat. Maafkan aku, semoga kau tak keberatan. Bukalah nanti. Namun sebelum kau membacanya, aku minta maaf kepadamu. Semoga kau memaafkanku.”

Fei Lung agak terkejut menerima surat dari Kho Ping. Terutama dengan sikap Kho Ping yang tiba-tiba menjadi begitu serius. Ia pun tak mengerti mengapa Kho Ping menyampaikan kata maaf berkali-kali. Setelah menerima surat itu, mereka pun saling berpisah dan melambaikan tangan.

Sesegera setelah Kho Ping menghilang dari pandangan, Fei Lung membuka surat yang tersegel rapi. Tampaklah tulisan indah Kho Ping tersemat di atas kertas merang yang sedang dipegangnya.

Maafkan aku, jika aku menjadi lancang terhadapmu, Fei Lung… Tapi aku tak dapat membiarkan diriku sendiri terus menerus tak jujur pada perasaanku sendiri. Maka kuputuskan untuk mengatakannya padamu setelah memikirkan ini beribu-ribu kali sebelumnya. Terpaksa melalui surat ini karena aku terlalu pemalu untuk menyampaikannya langsung di hadapanmu.

Fei Lung, aku mencintaimu… Sungguh aku mencintaimu… Dan yang hanya dapat kukatakan selanjutnya adalah, maukah kau menjadi pendampingku kelak setelah kita lulus dan aku mendapat pekerjaan? Aku yakin aku akan segera mendapatkan pekerjaan dengan pengaruh jabatan ayahku. Yang kupikirkan saat ini, aku hanya ingin hidup bahagia bersamamu. 

Semoga kau masih memiliki kebaikan hati dengan segera menjawab suratku — apapun jawabannya. Aku akan mencoba untuk senantiasa tegar, matahariku… 

Kho Ping

Fei Lung terhenyak setelah membaca surat itu. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Kho Ping menyimpan perasaan cinta di hatinya. Sejauh prasangkanya, Kho Ping adalah sekedar sebagai sahabat yang baik baginya. Kini, mau tak mau, hatinya dilanda kebimbangan. Terlebih, beberapa minggu yang lalu, ayahnya mengajukan seorang kerabat jauh sebagai calon suaminya. Fei Lung sangat mencintai ayahnya dan senantiasa patuh. Ia bahkan seringkali rela mengabaikan perasaannya sendiri demi kebahagiaan ayahnya. Bahkan jika ayahnya memintanya menikah dengan seseorang yang telah dipilihkan untuknya, barangkali Fei Lung pun takkan merasa terlalu keberatan. Namun kini, hatinya benar-benar diliputi kebimbangan. Ia masih belum memiliki keyakinan hendak memberikan menjawab apa pada Kho Ping.

Bersambung………..

Cinta Lelaki Pencangkul Batu

Jika aku tak punya kelamin, apakah ia akan tertarik untuk mencintaiku?

Dada lelaki itu bergemuruh meski raut wajahnya tampak tegar dan baik-baik saja. Hatinya dirundung gundah gulana lantaran kebimbangan yang menggelayuti pikirannya. Ia sedang mencintai. Namun ia menemukan bahwa mencintai seperti bertahan menggenggam belati, ketika menyadari hal pahit yang menjadi aral rintangan untuknya mendapatkan cinta dari sang pujaan hati.

Lelaki itu terlahir cacat karena tak punya kelamin. Ayah ibunya miskin, sehingga tak mampu merawat kandungan sedemikian rupa, seperti layaknya ayah ibu lain yang mengharapkan bayi sepenuh hati. Dulu, ibunya bahkan sempat berusaha untuk menggugurkan kandungannya, meski gagal. Maka lahirlah ia dengan kondisi yang memprihatinkan. Tabib hebat yang baik hatinya telah berhasil membuatkan saluran pembuangan di bagian tubuhnya. Meski demikian, ia divonis tak dapat melakukan proses pemenuhan kebutuhan biologis, apalagi menghasilkan keturunan. Kecacatannya adalah aib bagi keluarganya. Namun mereka semua berhasil merahasiakannya dari kuping dan bibir yang senantiasa haus pergunjingan.

Hidup lelaki itu sangat sederhana. Ia mencangkul batu di bukit sebelah selatan hutan, yang kemudian ia jual pada mereka yang sedang mendirikan bangunan. Saat senja, ia menyudahi pekerjaannya, menuruni bukit dan menuju ke pasar. Disanalah ia mengistirahatkan raga lelahnya, membaringkan tubuh perkasanya di salah satu dipan di sudut pasar yang biasanya dipergunakan untuk berjualan sayur pada pagi hari. Menjelang malam, pasar begitu sepi tanpa penghuni. Hanya terdapat lapak dipan kosong yang berjajar dalam kegelapan, dan kucing ataupun anjing kampung yang berkeliaran atau tidur melingkar di beranda toko-toko yang tutup.

Namun sejak lima belas tahun belakangan, ia tak lagi mudah memejamkan kesadaran supaya lekas mendarat di alam mimpi. Angan dan pikirannya masih berkelana, membayangkan sosok perempuan yang dicintainya, namun tak sudi disentuhnya. Acapkali linangan airmata mengiringi lamunannya. Suatu saat, ia pasti akan dapat menyentuh hati perempuan itu, yang barangkali saat ini masih menjadi batu di hadapannya. Lamat-lamat, ia tertidur di antara gumam bibirnya yang merapal doa, menerjemahkan keyakinan.

Sebelum fajar menyingsing, lelaki itu harus membuka matanya supaya tak didahului oleh para pedagang yang tiba di pasar. Biasanya, ia terbangun saat mendengar gemerincing lonceng di leher sapi dan derit roda pedati yang mengangkut bahan-bahan pokok para pedagang melewati jalanan yang masih lengang. Segera ia meraih sapu korek dan membersihkan lapak-lapak yang berceceran remah dan sisa-sisa tulang ikan, bungkus-bungkus makanan, ataupun debu-debu jalanan. Nanti, ia akan menerima upah dari para pedagang yang berbaik hati padanya. Beberapa keping uang, atau sekedar nasi dan lauk pauk untuk kebutuhan perutnya dalam sehari.

Usai dengan kegiatannya di pasar, lelaki itu berangkat menuju bukit, menjinjing cangkul dan linggisnya. Namun sebelumnya ia mampir sebentar ke sebuah kedai yang menjual bunga-bunga segar. Si pemilik kedai sudah hapal betul dengan kedatangan dan permintaannya. Setangkai mawar putih telah dipersiapkan untuknya meski hanya membayar separuh harga.

Dengan hati-hati, dibawanya setangkai mawar putih itu menuju sebuah rumah tua di salah satu sisi perkampungan. Disanalah tempat tinggal perempuan yang dipujainya. Seorang perempuan yang dulunya cantik dan cakap menari. Diletakkannya mawar putih di depan pintu, di beranda rumahnya. Kemudian ia pergi melanjutkan perjalanannya menuju bukit, tempat ia mencangkul batu. Demikianlah kebiasaannya setiap hari. Tak ada yang menahannya, tak ada yang menggubrisnya, tak ada pula yang mempergunjingkannya. Perjalanan waktu mengantar semua orang melupakannya. Tapi perjalanan cintanya tak pernah mengantarnya pada pilihan untuk melupakan.

 

Kisah cintanya bermula ketika ia menemukan sosok perempuan yang sedang berlatih menari di tanah lapang di pinggir sungai tepi hutan. Melalui semak-semak, ia mengintipnya sedang berputar-putar, melentingkan tungkai-tungkai kakinya yang panjang ramping, meliukkan jemari tangannya yang lentik, menata tatap matanya yang bersinar. Tiap gerakannya menyalakan gairah. Bibir mungilnya menyiulkan melodi yang bahkan membuat burung-burung ikut berdendang. Baju yang dipakainya tampak basah oleh keringat, sementara anak-anak rambutnya menghiasi pelipis dan lehernya yang jenjang. Ia menjadi bercahaya di mata lelaki itu.

“Keluarlah! Aku tahu kau mengintipku sedari tadi.”

Tanpa dinyana, perempuan itu berteriak ke arahnya. Lelaki itu jadi tersipu, namun akhirnya ia memutuskan untuk menampakkan diri di hadapan perempuan itu, memperkenalkan diri.

“Siapakah kamu?” tanya perempuan itu penuh selidik.

“Aku hanyalah pencangkul batu di bukit sana yang kebetulan lewat dan melihat kau menari dengan indahnya…” jawab lelaki itu sambil menunjuk ke arah selatan, letak bukit tempat ia mencangkul batu. “Maaf jika aku mengganggumu…” ucapnya lirih.

“Takkan mengganggu jika kau tidak mengintipku diam-diam. Duduklah disana, kau boleh melihatku menari.”

“Terima kasih… Tarianmu indah sekali. Aku tak pernah melihat seorang perempuan menari sehebat itu. Gerakanmu seolah berpadu dengan keindahan alam di sekitar.” Ujar lelaki itu dengan berbinar.

“Aku sedang berlatih menari untuk mempersiapkan pertunjukanku pekan depan. Aku harus menghibur banyak tamu penting yang datang dari berbagai penjuru negeri,” jelasnya tanpa terkesan sombong.

“Semoga pertunjukanmu sukses… Beruntung sekali aku dapat berkenalan dengan penari hebat negeri ini…”

Perempuan itu hanya melempar senyum sekilas, kemudian melanjutkan gerakan tariannya. Sementara lelaki itu duduk di atas batu tak jauh dari perempuan itu, menikmati setiap gerak dan keindahan yang tersaji di hadapannya.

 

Hari berganti, bulan berselang, tahun bergulung, lelaki dan perempuan itu menjadi sepasang kawan yang cukup menyenangkan, saling pengertian, dan penuh penghargaan. Lelaki itu dapat merasakan gelora dalam dada perempuan itu, yang dipenuhi impian untuk menjadi satu-satunya pengindah dunia.

Namun siapa yang mengetahui suara hati sebenarnya di balik permukaan yang tersembul? Jauh di lubuk hati, lelaki itu menyimpan perasaan yang istimewa terhadap perempuan itu.

“Engkau telah menjadi satu-satunya yang terindah dalam semesta diriku…” kata suara hati yang tak dapat disangkalnya. Kegelisahannya bergemuruh dalam dadanya sendiri.

Ia ingin memeluk impian perempuan itu, namun akal sehatnya senantiasa menyampaikan realita pahit mengenai kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya bermuram durja. Akhirnya, lelaki itu sekedar membumbung kegalauannya ke atas langit-langit imajinasinya, kemudian menangkapnya kembali dengan kedua tangannya yang kasar dan kekar.

“Sampaikan rasa cintamu dengan baik. Jadilah lelaki yang kuat dengan cara tegar menerima resiko apapun,” nasehat nuraninya.

“Andai saja aku benar-benar kuat…” gumam akal lelaki itu.

“Apa yang kau takutkan? Apakah kau khawatir perempuan itu menolakmu karena kemiskinanmu?” sanggah nurani.

“Andaikan dapat sesederhana itu… Jika ia membenci kemiskinanku, aku masih memiliki tenaga dan seribu cara untuk memperkaya diri supaya ia mencintaiku. Tapi aku adalah manusia cacat. Manusia yang terlahir tanpa kelamin seperti normalnya para lelaki atau perempuan…”

Lelaki itu hampir menangis. Kenyataan menjelma sembilu yang mengiris-iris nadi harapannya.  “Dengan keadaan seperti ini, apakah aku masih memiliki kemungkinan diinginkan oleh perempuan itu?” ratapnya menghiba.

 

Keesokan harinya, lelaki itu telah membulatkan tekad. Maka berangkatlah ia menemui perempuan itu demi menyatakan segenap perasaan cintanya. Ia pun bertekad untuk membeberkan kejujuran tentang keadaannya. Segala kemungkinan yang terjadi sudah tak membuatnya gentar.

Namun sejak peristiwa itu, sikap perempuan itu mulai berubah. Ia menjauhi lelaki itu, enggan bersua, tak lagi sudi saling bicara. Lelaki itu mahfum dengan perubahan tersebut. Tapi tak dapat dipungkiri bahwa hatinya pilu, rautnya sedih, perasaannya senantiasa resah. Kendati demikian, ia tak pernah gamang dan menyerah untuk menghidupkan cintanya pada perempuan itu. Ketabahannya melebihi batu karang yang bertahan dari terjangan ombak. Hanya usia yang terkikis, sedang kecintaannya tak pernah bergeming. Wujud kesetiaannya tercermin dari bertangkai-tangkai mawar putih yang ia persembahkan untuk pujaan hatinya selama lima belas tahun lamanya.

“Akulah lelaki yang drama cintanya melebihi Majnun ataupun Shah jahan. Oh Bulan, jika kau hendak limpahkan kesengsaraan karena mencintainya, maka biarlah aku mereguk siksa abadi …”  sesumbar lelaki itu saat mata sayunya memandang bulan dalam remang malam.

“Dia lelaki gila. Seharusnya ia cukup tahu diri bahwa aku takkan pernah menjadikannya kekasih. Aku tidak mencintainya. Hanya itu satu-satunya persoalannya, namun juga yang paling besar dan utama. Bagaimana aku bisa bergairah dengan manusia yang tak punya kelamin? Aku hanya manusia biasa yang masih ingin mengecap kenikmatan, juga memperoleh keturunan. Lagipula, banyak sekali pria normal yang memikat yang menginginkanku. Mudah bagiku mendapatkan benih terbaik. Sementara dia hanya akan menjadi aib bagiku. Kupikir saat ini dia hanya menyiksa dirinya sendiri. Kalau dia mau mati, aku takkan peduli…” Perempuan itu berkata dengan mimik masam disertai cibiran.

Kebesaran namanya sebagai penari hebat seantero negeri membuatnya senantiasa dilimpahi senyum dan tawa. Kekasih-kekasih yang membanggakan datang dan pergi bak cuaca dalam satu musim, menawarkan pelukan dan kenikmatan yang menjadi candu. Kekayaannya bertumpuk-tumpuk, menjadikannya tak pernah kekurangan, tak pernah kelaparan. Bibirnya telah kesat mereguk anggur dari berbagai penjuru negeri. Daging-daging anak domba hanya menjadi makanan para pelayannya. Dan sutera-sutera warna-warni terus saja berdatangan memenuhi gudang dan almari pakaiannya.

awesome-art.biz Man Digging

Sementara lelaki itu masih setia mencangkul batu di bukit, masih setia membersihkan pasar sebelum terbit fajar, dan juga masih setia mengiriminya mawar putih yang ia letakkan di beranda rumahnya. Waktu tak jua menggerakkan roda nasibnya kemanapun.

 

Berbeda dengan nasib perempuan itu, yang berputar bak gasing bertenaga penuh. Keadaan cepat berubah. Ternyata kejayaannya tak selamanya berada dalam genggaman. Sepuluh tahun berselang mengantarnya pada gerbang kegelapan. Tubuhnya renta dengan cepat karena terkikis sebuah penyakit langka yang datang tiba-tiba. Tak ada yang mampu menyembuhkannya, padahal kekayaannya semakin terkikis habis, dan kemampuan menarinya sekedar menjelma menjadi kenangan. Ia tak berdaya. Tak lagi ada yang mempedulikannya, yang menyanjung-nyanjungnya. Kemiskinan datang bersuka ria menjadi selimutnya.

Namun laki-laki itu, tak jua berubah perasaannya, kebiasaannya. Ia masih menaruh bunga mawar putih di beranda rumah perempuan yang telah menjadi buruk dan dilupakan. Kesetiaannya ini lambat laun mulai mencairkan hati perempuan itu. Ia mulai dapat mengalirkan air mata dari mata air nuraninya. Linangan yang meremas-remas hati kecilnya, yang menciptakan bergunung-gunung penyesalan dalam lembah kesadarannya.

“Sesungguhnya aku tak lagi peduli apakah ia punya kelamin atau tidak… Tapi, mampukah ia menerima dan memaafkanku yang telah tercoreng cela dan aib, yang telah terbungkus oleh renta usia dan kekalahanku pada semesta?”

***

 Januari 2013

KEJUTAN

Maria nyaris terlonjak kaget saat matanya menangkap sosok lelaki jangkung berkacamata dan berparas wajah baik-baik duduk manis di pojok kafe. Sosok itu tampak sedang menunggu seseorang setelah melalui perjanjian yang dibuat sematang-matangnya. Sejenak Maria ragu, apakah ia akan mendekat atau menghindarinya. Namun ia pun telah terlanjur membuat janji dengan seseorang di kafe itu, seseorang yang sudah sangat lama dinantikannya. Seseorang, yang kemudian mulai ia ragukan lamat-lamat jati dirinya.

Dulu, lelaki yang sedang duduk di bagian pojok kafe itu amat dikenalnya. Ah, siapa yang tak mengenal luar dalam mantan kekasih sendiri? Sandy memiliki goresan kisah menarik di hatinya. Namun itu dulu, ketika mereka belum memutuskan hubungan, menyudahi untuk bersayang-sayangan. Tepatnya, Maria lah yang meminta putus. Tanpa alasan. Tanpa belas kasihan.

Kisah cinta Maria dan Sandy telah berlangsung dua tahun lamanya. Bosan, tentu saja. Tak lagi ada kejutan yang membuat hatinya riang berbunga-bunga. Tak lagi ada sengatan gairah dalam tiap perjumpaan. Mereka terlanjur terbiasa satu sama lain, sampai-sampai tak lagi merasakan beda ketika ada ataupun tiada. Jenuh, itulah ungkapan sesungguhnya. Apalagi, saat itu Maria mulai tergoda oleh sosok lain yang lebih memacu hasratnya. Ia punya insting bahwa lelaki baru yang sedang diincarnya akan menjadi sosok yang berpotensi meruapkan kembali semangat hidupnya. Maria yang sudah bosan sekaligus merasa bersalah, memutuskan untuk memutus hubungan. Sandy, biarlah menjadi sekedar masa lalunya, mencari sendiri kebahagiaan tanpa perlu melibatkan dirinya lagi.

Sudah lama sekali mereka tak lagi saling berhubungan. Sandy memang masih berusaha beberapa kali menghubunginya. Bagaimanapun, masih ada sisa cinta dan kesetiaan di hati pria nestapa itu. Namun Maria telah merasa enggan. Pikirnya, lebih baik menyudahi setuntas-tuntasnya daripada meninggalkan sisa-sisa akar yang nantinya malah membelitnya. Pikirnya, ia tak mau memberi harapan palsu pada Sandy, yang pikirnya, tak punya harapan untuk masa depannya. Maria semakin menjauh, tanpa pernah menyadari bahwa Sandy menjadi semakin rapuh.

Waktu bergulir setapak demi setapak. Merajut dan menghabisi hubungan cinta seperti membalik telapak tangan bagi Maria, yang punya sejuta pesona. Lelaki tampan nan menawan itu telah ia dapatkan, telah pula ia campakkan. Kisah cintanya berganti-ganti, namun tak jauh berbeda, melulu menuangkan warna yang sama.

Namun yang ini, yang sekarang, agak berbeda. Seseorang yang semula ia kenal secara asal di media sosial ternyata cukup mampu membetikkan rasa penasarannya. Bahkan diam-diam, hasratnya berdesir tiap kali mereka bertukar sapa tanpa perlu kehadiran. Rasa ini jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Maria tertarik bukan karena ketampanan, bukan karena kejantanan. Ia terpesona oleh sebuah pembawaan yang tumbuh dalam imajinasinya.

Prasetya. Sedemikian sederhana nama akun yang mampu membuatnya berbunga-bunga. Sosok misterius itu hanya punya kata-kata, hanya punya pancaran semangat dan sedikit banyak keramahan yang mampu membuat kejenuhannya meleleh. Terlebih, ia sangat rendah hati meski banyak hal yang mampu membuatnya meninggikan diri. Kata-katanya adalah sumber inspirasi bagi jiwa-jiwa pencari. Karya-karyanya bahkan telah terbit berulang-ulang. Sungguh, ia sosok yang sangat layak dikagumi.

Namun satu hal yang membuat Maria teramat girang, teramat beruntung. Usahanya yang spekulatif membuahkan hasil yang menggembirakan. Posisinya bukan lagi sekedar seorang pengagum biasa. Mereka telah berteman lebih dekat, bersikap lebih akrab. Demikianlah anggapan Maria. Media-media yang lebih pribadi mulai menjadi pilihan. Surat-surat elektronik mulai kerap berbalas-balasan. Sekiranya, banyak hal yang mereka ceritakan. Mulai dari cara menulis yang baik, dukungan berimajinasi, kisah-kisah cinta, kompleksitas persahabatan, kesenjangan orang tua, masalah pendidikan, pemerintahan, hingga ternak peliharaan.

Pesan-pesan singkat pun mulai kerap berdatangan, memberi jeda pada kesibukan. Senyatanya, keintiman di antara mereka bukan tercipta dari bibit-bibit kemesuman, melainkan dari banyak tanya yang terlontar, banyak cerita yang tersiar. Diam-diam, Prasetya telah mengisi relung-relung imajinasi Maria sebagai sosok yang menerbitkan harapan cintanya. Sosok yang diharapkan mampu menggenapi jiwanya. Memang terlalu dini untuk mengatakan bahwa Maria jatuh cinta pada sosok Prasetya. Namun ia tak kuasa mangkir, bahwa perasaan kagum itu mulai sedikit berlebih. Memang, perempuan umumnya lebih mudah larut. Emosinya seperti air. Perasaannya seringkali berloncatan dan menari kesana-kemari. Maria adalah seorang matador yang gagal. Cinta dan kekaguman yang menyeruduknya hingga menjadi puing-puing berserakan.

Hingga tibalah saat pertemuan. Pada akhirnya, ide ini menuntut untuk dilontarkan. Maria setengah memaksa, setengah merayu, bahwa pertemuan itu akan menjadi sebuah peristiwa penting baginya.

“Ada hal yang sedikit kukhawatirkan, bahwa pertemuan akan membawa perubahan, atau perbedaan kedekatan kita yang sudah terjalin sedemikian manis dan tulus. Tak ada yang berani menjaminku…”  kata Prasetya melalui surat terakhirnya.

“Aku yang menjamin. Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Apa kau dapat mempercayaiku?” balas Maria melalui pesan singkatnya.

“Aku yang seharusnya bertanya, apakah aku dapat mempercayaimu?” Prasetya mengembalikan pertanyaannya.

Namun detik-detik pertemuan itu justru memaparnya pada sebuah kejadian yang sama sekali tak terduga. Bukan Prasetya, sosok dalam imajinasinya, yang duduk di tempat yang telah disepakatinya. Maria tak habis pikir mengapa Sandy, mantan kekasihnya, yang justru mewujud nyata di hadapannya. Sempat ada keraguan, bahwa kejadian itu hanya sekedar kebetulan belaka. Barangkali Sandy memang kebetulan sedang berada di kafe tersebut, dan Prasetya kebetulan sedikit terlambat. Namun beragam pembuktian melemahkan prasangkanya. Sandy, yang memakai baju dengan warna yang Maria dan Prasetya sepakati. Sandy, yang meletakkan novel terbaru bertanda-tangan Prasetya pesanan Maria di atas meja, bersebelahan dengan secangkir kopi yang telah setengah dingin. Dan Sandy pula yang melempar senyum penuh arti ke arahnya saat menyadari kedatangannya.

Mari terpaku. Kakinya terasa begitu berat, seolah tak lagi punya kendali untuk bergerak ke arah tertentu. “Oh, apa yang harus kulakukan?” batin Maria menjerit. Ia mulai merasa panik. Maria salah tingkah, juga sedikit gelisah. Sungguh tidak mudah menghadapi kenyataan yang tiada disangka-sangka. Apalagi ia terlanjur melabuhkan hati pada sosok Prasetya, sosok imajiner yang selama ini hadir memenuhi relung hati dan jiwanya.

Maria masih berputar-putar dengan pikirannya sendiri, tak menyadari bahwa Sandy berjalan mendekat ke arahnya. Ia tak kuasa menggerakkan tubuhnya — bahkan sekedar untuk tersenyum menunjukkan keramahan. Ia tak kuasa. Gugupnya luar biasa. Perasaan dan emosinya bergolak — antara merasa malu sekaligus merasa sangat bersalah. Emosinya berkecamuk. Ingatannya tentang segala hal buruk yang pernah dilakukan di masa lalu terhadap Sandy mulai menyeruak. Maria ragu, Sandy mampu memaafkannya. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa ngeri dengan kemarahan dan kekecewaan Sandy.

Sandy sudah berada tepat di hadapannya, menatapnya yang sedang diliputi kekalutan. Sesungguhnya sorot mata itu tak terlalu tajam dan bersifat garang, melainkan sayu, penuh keteduhan. Namun Maria tak kuasa menantangnya. Ia menundukkan kepalanya, seperti prajurit yang kalah sebelum mengadu senjata. Tangan Sandy lah yang menegakkannya kembali.  Jemari kokoh itu menyentuh lembut dagunya. Beberapa detik kemudian, kedua mata mantan sepasang kekasih itu sempat saling beradu. Jiwa masing-masing berusaha saling menyelami melalui pancaran cahaya di kedua bola mata yang mencerminkan riuhnya rahasia kalbu.

“Kau masih mengingatku, kan?” sapa Sandy lembut. Kemudian ia menggamit perlahan tangan Maria, mengajaknya ke kursi yang telah dipesan dan mempersilakan duduk. Sandy memanggil seorang waitress. Tanpa pikir panjang, ia memesan cappuccino kesukaan Maria.

“Jadi, ternyata kamu Prasetya?” tanya Maria hati-hati, sedikit kikuk.

Sandy tak lekas menjawab, melainkan justru melempar senyum penuh arti.  Ia cukup menyadari bahwa terselip gurat kekecewaan di hati Maria.

“Jadi itu sebabnya kau tak pernah sekalipun mengizinkanku melihat fotomu?” Maria kembali mencecarnya, namun lagi-lagi, Sandy hanya membalasnya dengan senyuman.

“Apa kau kecewa setelah mengetahui bahwa ternyata Prasetya adalah Sandy? Kini kau mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Meski kau sudah berjanji bahwa takkan ada yang berubah setelah kita bertemu, tapi aku tak berhak mengendalikan perasaanmu. Marahlah, jika kau ingin marah padaku.”  Sandy terlihat pasrah, namun sekilas intonasinya  terdengar seperti melemparkan tantangan pada Maria.

“Aku hanya….”

“Aku minta maaf karena yang kau temui adalah aku, yang tak sesuai dengan harapanmu…” potong Sandy.

“Bukan begitu. Dengarkan aku dulu…”

“Aku tahu bahwa aku hanyalah masa lalu untukmu. Yang kau harapkan adalah Prasetya, yang sedang mengisi relung-relung imajinasimu. Prasetya berhasil menarik hatimu, tapi kini kau menemukan kenyataan bahwa Prasetya adalah Sandy. Sementara Sandy adalah yang mati-matian kau hindari. Sekarang terserah padamu, dengan apa yang akan kau lakukan setelah ini. Ah, seharusnya aku tak perlu menurutimu untuk menciptakan pertemuan ini. Andai saja begitu, barangkali kita akan tetap bahagia di tempat masing-masing…” Sandy melemparkan pandangannya ke arah lain, demi mengucap hal-hal yang memedihkan hatinya.

Maria terdiam, membiarkan Sandy meluapkan segenap isi hatinya. Hal seperti itu tak pernah dilakukannya di masa lalu. Dulu, Maria yang terlampau cerewet, terlalu menuntut. Egonya menindas kepasrahan Sandy, yang lebih senang memilih bungkam.

Hingga Sandy mulai sedikit rileks, dengan hati-hati Maria mengatur diplomasi.

“Aku yang seharusnya meminta maaf, bukan kamu… Maafkan masa lalu kita… Barangkali aku memang bodoh sekaligus egois…” Sejenak Maria merasa mengambang, mencipta jeda. Ia menyadari bahwa keputusannya ada di ujung lidahnya. “Namun Prasetya ataupun Sandy, hal itu takkan mengubah sikap dan perasaanku. Bukankah aku sudah berjanji? Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Jujur saja, ketika mengetahui bahwa ternyata Prasetya adalah kamu, sebenarnya aku justru merasa lega.  Takkan kupungkiri bahwa aku mengagumi sosok Prasetya hingga sangat penasaran dan ingin menemuinya. Namun ternyata aku menemukanmu. Separuh hatiku berharap engkau telah melupakan masa lalu dan memaafkanku. Tapi sepertinya itu sulit… Aku mengerti… Maafkan aku, Sandy… Maaf telah membuat luka yang dalam di hatimu…”

Sandy terdiam. Perasaannya berkecamuk, namun ia pu tak hendak mengamuk. Bagaimanapun, ia masih mencintai Maria. Rasa cinta itulah yang membuat mati rasa sakit di hatinya. Sejujurnya, Sandy masih senantiasa berharap bahwa cinta yang menghilang itu dapat hadir kembali dan terajut dengan lebih indah. Kala menatap Maria, harapannya terbit. Sandy tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, kehilangan Maria untuk yang kesekian kali. Inisiatifnya yang menuntunnya berlutut di samping gadis itu. Tangannya meraih jemari gadis mungil itu, kemudian mendekap dan menciumnya dengan lembut.

“Aku mencintaimu Maria… Selalu begitu. Meski demikian, aku tak akan memaksamu untuk mencintaiku. Tapi aku pun tak bisa berpura-pura mengatakan bahwa aku bukan Prasetya. Aku Prasetya, sekaligus Sandy. Jika lebih baik bagimu memisahkan antara Sandy dan Prasetya, kumohon, kita hentikan saja semuanya. Itu akan membuat segalanya lebih baik untuk kita.”

Kemudian Sandy bangkit dan meraih novel yang ada di atas meja, menyerahkannya pada Maria. Sejenak ia memuaskan diri memandangi sosok Maria yang masih terpaku. Ia melihat air mata yang mengalir di pipi mantan kekasihnya. Namun Sandy tak hendak berbuat banyak. Ia memilih meninggalkan Maria yang tengah mengusap bulir-bulir bening di pelupuk mata dengan jemarinya.

Pandangan Maria beralih pada novel yang diberikan Sandy. Lamat-lamat ia membaca judul besar yang terpampang pada cover.

“Sandy..!”

Sandy menghentikan langkahnya, memberikan waktu pada Maria untuk meneruskan ucapannya. Hatinya semakin bergemuruh.

“Aku akan menerima novel ini jika kau melakukan hal yang sama…”

Sandy membalikkan tubuhnya.

“Maksudmu?”

“Ya, aku akan dengan senang hati menerima novel ini jika kau memberiku kesempatan kedua,” kata Maria lirih. Senyumnya terbit, sementara Sandy mencoba menangkap kedalaman makna di balik ucapan Maria. Seperti bisa membaca senyuman Maria, Sandy pun tersenyum bahagia, kembali menuju ke arah Maria. Lekas ia mendekap gadis mungil itu dengan pelukan hangat. Hanya lega yang tersisa di dadanya.

Ada yang berbeda di hati Maria. Perasaan indah yang membuatnya merasa sangat riang, berloncat-loncatan bak kupu-kupu di musim bunga. Perasaan yang sempat menghilang dalam dirinya, namun kini tiba-tiba hadir kembali dalam hatinya. Tak pernah terbersit sekalipun dalam pikiran, bahwa semesta akan membawanya kembali ke pelukan Sandy. Namun ia hanyalah mahluk kecil tak berdaya yang tak mampu menolak kejutan. Kejutan manis, demikian ia memaknainya dalam hati.

Maria tak ingin melepaskan Sandy, seperti halnya Sandy tak ingin melepaskan dekapannya pada Maria. Mereka tak menyadari ketika novel itu terjatuh di lantai. Novel berjudul ‘Kesempatan Kedua’ yang dipesan Maria pada Prasetya — atau Sandy. ***

 

 

Karya duet Bintang Berkisah & Rini Adhiatiningrum (@riniebee) #kisahkejutan

Editor naskah: Bintang Berkisah

Perjumpaan

There’s a lady who’s sure all that glitters is gold
And she’s buying a stairway to heaven
When she gets there she knows, if the stores are all closed
With a word she can get what she came for
Ooh, ooh, and she’s buying a stairway to heaven

Lelaki tua itu memetik gitar usang di sela-sela siang yang sedang mengandung mendung. Matanya terpejam, memberi kesempatan sekelebat angan berkelindan pada dimensi ruang dan waktu yang tanpa batas. Namun masa silam membentang lebih lebar di hadapan. Pintu kenangan berderit pelan, mempersilakan masuk langkahnya yang tersaruk. Kelebat bayangan kisah kejayaan menyeruak, menjelma menjadi nada-nada ritmik dalam tiap petikan akustiknya. Melodi yang menyayat itu mengalahkan hembusan angin dan rintik hujan yang tampak sedang berusaha mencumbunya.

**

“Aku dipromosikan menjadi redaktur senior!” kabarnya sumringah sembari melepas jaket kulit hitamnya. Sementara Miranda sekedar bersikap cuek, seperti biasa. Gadis mungil berkaki jenjang itu masih bergelung di atas kasur bersprei kumal yang telah teracak kemana-mana. Ia tak memejamkan mata, sibuk menjentikkan kuku-kukunya yang terlapisi warna kelabu, yang telah mengelupas beberapa.

“Bangun, Sayang… Kau sudah mendekam disini dua hari. Ayo, aku akan mengantarmu pulang. Tak enak jika ibu kos sampai tahu…”

“Hmm… Mentang-mentang mau jadi redaktur aja sudah sok ngusir-ngusir…”

Miranda pura-pura merajuk. Tapi bukannya segera bangkit, ia malah menggeliatkan tubuh rampingnya saat Yudha tiba-tiba merangsek ke arahnya, menghujaninya dengan cumbuan ringan. Sejenak mereka kembali larut dalam hiburan paling sederhana dan instan yang sanggup mereka upayakan dalam sekejab.

“Aku belum mau pulang… Masih dua hari, belum tiga. Layaknya orang sakit, ijin harus tiga hari. Masih tersisa satu hari lagi, dan aku ingin menghabiskannya disini saja. Aku janji akan membersihkan kamarmu, ya…” bisik Miranda manja. Ia bahkan nyaris menggigit cuping telinga Yudha, namun segera menggantinya dengan ciuman kecil.

“Tak bisa… Nanti malam aku mau liputan investigasi,” kata Yudha, beringsut duduk di tepi pembaringan. “Badanmu tak panas lagi, kan? Kau hanya pura-pura sakit saja supaya bisa membolos, hahaa…”

“Kau sendiri saksinya, kemarin lusa badanku seperti berada di atas panggangan. Sekarang sih sudah baikan… Kau mau liputan kemana?”

“Ke Romeks…”

“Ah, pasti esek-esek lagi! Hobi sekali kamu bergaul dengan lonte-lonte. Huh, dasar wartawan esek-esek, inspirasinya melulu seputar selangkangan. Awas aja kalau kamu pulang bawa penyakit, ya!”

Yudha tersenyum tipis. Ia pun menganggap bahwa ucapan Miranda adalah sebuah paradoks hidupnya.

“Aku hanya main aman, Sayang…” katanya, sembari bangkit berdiri dan merapikan setelan kemeja dan jeans yang dipakainya. “Apa kamu pikir aku sebegitu bahagia meliput ke tempat-tempat gituan?! Nope! Tempat-tempat itu kering. Payah! Asal kamu tahu, uang di dompetku tinggal beberapa lembar saja. ATMku pun sudah ludes.”

Kondisi klise. Soal kehabisan uang selalu menjadi tajuk permasalahan tiap menjelang pertengahan bulan. Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari gaji yang cuma dapat memuaskan rasa sekelebatan? Yudha dan Miranda sama-sama wartawan. Namun meski Yudha lebih senior, tak juga dapat dikatakan lebih makmur ketimbang Miranda. Cinta, yang membuat mereka bersekutu untuk menyiasati keadaan, saling menutup lubang dan kekurangan. Juga kesenangan.

“Apa hari raya besok kamu jadi pulang kampung?”

“Pulang kampung pakai daun! Ini adalah hari raya yang menyedihkan untukku. Jauh dari keluarga, pun masih diberondong tugas-tugas liputan yang melelahkan dan menyita waktu.” Yudha bersungut-sungut. Sangat terlihat, ia tampak sedang kesal betul.

“Ya sudah, masih ada aku, kan? Kutemani kamu merayakan hari rayamu. Let’s have fun together, hahaha!”

Have fun apaan? Kamu sama-sama kere…” Yudha melengos.

“Aha, sepertinya aku masih punya uang. Kita bisa makan soto di tempat favoritku itu.”

“Hahaa…. Sudahlah. Aku masih trauma nganterin kamu ke ATM tapi ternyata uangmu bahkan kurang untuk dapat diambil di mesin sialan itu. Dan sepanjang perjalanan, kamu hanya  cengengesan saja, padahal aku sudah terlanjur ngiler membayangkan soto dengan kuah panasnya… huh!”

“Oh, hahahaa… ternyata kamu masih ingat peristiwa itu, ya… hahaha… Sungguh, kasihan sekali kita waktu itu, ya.. hahahaa…”

Keduanya tertawa, atau tepatnya saling menertawakan. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa hidup yang terlalu singkat ini tak sepatutnya dihiasi oleh tangis dan kemurungan melulu. Adakalanya, tawa adalah ekspresi paling tepat saat hidup dirasa semakin rumit dan tak terjangkau. Tawa hadir ketika manusia tak lagi tahu apa yang harus diungkapkan, ketika tangis dan rutukan telah tandas tanpa bekas.

Miranda meraih sekantung kacang  yang  sempat ia beli kemarin. Ia menyorongkan makanan ringan tersebut ke arah Yudha yang sedang duduk di lantai bersandar pada lemari pakaian. Sejenak dua anak manusia itu sibuk dengan kacang dalam genggaman masing-masing. Setelah habis tak bersisa, tak ada lagi yang dilakukan selain kembali menggembala angan dalam ladang keheningan.  Yudha memilih menghibur diri dengan meraih gitarnya, menyenandungkan satu atau beberapa lagu yang terpotong-potong. Kadang ia ingin sekedar membuat Miranda, yang senantiasa tergila-gila pada lelaki yang piawai bergitar, terpesona.

**

Dulu Yudha tak seperti itu. Yang terekam baik dalam ingatan Miranda, Yudha adalah seorang pria yang sungguh menggoda. Kharismanya memikat banyak gadis jelita. Selain itu, ia adalah pria cerdas dengan cara pikir yang kritis dan gagasan yang seringkali cemerlang. Kepekaannya pada intelektualita mengagumkan, meski tak jarang berpendapat sinis. Di samping itu, pembawaannya selalu percaya diri. Sisi positif itulah yang membuat Miranda begitu menyukainya.

Semenjak musim pemilihan kader-kader partai politik, beberapa halaman di koran tak pernah sepi. Yudha selalu bersemangat menulis kisah dan intrik politik dari sudut pandang berbeda. Kadang-kadang ia memberi kejutan yang membuat beberapa pembaca terbeliak atau mengernyitkan dahi. Investigasinya yang mendalam seringkali mengagumkan. Tak heran jika ia kerap menjadi momok bagi para pejabat di dewan ataupun pemerintahan. Maklum, pada masa itu, penyelewengan-pengelewengan kekuasaan yang dilakukan sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan begitu marak. Setiap kesempatan dalam lobi kekuasaan menjadi peluang untuk memperkaya dan memperkuat diri demi kepentingan individu atau kelompok. Hiruk-pikuk peperangan di kancah politik acapkali lebih menarik daripada balada manusia-manusia yang mati karena lapar.

Di sisi lain, bagi orang-orang semacam Yudha, rentetan peristiwa itu bak durian yang jatuh pada musimnya, tinggal memunguti buah-buahnya yang tergeletak begitu saja di atas tanah. Yudha pun tak pernah kekurangan akal dan siasat untuk menyudutkan para penyeleweng dan oknum penguasa yang kalap melalui tulisannya yang tajam menebas. Tak heran jika pamornya sebagai seorang redaktur senior jadi kian cemerlang, meski menuai banyak ancaman.

Sudah lima belas tahun Miranda tak lagi bertemu Yudha. Ia sempat mendengar kabarnya secara samar. Tapi ia harus pandai-pandai menjaga sikap dan menyembunyikan perasaannya. Bukan semata karena suaminya akan berang bukan kepalang jika mengetahui bahwa ia mencoba menghubunginya. Pun demi keselamatan Yudha, yang selalu ia khawatirkan setiap saat.

Yudha memang tak pernah berubah. Kadangkala sikap angkuhnya begitu menjengkelkan. Ia tak pernah gentar menghadapi siapa saja, sulit untuk kompromi. Idealismenya menggebu dan menyakitkan. Beberapa yang tersakiti akan menganggapnya sebagai intimidator sejati.

Suami Miranda adalah salah satu korban. Tuduhan korupsi dan suap-menyuap bukanlah persoalan sepele. Ditambah dengan rumor skandal tak sedap mengenai seks dan perempuan. Yudha berhasil mengungkap gundik-gundik simpanan yang dipelihara di beberapa tempat kos mewah melalui sejumlah liputan khusus. Atau barangkali Yudha pun berhasil meniduri salah satu dari mereka.

Hanya Miranda yang benar-benar mengetahui kebenaran berita tersebut. Mungkin dia memang telah banyak tahu. Namun keberadaan Miranda pun tak lantas membuat Yudha berpikir dua kali untuk mengurungkan niat, menelanjangi suaminya. Barangkali karena Yudha terlanjur membenci Miranda.

Suami Miranda seorang politikus, punya jabatan di kursi dewan. Ia dapat melakukan apa saja dengan segala daya dan kemampuannya. Dulu ia terkenal bersih. Sebab itu yang menjadi pertimbangan Miranda untuk pada akhirnya bersedia menikah dengannya, meninggalkan Yudha. Namun masa lalu pun punya banyak kemungkinan berubah di masa depan. Dunia telah dengan buas mempermak suami Miranda menjadi manusia berhati  keras bagai cadas. Uang dan kekekuasaan telah memperbudaknya untuk  tega melakukan segala cara. Apa yang dapat dilakukan Miranda yang kini hanya sekedar menjadi ibu rumah tangga? Sekedar menangisi pilihan takkan dapat merubah apa-apa.

Dengan beberapa pengaruh dan upaya, suami Miranda berhasil menghabisi Yudha melalui pisau dalam lipatan. Jabatan Yudha tergeser, tak lagi punya kewenangan dengan berita-berita yang berpotensi riskan. Keputusan pimpinan benar-benar tak dapat ia gugat. Suaranya lebih lemah. Bahkan Miranda pun tak punya kuasa apapun yang mampu mengubah nasib mantan kekasihnya. Tangisnya hanya menyeruak dalam gelap, sementara ia harus senantiasa menyajikan senyuman di tempat-tempat terang bersama suami yang pura-pura ia sayangi.

Namun Yudha tak pernah sudi diperlakukan semena-mena. Ia tak sudi menulis artikel-artikel mengenai tips memilih furniture atau sekedar tentang perawatan kecantikan. Ia yang merasa didholimi memilih hengkang dan bergabung dengan sebuah perusahaan media yang lebih kecil yang memiliki jumlah oplah yang menggelikan, yang seringkali sekarat karena kesulitan mencari iklan. Sayangnya, nasib baik tak jua berpihak padanya. Perusahaan kecil yang mengalami kemunduran sedikit demi sedikit itu kian suram nasibnya, hingga berakhir gulung tikar.

Waktu telah menggilasnya dalam keputusasaan. Yudha telah lelah dengan perjuangan. Tampaknya ia pun lelah mengatai Miranda sebagai pengkhianat yang telah berkhianat tak hanya pada cintanya, namun juga pada bangsa tercinta.

Masa-masa tuanya ia nikmati saja dengan bersama petikan gitar, secangkir kopi, dan sebungkus rokok di teras depan kantor sebuah harian kecil yang sudah tak lagi menerbitkan apapun.

***

Genangan air mata tak lagi bisa ditahan pelupuk mata Miranda. Tapi Yudha yang telah menua tetap mengabaikannya, tak lagi hirau dengan perasaan perempuan yang sedang duduk di bangku sampingnya. Sampai kapanpun, Miranda tak pernah mampu menjelaskan keputusan-keputusan yang pernah ia ambil dalam hidupnya, pada Yudha. Ia hanyalah seorang perempuan yang seringkali kesulitan memecah cangkang kemisteriusan jalan pikirannya sendiri.

Miranda melirik arloji. Jarumnya menujuk pukul 11.00 siang. Ia harus segera bergegas. Jam besuk Lapas akan segera dibuka, pun terbatas. Miranda tak ingin mengaburkan kesetiaannya menunggu kebebasan sang suami yang tinggal beberapa bulan lagi. Ia mencoba untuk tak goyah meski saat ini, secara tak dinyana, bertemu Yudha kembali — setelah lima belas tahun saling menghilang, saling melupakan.

Meski demikian, kesetiaan Miranda tak ada hubungannya dengan kasih sayangnya yang tak pernah lekang untuk pria tua dengan gitar akustik yang sedang melantunkan lagu yang ia tahu, khusus untuknya. ***

smalldrawings.blogspot.com

MAHESHA

Ibuku adalah seorang peri. Peri yang memangsa lelaki muda.

Aku sudah mengatakannya pada beberapa kawan dekatku, sepupuku, hingga beberapa orang yang bahkan tak kukenal sama sekali. Tak ada satu pun yang percaya. Mereka justru mengataiku sebagai pembual dan berseloroh bahwa aku terlalu banyak bermimpi. Padahal aku sedang mengatakan kenyataan dan tidak sedang bermimpi.

Namun awal mulanya memang dari sebuah mimpi.

Saat itu usiaku empat belas tahun. Malam itu tak seperti biasanya. Udara terasa lebih panas dari hari sebelumnya, membuat gerah. Langit hanyalah kelam yang kosong, lengang, tanpa semburat keindahan. Tak ada angin yang menggemerisikkan dedaun beringin. Kota seolah-olah mati. Sepi ini membuat kantukku  menjadi-jadi.

Pukul 02.00 dini hari. Aku terbangun dengan hampir terlonjak, dengan nafas terengah. Keringatku mengucur bak air bah. Kerongkonganku terasa kering, haus tiada tara. Aku menduga, malam yang senyap itu sempat diramaikan oleh teriakku saat sedang berkelana di alam bawah sadar. Mimpi itu begitu menakutkan. Kulihat mahluk besar serupa kelelawar membopong ibu. Sayapnya yang juga lebih besar berkibar-kibar,  menghembuskan hawa dingin yang nyaris membuat badan gemetar. Mahluk besar yang hanya dapat kulihat punggungnya itu membawa ibu menyusuri jalan setapak, menerobos hutan lebat. Semak-semak liar menghalangi jalan, onggokan ranting kering malang melintang, menjadi penghalang bagi langkah mahluk besar itu. Sepertinya daerah itu adalah sebuah pegunungan. Jalan kecil itu semakin menanjak, dan mahluk besar itu terus saja berjalan, tak merasa letih sedikitpun. Ia seperti berkejaran dengan waktu. Langkahnya bergegas dan terlihat ringan meski memanggul tubuh ibu yang tak sadarkan diri.

Tak jauh dari pohon trembesi yang begitu besarnya, mahluk itu berbelok ke arah kiri. Sebenarnya tak ada jalan yang membuatnya harus berbelok. Tubuh besarnya menerabas semak-semak perdu yang  layu sebagian. Tapak kakinya yang besar menginjak gundukan ranting kering hingga menimbulkan gemeretak yang nyaring.

Hari sudah semakin gelap. Petang segera menyusul malam. Mahluk besar itu memungkasi perjalanannya di depan sebuah gua yang keberadaannya tersamar. Tak terlalu besar, namun tubuhnya masih dapat memaksa masuk ke dalamnya meski harus bersusah payah dengan merunduk-runduk. Tangannya sigap menghalau sarang laba-laba yang centang perentang, menyingkirkan beberapa lipan dan kalajengking yang sempat merambati kaki besarnya yang berbulu.

Gua itu ternyata sangat dalam, sangat panjang. Mahluk besar yang membopong ibu terus berjalan menembus kegelapan. Yang membuatku terkejut, semakin masuk ke dalam, gua itu semakin besar, semakin luas dan lebar. Sempat kuterheran, gua apakah ini gerangan; apakah semacam sarang, ataukah tempat terlarang. Tapi anehnya, meski tak ada cahaya setitik pun, aku dapat melihat jelas apa yang terbentang di hadapan. Barangkali karena aku sedang bermimpi, sehingga aku menjadi tak kasat mata.

Langkah mahluk besar itu berakhir di sebuah ruang yang sangat lapang, sangat besar. Bahkan lelangitnya tinggi menjulang. Sepertinya ruang besar itu adalah ujung perjalanan. Dan sepertinya ruang besar itu adalah ruang pertemuan.

Sejenak ia mengedarkan pandangan ke sekitar, menarik nafas dalam, kemudian melanjutkan langkahnya yang kini lebih tertata, terlihat lebih berwibawa. Ia menuruni sebuah tangga, menuju ceruk yang lebih rendah, namun juga memiliki keluasan ruang yang tak kalah.

Pandanganku dikejutkan oleh sekawanan mahluk yang tak jauh beda dari mahluk yang kuikuti. Hanya saja, ukuran tubuh mereka sedikit lebih kecil. Namun jumlah mereka luar biasa besar. Entah ratusan, atau bahkan mungkin ribuan. Bisik dan gumaman mereka terdengar berdengung-dengung, namun tampak tenang. Seperti menunggu sebuah kejadian yang dinantikan.

Kusempatkan untuk meneliti rupa mahluk-mahluk itu satu persatu. Aku bergidik ngeri. Mereka adalah perpaduan yang janggal antara kelelawar dengan manusia. Sorot matanya seperti manusia, namun hidung lebih menyerupai kelelawar. Beberapa bagian wajah berbulu kasar, namun lingkaran di sekitar hidung, mulut, hingga kelopak mata begitu mulus. Badan mereka tegap dan berbulu. Jemari tangan tampak kekar dan dipenuhi bulu. Hanya bagian kaki yang aneh, sedikit mirip kera. Mereka memiliki sepasang sayap besar, sayap seperti kelelawar, yang mencuat dari punggung mereka yang telanjang. Adakalanya mereka mendengus-dengus seperti babi.

Aku masih mengikuti mahluk besar yang membopong ibuku. Ia tengah berjalan menuju sebuah altar persembahan yang dikelilingi mahluk-mahluk aneh itu. Seketika itu juga, semua mahluk yang ada di ruang itu menghentikan segala suara. Hening mencekam suasana. Altar persembahan itu seolah telah  menanti kedatangan ibu sejak masa silam. Nyala api dari dua buah obor di samping kanan altar bergoyang-goyang, seolah mempersembahkan tarian penyambutan.

Mahluk besar itu membaringkan ibu dengan hati-hati, dengan posisi telentang yang rapi. Ibu masih tak juga bangun. Ia seperti terbius oleh mimpi indah. Kulihat mahluk itu sempat memandangi ibu dengan sorot mata sayu. Sorot mata yang  sepertinya menyimpan kedalaman rasa. Barangkali tersemat sebuah cerita yang mengandung kenangan di dadanya. Sebuah rasa yang menenggelamkan asa. Entah mengapa, menyelami sorot matanya membuatku tiba-tiba diliputi kesedihan yang nestapa.

Puas memandangi ibu, kemudian ia itu beranjak menuju sebuah cawan yang telah disediakan. Terdapat sebuah belati kecil dengan gagang berukiran indah. Belati itu tampak tajam dengan sisi-sisinya yang mengkilat oleh terpa cahaya obor. Mahluk itu menimang-nimangnya dengan tangan kanannya. Kemudian pelan ia menghampiri ibu. Dengan penuh khidmat, diarahkannya sisi tajam belati tersebut ke leher ibu. Goresan kecilnya mampu meneteskan setitik darah.

Tiba-tiba badanku terasa kejang. Aku gemetar hebat. Ketakutan menyergapku sedemikian rupa. Aku tak lagi sanggup melihat pemandangan di hadapanku. Mereka akan menyembelih ibu. Aku dapat menduganya karena adegan-adegan serupa ini sering kujumpai di film-film. Tapi mengalaminya sendiri adalah persoalan berbeda. Apalagi yang menjadi tumbal persembahan adalah ibu kandungku sendiri. Anak mana yang rela melihat ibunya mendekap kematian? Anak mana yang tega melihat sebuah belati tajam menggores leher ibunya yang sedang dalam keadaan tak berdaya?

Saat itulah aku bangun dengan terengah-engah.

**

Hingga usiaku lima belas tahun, tak ada kejadian luar biasa yang menghampiri, yang kira-kira berkaitan dengan firasat mimpi mengerikan itu. Ibu masih berada di sampingku, masih mencium keningku sebelum aku tidur dan terlelap.

Ibu memang tak pernah tidur lebih awal daripadaku. Semalam apapun aku beranjak ke tempat tidur, ia memilih bertahan menemaniku. Padahal ia tak begitu tertarik dengan siaran televisi program apapun. Jika tak menyulam atau membaca, maka ia hanya duduk diam di sofa. Entah apa yang sedang bermain-main di pikirannya. Aku tak pernah berusaha mengusiknya, atau melibatkannya dalam duniaku. Ibuku seorang pendiam, dan aku pun merasa tak keberatan.

Pada suatu malam aku mendapat sebuah pengetahuan. Lelap tidurku terganggu karena kandung kemihku memaksaku untuk segera ke kamar mandi. Tapi niatku urung, terjegal di tengah jalan oleh suara isak tangis yang menggiriskan hati. Siapa gerangan yang menangis di tengah malam hingga membuat bulu kuduk meremang? Apalagi tangisnya nyaris serupa lolongan – menyayat pendengaran.

Kuhampiri arah asal suara. Rasa penasaran menggilas rasa takutku. Kamar ibu tidak terkunci, sehingga aku dapat masuk dengan leluasa. Kulihat ibu bersimpuh di sudut ruangan, memunggungi arah datangku. Tangisnya terdengar makin jelas di telingaku. Isaknya mengguncang bahunya yang terlihat rapuh. Ia tergugu sendirian, merana bersama keheningan.

“Ibu….”

Rupanya kehadiranku cukup mengagetkannya. Perlahan ibu menoleh ke arahku setelah berusaha mengusap jejak tangis pada wajah putihnya yang pasi. Mata kami saling bertatapan. Tapi aku benar-benar kaget, karena melihat sebercak noda darah mengotori sudut mulutnya yang mungil. Ibu terlihat rikuh dengan kehadiranku yang sepertinya sama sekali tak ia harapkan.

“Kau belum tidur, Mahesha?”

“Aku tak bisa tidur karena mendengar Ibu menangis… Ada apa, Bu? Apakah engkau sakit? Ayo kita ke dokter…”

Tak bisa kupungkiri, aku jadi sangat mencemaskan ibu. Aku takut sesuatu yang buruk telah terjadi padanya. Hanya ia satu-satunya yang kupunya sejak aku tak pernah mengetahui rupa ayahku. Ibu mengatakan bahwa ayah tewas dalam sebuah kecelakaan saat aku masih berada dalam kandungan. Pengetahuan itu sudah lebih dari cukup untuk membungkamku mengetahui lebih banyak tentang keberadaan ayah.

“Tidak, Nak… Ibu tidak apa-apa…” Jawab ibu dengan nada suara lemah. Getar suaranya menyampaikan keletihannya.

“Tapi… darah itu… Ibu berdarah… Apa ibu muntah darah? Tidak mungkin tidak terjadi apa-apa dengan ibu!” tandasku bersikeras. Tatapanku menelanjangi pengakuannya. Ibu mulai merasa tak nyaman. Sebisanya, ia menghapus sisa-sisa darah di mulutnya dengan punggung tangannya.

“Kemarilah… Mendekatlah. Ibu hendak memberi tahu suatu rahasia kepadamu. Mungkin inilah  saatnya kau mengetahui siapa jati dirimu. Rahasia ini tak bisa Ibu pendam sendirian, karena lambat laun kau pun pasti akan mengetahuinya, menyadarinya. Satu-satunya harapan ibu, semoga tak ada sesal di hatimu. Maka dengarlah, Nak… Kemarilah…”

Aku segera beringsut mendekati ibu dan bersimpuh di hadapannya. Kulihat sorot matanya yang semakin sendu. Jejak air matanya masih bertengger di tulang pipinya.

“Berat sekali harus mengatakan perihal ini padamu. Tapi kau harus tahu…” Ibu mengambil nafas sejenak sebelum meneruskan kalimatnya. “Kau harus tahu bahwa kita…. sesungguhnya bukan manusia biasa, Nak…”

“Maksud Ibu?” Aku semakin tak mengerti dengan apa yang Ibu katakan.

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kau adalah manusia setengah peri, Mahesha. Kau akan merasakan perubahan yang nyata saat usiamu menginjak enam belas tahun. Kau akan memiliki sayap yang bisa kau munculkan atau sembunyikan sesuka hatimu. Kau akan dapat terbang kemana kau suka. Selain itu, kau pun akan dapat membaca pikiran manusia biasa.”

“Wow! Ahahahaa… Ibu pasti bergurau! Hahahaa… Tapi sumpah, lelucon Ibu keren sekali! Wow, aku adalah manusia peri? Hebat sekali! Aku bisa terbang atau menjadi manusia sesuka hati. Ini sungguh-sungguh keren, Bu…” Aku merespon ibu dengan tawa kering. Kupikir Ibu sudah keterlaluan karena menciptakan lelucon pada waktu yang janggal.

“Ya, Mahesha… memang hebat. Tapi kau juga punya kelemahan. Dan kelemahan itu barangkali akan sedikit menyusahkanmu. Kau akan membutuhkan darah lawan jenismu, yakni darah perempuan muda demi menyambung hidupmu. Kau akan membutuhkan darah tiap bulan purnama menjelang…. Dan Ibu tidak bergurau, Mahesha…”

“Jadi… maksud Ibu, aku seorang drakula?”

Aku tercekat mendengar pengakuan Ibu. Seperti menelan arang yang sedang membara. Namun sikap ibu sama sekali tak menghangatkan kebekuan kami. Kian kusadari bahwa Ibu sedang membicarakan hal yang cukup serius.

“Ibu lebih senang menyebut kita sebagai manusia setengah peri ketimbang drakula, Mahesha…”

“Apa bedanya? Bagaimana bisa begitu, Bu?”

“Ayahmu lah yang menggenggam awal mulanya. Ibu yang manusia biasa rela menjadi seperti ini demi mewujudkan cinta kami. Itulah cinta, yang pertaruhannya membabi buta. Ibu rela menikahi bangsa ayahmu karena kami telah terlanjur jatuh cinta… Konsekuensinya, ibu menjadi seperti ini dan melahirkan anak sepertimu. Maafkan Ibu, Mahesha…”

Tak kupungkiri, ada sebersit kekecewaan yang menyelinap dalam egoku. Tak semestinya aku tertimpa persoalan ini. Nyaris aku tak percaya dengan semua kata-kata ibu. Segala apa yang disampaikannya terdengar seperti dongeng yang menakutkan. Tapi apa daya, ia adalah ibuku, satu-satunya yang harus kupercayai kata-katanya.

“Kau harus segera pergi dari sini menuju ke arah barat sebelum terlambat, sebelum usiamu menjerat. Kau harus menemui seseorang yang menyimpan kunci keabadian, atau kau akan terjebak dalam dimensi hampa ketika ajalmu tiba. Kita seharusnya tak diciptakan abadi di dunia ini.  Kutanamkan kesadaran ini sejak dini supaya kau tak gegabah dalam melangkah. Abadilah di tempat yang seharusnya… Pergilah, Nak…”

“Kalau begitu kita bisa pergi bersama-sama, Bu… Ayolah! Kita cari orang itu!”

“Tidak bisa, Mahesha! Ada hal yang masih harus Ibu selesaikan disini. Kau harus pergi sendiri.”

“Tapi, Bu…”

“Kembalilah ke kamarmu dan istirahatlah… Besok kau harus segera bersiap untuk perjalananmu, atau kau memilih sengsara jika tinggal disini. Turuti nasehat Ibu, Nak…”

“Aku tak akan pergi, Bu… Aku tak akan kemana-mana dan hanya ingin bersama Ibu…”

**

Kata-kata Ibu masih terngiang di telinga, di pikiran. Ingatan tentang Ibu seolah menjadi pelipur lara saat luka yang mendera ini semakin mengancam kesadaranku. Apa lagi yang bisa kulakukan saat terperangkap dalam gua yang gelap pekat di gunung batu yang terjal ini? Keadaanku sekarat, nyawaku nyaris tamat. Aku yakin, takkan ada satu pun yang menginginkan mati muda. Usiaku masih delapan belas tahun, tak seharusnya menjalani hidup yang janggal macam ini, yang nyaris setiap hari bergumul dengan hantu kematian.

Ibu telah tiada setahun lalu. Nasibnya tragis. Aku sendiri bahkan tak sempat melihat jasadnya. Konon, menurut slentingan kabar yang kudengar, sekumpulan orang yang bersikap garang, tak kenal ampunan, berhasil menangkap ibu. Rumor itu bahkan mengatakan bahwa mereka membakar sesosok drakula yang menyaru seorang wanita. Drakula itu ditengarai sebagai penyebab kematian misterius sejumlah pemuda.

Ah, padahal ibuku bukanlah drakula. Ia hanyalah seorang peri cantik yang sedikit buas karena terpaksa. Tapi mereka tidak mengerti. Sayangnya, mereka tak pernah mengerti…

Semenjak ibu tak lagi di sisiku, aku benar-benar harus mandiri, harus sendiri. Semula sempat kunikmati anugerah terindahku, terbang kemanapun sesuka hati. Namun lambat laun kurasakan bahwa keadaanku menjadi sebuah bencana. Aku tak mampu mengendalikan rasa lapar, terutama saat purnama terpapar. Aku tak sanggup mengelak dari hasrat yang serupa kutukan ini.

Sayangnya, hatiku masih berfungsi. Senantiasa terjadi perang batin dan dilema besar saat mencengkram korban-korban tak berdaya, gadis-gadis ayu yang menatapku pilu saat nyawa mereka berada dalam ujung taring gigiku. Muak aku dengan hidupku sendiri, tapi aku tiada berdaya… Nadiku terasa panas membakar jika mulai merasa lapar. Tak ada apapun yang sanggup menjadi penawar selain secawan darah segar.

Mulanya aku masih melalaikan pesan ibu untuk pergi ke arah barat. Lagipula, kemana harus mencari seseorang yang sama sekali tak kukenal, tak kuketahui rimbanya? Ibu tak banyak mengatakan sesuatu. Ia hanya berkata bahwa hatiku lah yang menjadi penunjuk jalanku untuk dapat menemukannya. Ini sungguh tak masuk akal. Maka melupakannya sejenak persoalan ini rasanya takkan memberiku masalah.

Namun dugaanku salah. Kupikir aku dapat bertahan lebih lama, setidaknya seperti Ibu yang mampu bertahan menjadi peri setengah drakula selama lebih dari panjang usiaku. Namun menjalani peran itu rupanya tak semudah membalik telapak tangan. Baru dua tahun bermetamorfosis, aku sudah babak belur. Sungguh, ibu adalah ibuku yang terhebat. Mengingatnya senantiasa membuatku menitik-nitikkan air mata. Namun kini air mataku sendiri bahkan kebingungan hendak menangisi apa. Apakah meratapi kenangan bersama ibuku, atau menangisi rasa sakit di seluruh tubuh yang menderaku.

Kelengahanku membawa petaka. Orang-orang itu telah mencium gerak-gerikku. Kecurigaan mereka semakin membulatkan tekad untuk menjebakku. Barangkali aku yang masih terlalu bodoh. Wanita yang menjadi korban terakhirku benar-benar keparat. Ia hanyalah pancingan supaya lebih mudah menangkapku. Aku seperti tikus dalam perangkap. Orang-orang itu mengejarku bak memburu hewan buruan. Parang mereka teracung-acung, lidah api dalam obor yang mereka bawa mengejek kekalahanku. Riuh suara kentongan bambu seperti kidung perang yang menciutkan nyali. Susah payah aku menghindari kejaran mereka, menyelinap di antara bayang-bayang kegelapan.

Tapi mereka berhasil menangkapku. Nyaris saja aku mati dengan cara tragis. Untunglah Dewi Fortuna masih mengasihaniku. Aku dapat lolos setelah terperangkap. Kendati demikian, mereka sempat menyiksaku habis-habisan, bahkan berniat mengulitiku sebelum membakarku. Hingga pada suatu malam, saat orang-orang itu lalai dan ceroboh, kudapati celah yang memberiku kesempatan untuk melarikan diri. Namun dengan sisa-sisa tenagaku yang kembang kempis, aku hanya dapat terbang sepatah-sepatah. Gua di gunung batu inilah yang menyelamatkanku. Setidaknya, takkan ada satu manusia pun di muka bumi ini yang mengetahui keberadaanku. Kuharap mereka akan membiarkanku, melupakanku.

Tapi rasa sakit ini benar-benar rasa sakit yang tak tertanggungkan. Luka di sekujur tubuh sudah bernanah, meski kegelapan gua menyamarkannya. Haus dan lapar pun seperti hendak menghabisi nafas dan detak jantungku. Aku tak yakin apakah akan dapat bertahan lebih lama lagi. Rasanya, kematian sudah berada dalam genggaman tangan. Air mataku sudah mengering. Satu-satunya yang tersisa adalah perasaan getir, meresapi kesekaratanku. Nasib yang kupikul ini kurasakan tak sepantasnya. Aku tak berkehendak menjadi peri setengah drakula, seperti ibuku. Namun hidup tak memberiku pilihan. Aku adalah keberadaan yang tersia-sia. Siapakah yang sanggup menolongku? Siapakah yang sanggup merubah kutukan yang mengerikan ini?

Tiba-tiba kulihat sosok samar di hadapanku. Pandanganku memang berkunang-kunang. Namun kupaksakan untuk melihat jelas, supaya aku tahu siapakah itu gerangan. Kupusatkan konsentrasiku, hingga aku nyaris terlonjak saat mengetahui bahwa ternyata sosok itu adalah ibu. Bukankah ia sudah mati? Ah, mungkin aku hanya berhalusinasi…

Ibu tersenyum ke arahku. Ada secercah kehangatan yang merambat dalam kalbuku. Aku sangat merindukan ibu. Aku ingin berlari dan memeluknya, meringkuk dalam peluk hangatnya. Tapi tenagaku telah lenyap, menjadi sekedar raga tanpa daya.

“Ah, Ibu… Mungkin sebentar lagi aku akan mati. Dan jika aku mati, kita pasti akan bersama-sama lagi… Ya kan, Bu? Bahagia sekali rasanya…” gumamku lirih, setengah terbata-bata karena tak lagi ada tenaga.

“Belum waktunya, Mahesha… Kau masih belum mendapatkan kunci keabadian. Tapi kesempatanmu masih terbentang lebar. Bangkit dan berusahalah, Nak… Kau pasti bisa!” kata Ibu dengan suara lembutnya yang mendesirkan kesejukan di hatiku.

“Oh, Bu… Aku sudah tak sanggup lagi… Aku sekarat… Aku sudah mau mati…”

Ibu tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya tersenyum, meninggalkan jejak yang sangat manis di sisa-sisa ingatanku. Di sisi lain, kurasakan tenagaku semakin lama semakin habis. Bahkan aku nyaris tak lagi dapat merasakan keberadaan tulang dan daging dalam tubuhku. Lamat-lamat, kegelapan yang pekat menyelimutiku. Hitam.

Tahu-tahu, ketika mata terbuka, aku menjadi tak berdaya, tak sanggup berucap kata, dan terperangkap dalam keranjang rotan sempit di depan pintu rumah sepasang suami istri petani. Tapi aku masih mampu mendengar pekik girang petani itu kepada istrinya, “Istriku, istriku… Segeralah kemari! Kutemukan bayi di depan pintu rumah kita!” ***

Okt – Nov 2012

Marlina

 

“Kalau kamu tergila-gila padanya cuma karena kecantikannya, Emak bisa cariin banyak perempuan yang tak kalah cantik dari Marlina. Kalau kau tetap bersikeras, nanti kau akan menyadari bahwa pilihanmu itu keliru, Sholeh. Tapi Emak nggak pengen anak Emak terlanjur salah menentukan pilihan. Pokoknya Emak nggak setuju kamu kawin dengan Marlina, titik.”

 

Kata-kata Emak akan segera kulupakan begitu saja andai tak ada kebenaran sedikitpun yang kemudian kutemui di dalamnya. Tapi apa daya, kejadian tak pernah dapat diputar ulang. Emak tak sempat menarik ucapannya, atau aku yang tak berkesempatan menyenangkan hatinya. Semuanya sudah terlanjur menjadi bubur. Drama itu telah terjadi, dan kini aku sekedar dapat menangisi apa yang sedang kusesali.

Aku tak pernah paham mengapa Emak demikian tak menyukai Marlina. Ketika pertama kali kuajak Marlina untuk menemuinya di rumah, tak ada yang salah dengan mereka berdua. Kecantikannya sempurna, sikapnya pun manis luar biasa. Sedikitpun Marlina tak pernah mengecewakanku. Justru sikap Emak lah yang membuatku kecewa.

Saat kemudian kusampaikan pada Emak bahwa aku berminat untuk meminang Marlina, raut wajah perempuan yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun lalu itu mengeras. Ada kegelisahan di hatinya. Ia tak mengatakan apa sebabnya, namun kata-kata yang kemudian meluncur dari bibirnya yang menghitam cukup membuat jiwaku remuk redam. Emak tak setuju jika aku mengawini Marlina.

Semula aku tak mengindahkan perkataan Emak. Sungguh sangat tidak masuk akal jika aku sanggup mengabaikan Marlina yang telah berhasil telak menjajah hatiku luar dalam. Kupikir Emak terlalu berlebihan dalam menilai Marlina. Seharusnya ia menghargai kemerdekaanku dalam memilih calon istri. Toh yang nantinya akan menjalani kehidupan adalah aku dan Marlina. Cukuplah cinta di antara kami menjadi penguat atas segala keputusan. Bukankah anak hanyalah titipan yang hatinya takkan pernah dimiliki oleh siapapun? Aku yakin bahwa pertemuanku dengan Marlina adalah sebuah takdir yang indah – setidaknya sebelum Emak melontarkan ketidaksetujuannya.

Bibit-bibit cintaku dengan Marlina tersemai melalui tiga kali bertemu, pada awal mulanya. Begini kisahnya. Pertama sekali aku melihatnya adalah ketika aku memeriksakan gigiku ke sebuah praktek dokter gigi yang tak begitu jauh dari rumah. Kulihat Marlina duduk di sebuah kursi di belakang meja, dekat pintu masuk ruang praktek dokter gigi. Rupanya ia bertugas mengatur jadwal pasien dan mengurus segala administrasi. Saat itu ia tampak sibuk dengan kartu-kartu merah milik pasien, dan sebentar-sebentar menuliskan sesuatu di buku besar. Beberapa menit sekali ia memanggil nama pasien — yang nyaris semuanya bermuka masam, yang telah memasuki giliran.

Kebetulan saat itu aku mendapat giliran nomor terakhir. Mulanya aku merasa ini adalah sebuah kesialan. Bagaimana tidak, aku harus menahan-nahan rasa sakit dan ngilu luar biasa yang sudah beberapa hari mendera. Kepalaku pusing tiada terkira. Rasa-rasanya ingin kurontokkan saja gigi-gigi sialan yang bercokol dalam mulutku ini. Aku benar-benar tak bisa menikmati apapun. Televisi yang sedang hidup di pojok ruangan memutar sinetron religi yang sama sekali tak membuatku tertarik. Tumpukan majalah di atas meja yang berceceran pun sama sekali tak membangkitkan minatku. Aku nyaris gila karena terjebak di antara kebosanan dan rasa sakit. Hingga kusadari bahwa ternyata ada sosok keindahan sempurna yang seharusnya tak boleh kulewatkan. Meski awalnya aku belum mengetahui namanya, tapi aku sudah merasa kesengsem dengan kecantikan petugas administrasi dokter gigi yang masih sibuk dengan kartu-kartunya itu.

Hingga beberapa lama, barulah gadis yang saat itu belum kukenal namanya itu mengangkat wajahnya hingga mata kami saling bertatapan. Sejenak ia melempar senyum padaku, membekaskan rasa manis dalam ingatanku meski hanya sekejab. Raut wajahnya yang oval, kulitnya yang bersih dan mulus, pipinya yang ranum kemerahan, bola matanya yang bundar bersinar, dan bibir merahnya yang tipis merekah sempat menghipnotis kesadaranku. Meski rasa sakit gigiku tak kunjung surut, namun hasratku masih dapat meresapi sajian keindahan sosok bidadari yang menjelma manusia di hadapanku. Demikianlah wanita, kadangkala keindahannya sanggup menghempaskan seluruh penderitaan hidup manusia dalam sekejab.

Selang beberapa menit, setelah seorang pasien keluar dari ruang praktek dokter, ia memanggil namaku. Melalui sorot tatapannya yang ramah, ia memintaku untuk segera masuk ke ruangan berbau obat-obatan. Sempat aku merasa agak gugup ketika ia memandangku. Dalam hati, aku berdoa semoga kekikukan sikapku tak menjadi bahan tawa olehnya. Setelah beberapa saat menghabisi rasa sakit bersama dokter tua yang baik hatinya, aku buru-buru keluar karena jam sudah menunjukkan waktu yang larut. Namun tiba-tiba sebuah sapaan yang lembut menghembus telingaku, menghentikan sejenak langkahku. “Selamat malam, Pak… Semoga lekas sembuh…” katanya dengan sesungging senyuman yang meluluhlantakkan hatiku. Kubalas senyumnya dan sekedar kukatakan “oh ya, terima kasih”, kemudian berlalu dari hadapannya. Ingin rasanya aku berkata lebih banyak, bersitatap lebih lama, tapi kesempatan yang kurasakan saat itu sungguh buruk. Malam telah larut, gigiku pun masih cenat-cenut.

 

Pertemuan kedua kami terjadi di kantor Samsat. Rupanya kami sama-sama sedang mengurus perpanjangan STNK. Jika beberapa waktu yang lalu aku tak sempat memanfaatkan peluang, maka saat ini adalah sebuah kesempatan yang bernilai berlian! Situasi mendekatkan kami, yang memilih duduk di baris kedua kursi panjang di ruang antrian. Sejak itulah aku mengenal sosok Marlina yang mempesona. Tiga jam kebersamaan kami telah dapat membagi apa saja; tentang kisah-kisah, tentang jati diri, hingga tentang impian dan kenyataan. Kami serasa  menemukan surga kehidupan, yang kemudian segera mewujud dalam sebaris nomor telepon cantik miliknya seorang.

Ah, seandainya semua sisi kehidupan semudah dan seindah ini, sungguh, aku akan berdoa dan bersujud sepanjang waktu agar dianugerahi umur panjang hingga ribuan tahun. Terus terang, yang kurasakan, tak sulit merangkai kebersamaan menjadi sebentuk jalinan cinta. Kupikir aku bukanlah lelaki yang pantas dijauhi, sedang Marlina adalah sosok gadis yang tak bisa diabaikan sama sekali. Ia adalah sosok bidadari yang menghuni mimpi-mimpi, sedangkan aku adalah ksatria dari kegelapan yang berniat membopongnya di atas pelana cinta menuju istana cahaya. Lima bulan kebersamaan kami sudah cukup untuk meyakinkan niatku yang hendak menjadikannya permaisuri dalam sebuah rumah tangga. Tekadku sudah bulat, sudah kuat, apalagi semenjak mendengar merdu suara Marlina yang berkata, “Aku siap, Bang… Aku bersedia menjadi istri Abang…”.

 

Namun hidup tanpa kesialan pun takkan meriah bagi manusia. Badai terbesar menghadang langkahku menuju kebahagiaan. Pernyataan Emak yang tak menyetujui niatku untuk mempersunting Marlina membuatku galau tujuh hari tujuh malam. Entah apa yang membuat hati Emak tak berkenan dengan Marlina. Seingatku, perjumpaan Emak dengan Marlina sebanyak dua kali itu membekaskan kesan yang cukup baik. Marlina cakap dalam membawa diri. Ia lihai dalam melontarkan basa-basi. Kulihat Emak pun dapat melebur dalam kebersamaan dan kehangatan di antara kami bertiga. Namun siapa menyangka jika bercangkir-cangkir teh hangat yang tersaji tak juga dapat melelehkan kebekuan hati Emak. Kekerasan hatinya bak sebongkah karang terjal yang mencuat di antara lautan cinta kami; tak terkikis ombak meski dihempas berkali-kali.

“Entah, aku tak bisa mengatakan dengan jelas apa sebabnya. Tapi Emak merasa tak sreg dengan pilihanmu, Marlina. Lebih baik kau pinang perempuan lain saja. Jangan kau terlampau keras kepala karena telah menggilai kecantikannya. Fisik bukanlah segalanya, Sholeh…” Demikian penuturan Emak saat aku mendesaknya untuk mengatakan apa penjelasannya hingga tak menyukai Marlina dan memuluskan restunya untuk kami.

Sempat terbersit rasa takut, karena yang kuketahui, apapun yang tanpa restu orang tua takkan dapat berjalan dengan sempurna. Namun apa daya, Marlina telah menjadi belahan jiwaku yang jika aku menghunusnya, maka yang mati justru seluruh hidupku. Apa yang bisa kulakukan? Sulit untuk mengelak dari cinta yang membuat buta. Arusnya membuatku mati kutu tak berdaya. Cinta hanya menjadikan manusia hamba yang menyerahkan segalanya. Dan aku telah memutuskan untuk memperjuangkan Marlina, meski Emak sama sekali tak memberikan restu bagi kami berdua. Kupikir suatu saat, Emak akan berpikir untuk mengalah ketika melihat aku yang bahagia bersama Marlina.

 

Pernikahan itu telah kami rencanakan. Kecil-kecilan saja, karena segalanya kami usahakan berdua. Bagi kami, sekedar menghadap penghulu saja lebih dari cukup. Lagipula, keluarga Marlina pun tak terlalu banyak menuntut. Yang jelas, segala macam keperluan; baik itu undangan ataupun baju kebaya yang berkilauan telah dipersiapkan. Kami sudah membayangkan pelaminan dengan berkali-kali senyuman.

 

Namun tiba-tiba dua minggu sebelum hari pernikahan, Marlina menghilang. Maksudku, ia tak lagi mudah kutemui. Sempat aku beranggapan bahwa ia pasti sibuk dengan persiapan pernikahan kami – atau setidaknya mempersiapkan hatinya. Namun makin lama aku mendengar suara hati kecilku yang sedang gundah. Ada yang berbeda darinya. Dan kegelisahan itu tak lagi dapat kubantah ketika pada suatu malam Marlina menghubungiku melalui telepon. Dengan suara yang terdengar parau dan ragu, serta setelah beberapa jeda yang sempat kutunggu, ia mengatakan, “Maaf, Bang… Aku tak bisa menikah dengan Abang….”

Sempat aku mencari kebenaran apakah kakiku masih berpijak pada lantai yang keras dan dingin atau sudah melesak ke kedalaman neraka. Ada yang terbakar dalam dada. Ada yang melepuh dalam rasa. Mengapa harus begini? Namun pertanyaan yang membuncah itu tak kunjung menemukan jawab. Bibir Marlina memilih bungkam. Raganya pun memilih menghindar demi tak melihatku yang tak lagi tegar.

Emak tahu bahwa rencana pernikahanku telah kandas. Namun ia tak berkata apa-apa selain sekedar memandangku dengan sorotnya yang iba. Namun sempat kulihat bersit kemenangan dalam dirinya, atau mungkin karena egoku lah yang masih tak sanggup menerima kenyataan. “Sudahlah, tak perlu disesali… Yakinlah bahwa ini adalah jalan terbaik yang Tuhan berikan untukmu,” kata Emak, mencoba bijak. Aku sekedar mendengus saja mendengar segala rupa nasehat dan penghiburan. Barangkali, inilah rasa sakit yang takkan tersembuhkan. Luka akibat cinta pun mampu membungkus jiwa  dengan keputusasaan yang membutakan mata pada harapan.

Lebih-lebih, setelah aku tahu benar apa penyebab dari luka perih yang kutanggung sendiri. Secara tak sengaja, semesta kembali mempertemukan kami di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu aku berniat hendak mencari bingkisan untuk saudara yang hendak dibawa Emak saat mengunjungi kampungnya. Marlina sedang bergandengan mesra dengan sosok pria perlente yang membawa begitu banyak plastik perbelanjaan. Jika dilihat dari tampang dan dandanan, tampak sekali bahwa pria itu tergolong kaya raya. Namun meski jelas terlihat bahwa selisih usia antara Marlina dan si pria tampak begitu jauh, mereka berkelakuan begitu mesra, seolah dunia hanya milik berdua. Sesekali tawa mereka merekah, kemudian mengulang-ulang kembali lelucon yang barangkali takkan terdengar lucu jika diceritakan padaku. Hanya kehadiranku di hadapan mereka lah yang menghentikan keceriaan mereka. Marlina tercekat saat tatap mataku memerangkapnya. Ia tampak  salah tingkah.

“Siapa, Lin?” tanya lelaki yang sempat merasa bahagia dan ikut tertawa sebelum kemunculanku di hadapan mereka.

“Eh… e… anu… ini… ini Bang Sholeh, kawan lamaku,” Marlina menjawab dengan tergagap. Kekecewaan itu memukulku telak saat ia nyata-nyata menyebutku sebagai kawan lama. “Bang Sholeh, kenalkan, ini Bang Rudi, tunanganku…” sambung Marlina lagi. Pernyataan terakhirnya kali ini benar-benar sangat mengejutkanku.

 

Satu-satunya yang kusesali bukan lagi karena aku gagal memboyong Marlina ke pelaminan – melainkan karena sempat menentang titah Emak yang seharusnya kuindahkan. Andai saja sejak awal aku menyadari bahwa tabiat Marlina mudah silau dengan gemerlap harta dunia, tentu akan kupikirkan seribu kali untuk mengajaknya mengarungi samudra rumah tangga dengan biduk cinta. Ah, setidaknya masih ada setitik rasa manis dalam sepah yang sempat pahit kutelan.

 

 

 Putus lagi cintaku

putus lagi jalinan kasih sayangku dengannya

cuma karena rupiah lalu engkau berpaling muka

tak mau menatap lagi

kecewa… kecewa hatiku

terluka… karena cinta


reff:

kalau terbakar api

kalau tertusuk duri

mungkin… masih dapat kutahan

tapi ini sakit lebih sakit

kecewa… karena cinta


jangankan diriku

semut pun kan marah

bila terlalu… sakit begini


daripada sakit hati

lebih baik sakit gigi ini

biar tak mengapa


rela rela rela aku relakan

rela rela rela aku relakan

                                                 (Lebih Baik Sakit Gigi – Meggy Z.)

 

 

 

 

Farida

Tahukah kau dengan lagu ‘Tidak Semua Laki-Laki’ yang pernah dipopulerkan oleh mantan Gubernur Surabaya Basofi Soedirman? Ya, yang syahdu dan melankolis  itu. Sebenarnya aku punya ceritera tersendiri mengenai lagu itu. Setiap lirik dan iramanya seolah menjadi suara dalam hatiku. Aku akan ceritakan padamu apa yang terjadi denganku, sehingga setiap kau mendengar lagu itu, maka ingat-ingatlah aku – atau setidaknya kisah yang pernah kusampaikan padamu. Begini :

 

Sebut saja namanya Farida. Semua orang di kampung ini, terutama para pemuda yang gairahnya sedang menggelora memanggilnya demikian. Bahkan ada pula yang menambahkan Farida Cantik, Farida Manis, Farida Bidadariku, Farida Pujaan Hatiku, dan sebagainya yang semacam itu. Namun bagiku, Farida tetaplah Farida saja – tanpa perlu kububuhi embel-embel apapun. Biarlah orang lain memanggilnya dengan iringan seribu rayuan atau pujian. Hingga pada titik tertentu, cintaku telah melampaui manisnya ucapan bibir. Takkan ada yang memanggil namanya seribu kali sehari sepertiku. Seribu kali menyebut nama Farida dalam hati, beribu-ribu kali menyaksikan bayang wajahnya di relung sepi.

Baiklah, kuakui bahwa salah satu hal yang membuatku menyukai Farida adalah karena kecantikannya. Namun andai aku boleh berkata jujur, ada sisi dari hal kecantikannya yang kemudian menyengsarakanku. Ia adalah setangkai kembang yang menjadi dambaan sekian banyak kumbang. Tapi entah, apakah aku dapat menyebut diriku sendiri adalah kumbang atau sekedar… kutu. Untuk sekian lama, aku sengsara. Dan untuk sekian lama berikutnya, kuputuskan untuk menjadi martir cinta.

“Maaf, aku belum bisa mencintaimu, Bang… Benahi dulu penghidupanmu, penghasilanmu, mungkin aku akan mempertimbangkanmu…” katanya dingin, dan juga masih tenang-tenang saja — seolah ia sama sekali tak ikut ambil bagian atas kehancuran hati seseorang yang mendengar pernyataan ketusnya.

Jika kau katakan aku sama sekali tak berusaha mendapatkan hatinya, maka kau salah besar. Sekuat tenagaku, kulakukan apa saja untuk memikat Farida, untuk membuat hatinya senang dan gembira. Aku membanjirinya dengan segala hal yang disukainya; mulai dari hadiah-hadiah berupa pakaian, boneka, cokelat, hingga peralatan dapur. Kuusahakan pula untuk mengakrabi ibunya — satu-satunya orang tuanya, membaik-baikinya bak calon menantu teladan. Namun apa daya, barangkali pamor seorang buruh pabrik sepatu tak terlalu membuat mata Farida silau. Apalagi ternyata tak hanya aku seorang yang melimpahinya dengan kesenangan-kesenangan. Banyak lelaki yang juga memiliki ratapan serupa, merasa masih terlampau jauh dengan cinta yang mereka damba, padahal sudah merasa melakukan segala.

Aku memang kawan sekolahnya saat kami masih sama-sama mengenakan segaram merah putih. Juga tetangganya yang tak pernah membuat huru-hara yang mengada-ada dengannya. Namun semua itu tak menjadikanku memiliki nilai tambah – jika dibandingkan dengan Rofik, juragan gabah, atau Dayat, pengusaha sarang burung walet. Belum lagi orang-orang kota, atasan Farida di tempat kerjanya, yang konon juga banyak yang menaksirnya. Ah, apalah yang dapat kubanggakan dari diriku selain kesetiaan dan cinta? Sayangnya, hal macam itu tak dapat dilihat Farida – yang lebih percaya pada kedua bola matanya yang bening daripada mata hatinya yang tersembunyi.

Perihal ibunya pun tak lebih seperti Farida, setali tiga uang. Mereka terus memupuk harapan siapapun yang memimpikan cinta Farida, meski sesungguhnya harapan itu hanyalah pepesan kosong belaka. Farida adalah aset yang pantas diberdayakan untuk mencapai tujuan. Entah itu kemakmuran ataupun kehormatan, tak peduli meski semu belaka.

Jika kau tahu tabiat Farida, ia jarang sekali menolak segala kesenangan yang dilimpahkan padanya. Ia selalu menikmati kegembiraan dengan siapapun – entah itu bersama seseorang yang sama sekali tak membangkitkan hasratnya, atau bersama yang sedang diharapkannya. Aku sendiri beberapa kali berhasil mengajak Farida makan malam di luar, juga menonton bioskop dan bermain-main di Taman Ria. Namun rupanya aku tak boleh bangga dengan pencapaianku. Sebelumku atau sesudahku pun berhasil mengajak Farida ke tempat manapun yang ia suka, bahkan membebaskannya mengambil apapun di sebuah pusat perbelanjaan besar di kota. Tentu saja ia girang bukan kepalang. Ah, selalu saja aku kalah telak!

Namun jika kau berpikir bahwa alasanku mencintainya adalah terlalu picik – padahal tak ada bagus-bagusnya sedikit pun dari sosok Farida, maka aku akan dengan tegas menyangkalnya. Dia memang cantik, bahkan semut pun takkan membantah. Namun aku mencintainya tak sekedar karena kecantikannya. Cintaku telah melampaui cahaya yang terpancar dari indah raganya. Aku punya keyakinan yang kuat bahwa sesungguhnya Farida memiliki hati yang sangat lembut. Hati yang tak kalah bersinar dari kemilau berlian. Kucontohkan saja, saat kami sedang berjalan-jalan, tak sengaja matanya tertumbuk pada seekor kucing yang tersia-sia; meringkuk di sudut emperan toko dengan tubuh gemetaran. Rupanya kucing itu terluka di bagian pangkal kakinya, sementara ia tampak sangat kelaparan, seolah sedang menunggu datangnya kematian. Tanpa ragu, Farida segera mendekatinya, memberikan sebungkus roti yang dibawanya, dan menyuruhku mencari obat-obatan untuk kucing malang itu. Kulihat ia mengelus-elus kepala kucing hingga membuat kucing itu mengeong dengan suaranya yang serak dan lemah, sementara matanya tetap terpejam karena sudah tak lagi memiliki daya. Airmata Farida berlinangan. Menetes-netes tanpa dapat ia kendalikan. Sungguh, pemandangan yang kulihat itu benar-benar membuat hatiku trenyuh. Saat itu juga, ingin rasanya aku menggemakan suara batinku yang bersiteguh bahwa Farida lah satu-satunya wanita yang kuinginkan menjadi malaikat hidupku.

Namun sayangnya, ia memilih menjadi bidadari di istana yang dibangun lelaki lain. Tanpa merasa terbebani, suatu hari ia menyampaikan sepucuk undangan pernikahan. Bulan depan Farida akan menikah dengan Rofik, juragan gabah yang memiliki tanah dan toko dimana-mana. Kabarnya, mereka akan melangsungkan pesta besar-besaran di kampung kami. Orkes termahal telah dipesan, makanan melimpah telah dipersiapkan. Gaun pengantin berjajar-jajar di almari gantungan, sementara Farida tak henti bersuka cita memanjakan dirinya dengan perawatan tubuh segala rupa. Nasib kumbang-kumbang yang berdengung dan senantiasa mengitarinya nyaris kandas dengan hanya menyisakan perasaan iri dengki akibat kekalahan. Rofik telah menjadi pemenang tanpa ada bantahan. Bagaimanapun, mempersunting bunga desa adalah sebuah kebanggaan.

 

Namun tragedi itu datang tanpa dinyana…. Sebuah tragedi besar nan memilukan telah mengubah segala rencana manusia…

Kronologis kisahya hanya kuketahui melalui cerita-cerita yang berhembus dari mulut ke mulut. Tragedi Farida memang telah menjadi buah bibir. Pada suatu ketika, selepas Farida pulang bekerja, sesosok kumbang jantan yang rupanya jenis lelaki buaya mendekatinya, barangkali pun menawarinya kesempatan untuk bersenang-senang seperti makan malam enak dan berbelanja banyak. Sudah dapat ditebak bahwa Farida takkan kuasa menolak. Ia mengiyakan ajakan lelaki yang memang telah lama dikenalnya itu.

Mereka menumpang sebuah angkutan umum sejenis mikrolet dengan beberapa penumpang lelaki tak dikenal. Farida merasa aman karena ia tidak sendirian, melainkan bersama lelaki yang mengajaknya, yang dikenalnya baik, yang berjanji untuk melindunginya. Maka ia menurut saja kemana laju roda berputar, tak menyadari bahwa bahaya besar sedang mengincar. Mikrolet itu terus melaju ke tempat yang semakin lama semakin menjauhi pemukiman, melewati petak-petak persawahan, menyusuri jalan-jalan pinggiran ladang.

Di tengah jalan, mobil itu berhenti. Tiba-tiba Farida dipaksa turun oleh laki-laki yang berada di dalam mobil tersebut. Tak terkecuali dengan lelaki yang mengajaknya, yang dikenalnya baik. Mereka bahkan mulai membentaknya dengan suara kasar. Sejak itulah Farida mengetahui bahwa dirinya sedang terancam. Ia hendak melarikan diri, tapi posisinya terlampau lemah. Farida diseret dan dihalau menuju sebuah gubuk kosong di tengah persawahan yang luasnya tiada terkira. Sebuah kawasan yang tak lagi dijumpai satu pun manusia. Di gubuk kotor yang reot itu, tujuh lelaki yang sedang dikuasai nafsu binatang itu menggaulinya dengan cara yang bengis. Pada senja yang merah itu, jeritan Farida hanya ditelan sepi dan kekosongan. Rintihnya hanya menjelma tangis alam yang tak pernah didengar penghuni bumi. Gemerisik daun bambu yang tertiup sepoi angin seolah sedang mempersembahkan tarian duka sebuah kesenyapan yang sedang dirasakan anak manusia yang sedang celaka. Farida tak lagi dapat bertahan. Ia terkapar pingsan dengan keadaan sangat memilukan.

Beberapa petani baru menemukannya pada keesokan harinya. Mereka merawat Farida hingga siuman, kemudian mengantarnya pulang. Namun kejadian ini bak api kecil yang dinyalakan di bawah tumpukan kertas. Kehebohan itu tak dapat dihindarkan untuk membakar alam keriuhan, dunia yang dipenuhi oleh mulut-mulut yang haus gunjingan.

Tragedi ini tentu membuat ibu Farida amat terpukul, sementara Farida justru menjelma gadis linglung yang lupa bagaimana rasanya gembira. Hari-harinya hanya mengalirkan tangis tak berkesudahan, ratap yang memilukan. Trauma yang menderanya terlampau berat. Selain kesakitan yang dialami tubuhnya, kesakitan yang dikandung hatinya pun tak kalah hebat. Apalagi serta merta Rofik membatalkan pernikahan. Ia tak sudi menaikkan gadis yang tak lagi perawan ke atas pelaminan. Maka tinggallah Farida yang terpaksa menggumuli aibnya yang menjadi bahan berita. Sebagian menatapnya iba, namun ada pula sebagian yang diam-diam mencerca.

Apalagi, musibah itu tak cukup sekedar yang dialaminya di tengah persawahan. Tubuh Farida mulai menunjukkan perubahan. Perutnya ditengarai membesar perlahan. Siapa yang dapat berbesar hati dengan kehamilan yang tak diharapkan? Usia janin dalam perut sudah satu bulan, dan Farida memtuskan untuk mempertahankan meski tak tahu siapakah lelaki yang patut dimintai pertanggungjawaban. Apalagi menurut keterangan dokter, ada kemungkinan bahwa Farida tak lagi dapat hamil setelah insiden yang merusak tubuhnya. Sudah dapat dipastikan bahwa anak dalam kandungan takkan dapat mengetahui bapaknya yang betulan. Menurut Farida, bukan salah bayi yang ada dalam kandungan hingga harus digugurkan. Sesungguhnya takdir yang selalu punya caranya sendiri pada hidup manusia tak pernah memberikan kesia-siaan selain pesan kehidupan yang sedang rapat disimpan.

Sikapku sendiri terhadap segala yang menimpa Farida tak melulu sekedar rasa iba dan belas kasihan. Aku tak pernah kegirangan meski tragedi yang dialaminya seketika dapat menaikkan pamorku – bahwa ada yang lebih buruk nasibnya selain aku yang cintanya disia-siakan. Terutama saat Farida memutuskan untuk mempertahankan kandungan, diam-diam justru membuat hatiku bergetar. Rasa ibaku luruh menjadi semacam pemujaan. Betapa aku tak pernah salah menilai Farida yang memiliki hati sekemilau berlian.

Perlahan-lahan aku mulai kembali mendekati Farida yang kini menjadi lebih pendiam dan semakin acuh. Tak ada yang berubah dari sikapku kepadanya. Aku masih kerap menghujaninya hadiah yang kuharap membuatnya senang, juga melimpahinya dengan kasih sayang. Semenjak Farida tak lagi bekerja, ia hanya mengandalkan ibunya yang membuka warung kecil-kecilan di depan beranda rumahnya. Kondisinya masih tak memungkinkan untuk kembali menata rencana baru kehidupan.

Aku bertekad untuk meneruskan perjuangan cintaku. Saat kulihat sekeliling, aku tersadar bahwa kini aku berdiri sendiri di medan laga tanpa lagi ada saingan. Farida tak lagi seperti dulu, menjadi gadis yang banyak diinginkan. Ia seperti kembang di padang ilalang yang telah melayu kelopaknya, yang telah meluruh seluruh putik dan benang sarinya, yang telah gugur helai-helai dedaunannya. Kegembiraannya telah tertawan oleh kenangan pahitnya. Tapi aku masih menggenggam vas bunga terindah yang kumiliki untuk kupersembahkan padanya. Aku bersedia menanggung seluruh beban dan keluh kesahnya, menjadi ayah bagi janin tak berbapak, menjadi payung yang meneduhinya dari hujan cobaan kehidupan. Aku bersikeras melamarnya menjadi istriku satu-satunya…

Niatku yang kujamin seratus persen adalah kebaikan tak serta merta mendapat sanjungan, apalagi persetujuan Farida. Ia masih tetap acuh, memilih bersikap dingin dan sama sekali tak memberiku harapan. Tragedi yang telah dialaminya membuatnya trauma pada laki-laki. Segala apa yang kukatakan dianggapnya sebagai bualan belaka. Sampai-sampai aku nyaris menyerah pada kekerasan hatinya. Namun demi mengingat cinta dalam hati yang telah kupupuk dengan subur, kucoba untuk menabahkan diri dan bertahan dengan segala usaha. Aku yakin, suatu saat nanti Farida akan dapat kembali membuka hatinya. Bahkan batu yang demikian keras saja dapat berlubang oleh tetesan hujan yang sedikit demi sedikit. Maka kurasa aku hanya butuh sedikit lagi kesabaran. Biarlah ia mengatakan apapun sekehendak hatinya, tak merubah posisiku yang telah berdiri sebagai pejuang cintanya.

Tapi sungguh, kali ini aku sudah benar-benar tak lagi dapat berpikir jernih. Kegundahanku sedang merajalela. Namun aku akan sangat bersukacita andai kau sudi memberikanku ide bagaimana cara meluluhkan hati Farida selain sekedar memperpanjang kesabaran. Katakanlah, karena aku pasti akan mendengarkan…

 

 

Tidak semua laki-laki…
bersalah padamu
Contohnya aku mau mencintaimu
Tapi mengapa engkau masih ragu

Memang api yang kubawa
tak sebesar harapanmu
tapi mampu untuk menerangi
jiwamu yang sunyi

Reff:
Tidak semua laki-laki…
bersalah padamu
Contohnya aku mau mencintaimu
Tapi mengapa engkau masih ragu

Hari ini… aku bersumpah
akan kubuka pintu hatimu
Hari ini…  aku bersumpah
izinkanlah aku untuk mencintaimu

Karna tanpamu apapun ku tak mau
Dia yang kucinta pasti dia yang kusayang

Pilihan

Satu-satunya uang yang tersisa di dompetku hanya selembar dua puluh ribu rupiah, sementara aku harus bertahan hidup hingga delapan hari ke depan, saat gajian tiba. Sekarang perutku sangat keroncongan. Seharian ini hanya terisi sebungkus indomie tanpa tambahan lauk apapun, yang kusantap pagi tadi. Sungguh, mau mati saja rasanya! Tapi om di hadapanku ini terus saja menggodaku, mendesakku, menyudutkan keadaanku yang tragis.

“Sudah, ayo ikut saja… Nanti aku kasih uang. Pokoknya enak deh! Kamu lapar, to? Belum makan? Nanti kita cari makan yang enak… Yang penting kamu ikut aku…”

“Mmm…. tapi om, saya nggak biasa gituan… Saya…. saya nggak pernah gituan…”

“Kalau kamu nggak mau gituan, trus ngapain kamu bengong disini, heh? Jangan sok bego deh! Memangnya kamu nggak tahu kalau disini tempat mangkalnya bencong-bencong??!”

“Tapi saya kan bukan bencong, Om…”

“Hahahaa…. Maka itu aku suka sama kamu…” katanya sambil mengerling nakal padaku.

Sebenarnya apa dikatakan om tambun setengah tua itu tidaklah salah. Aku pun telah mendengar bahwa taman kota ini sering digunakan sebagai tempat mangkal waria ataupun perek-perek untuk mencari mangsa. Tapi entah mengapa, kakiku justru melangkah menuju kemari. Mungkin alam bawah sadarku yang menggiringnya. Atau bisa jadi karena hanya tempat ini satu-satunya yang paling dekat dengan salon tempatku bekerja. Aku lelah. Aku merasa parah. Akalku terasa berdarah. Aku tak tahu lagi harus bagaimana untuk menyiasati hidup yang sedemikian keras dan tak berpihak. Sepanjang tapak-tapak kakiku melangkah, aku telah meneteskan bulir-bulir airmata yang kurasa sia-sia. Remang lampu jalanan ataupun rembulan di kejauhan hanya sekedar sanggup memandangku prihatin – atau barangkali mereka malah menertawakanku sinis ataupun diam-diam.

Sudah dua bulan aku menginjak kota keparat ini. Kota yang kata orang-orang menjanjikan masa depan gemilang. Ah, aku jadi ingat perkataan Aryo, sahabatku, yang berapi-api. “Sayang sekali kalau orang yang memiliki potensi besar seperti kamu terkubur sia-sia di kota mati. Kamu harus punya keberanian. Melanglanglah mencari petualangan, menambah bekalku untuk berkehidupan di masa depan. Kamu ingin menjadi besar, bukan? Maka pergilah dulu ke kota besar. Barangkali kamu bisa coba ke Surabaya. Aku yakin, kalau kamu mampu menundukkan kota itu, jalan menuju kesuksesanmu akan terbentang lebih lebar.”

Meski saat ini keadaanku serasa berada di tengah pertarungan hidup dan mati, tapi aku tak juga menyalahkan Aryo yang kupikir turut andil mengomporiku untuk pada akhirnya menjejakkan kaki di kota metropolitan ini. Barangkali dia benar, bahwa kota ini memang menjanjikan. Tapi dengan konsekuensi yang gila-gilaan seperti ini, rasanya aku tak lagi punya tenaga untuk melanjutkan pertarungan. Mungkin piala kebesaran itu adalah pintu kesuksesanku. Aku benar-benar ingin menjadi seorang stylish hebat yang terkenal. Sukur-sukur jika suatu saat nanti aku mampu membuka salon, pun memiliki pelanggan orang-orang besar. Ah, betapa indahnya impian itu… Tapi sungguh, aku sudah merasa sekarat di seperempat perjalanan menuju kemenangan. Barangkali aku akan mati…

“Kalau kamu nggak pernah gituan, nanti aku ajarin gituan, deh… Nanti kamu pasti ketagihan…” Bisik om yang tak jua beranjak menjauhiku. Ia semakin mendekat padaku, semakin gigih menanti keputusanku. Entah, apa yang membuatnya begitu yakin. Mungkin benaknya sudah membayangkan yang bukan-bukan…

Andai saja aku dapat mengais ceruk muara airmata, mungkin saat ini akan kutumpahkan semuanya. Kuhabiskan saja penanda kesedihan itu supaya tak lagi ada airmata di kemudian hari. Tapi siapa pula yang sudi menyodorkan tisu untukku? Siapa pula yang mau menyediakan bahu untuk menyandarkan keluh kesahku? Tak ada siapapun disini selain om-om yang gerak geriknya semakin mengkhawatirkan ini. Tak ada teman, tak juga saudara.

Ah, aku jadi teringat pada ibuku. Sebulan sebelum merantau, kami sudah saling beradu mulut. “Pokoknya kamu tak boleh ke Surabaya! Jadi anak tak usah macam-macam. Apa jadinya nanti kalau kamu disana? Kalau cuma sekedar uang yang kau cari, disini pun tak kurang-kurang. Bapak ibumu tak menuntut apapun darimu selain ketenangan kami melihatmu hidup tenang!” kata ibuku dengan urat menegang. Tapi waktu itu aku masih memiliki segunung nyali dan keberanian untuk menentang larangan orang tuaku. “Aku hanya ingin cari pengalaman, Bu… Percayalah kalau aku akan baik-baik saja di sana,” tukasku gigih.

Kadang aku bertanya-tanya dalam diri, apakah semua penderitaanku disini disebabkan karena tiadanya restu dari orang tua? Sebenarnya tampak konyol jika aku mempercayai mitos macam itu karena aku sama sekali tak dapat menarik hubungan yang berkaitan di antara kedua hal tersebut. Tentu saja aku lebih meyakini bahwa penyebab penderitaan dan kelelahanku saat ini dikarenakan salon tak tahu diri itu hanya menggajiku empat ratus ribu rupiah sebulan dengan alasan bahwa aku masih dalam tahap training. Namun sungguh gila siapapun yang dapat bertahan dengan uang sekecil itu di kota sebesar ini.

Kendati demikian, saat kurasakan hidupku sedemikian susah di sini, tak sedikit pun keceritakan pada keluarga di rumah mengenai penderitaanku. Kalau aku berkeluh kesah pada mereka, maka mereka pasti akan memperolokku dan semakin getol untuk menyuruhku menyudahi petualanganku, pulang ke rumah dan mengambil pekerjaan yang damai di dekat rumah. Namun kurasa untuk sementara ini bukan hal itu yang kuinginkan. Aku masih enggan pulang ke rumah. Dahagaku pada petualangan masih belum terpuaskan. Rasa penasaranku pada dunia baru yang lebih luas masih belum terpenuhi sempurna. Pada kepulanganku mengunjungi ibu kemarin, hanya kukatakan yang baik-baik saja mengenai apapun yang ada di sini. Bahkan sebagian kukarang-karang sendiri. Namun sepertinya ibuku dapat merasakan kegundahanku meski tak sempat terkatakan. Saat aku berkemas untuk kembali, ibu berniat memberiku uang saku sebesar seratus ribu. Namun dengan berkeras hati kutolak kebaikan ibu. Kukatakan bahwa uangku masih mencukupi dan aku akan baik-baik saja. Tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa sesungguhnya seluruh uang yang tersisa yang kupunya hanya sebesar empat puluh ribu rupiah saja.

“Wah, mikirnya jangan kelamaan, dong… Nanti keburu penuh tempatnya… Kalau semakin malam susah nyari tempat…” Suara bariton om berambut klimis itu membuyarkan lamunanku. Sesaat aku masih diliputi kebimbangan. Tapi ketika mengingat kembali kenestapaanku, juga perutku yang melilit, maka sepertinya aku harus segera mengambil keputusan yang menyelamatkan. Aku semakin lelah.

“Mmm…. tapi nanti saya diantar pulang ya, Om….”

Senyum pria keladi itu pun terbit, bahkan lebih lebar dari panjang bulan sabit. Aku segera beranjak dari bangku taman yang sedari tadi menemani perenunganku, kemudian segera masuk dan duduk di jok depan sebuah Avanza hitam milik om tak dikenal itu. Jantungku berdegup keras, tak sabar membayangkan mimpi buruk macam apa yang akan terjadi padaku. Telapak tanganku terasa dingin dan berkeringat. Sementara mobil melaju ke arah timur, aku berusaha keras menghapus bayangan Bapak, Ibu, saudara-saudaraku, ataupun Aryo dalam benakku yang sedari tadi rajin melintas-lintas. Kupikir ada baiknya jika aku mencoba berbaik-baik dengan pria asing di sampingku ini, atau sekedar mencairkan suasana supaya tak sebeku hatiku. Hati kecilku masih berharap adanya sebuah keberuntungan yang menyelamatkanku…

Kami sampai di sebuah losmen kecil bersuasana muram. Terlihat beberapa pasangan kencan hilir mudik keluar masuk. Sepertinya losmen ini cukup laris meski penampilannya tampak tak menjanjikan keindahan sama sekali. Kami terkungkung di sebuah kamar sempit berbau apek, dengan penerangan temaram.

Pria itu membuka bungkusan kresek hitam berisi beberapa botol; Topi Miring, Mansion, dan Bintang, yang tadi sempat kami beli di tengah perjalanan. Ia meletakkannya di meja samping ranjang, di sebelah sebuah cerek berisi air putih dan dua gelas bersih yang telah disediakan pihak losmen. Ia mengambil gelas dan menuangkan minumannya, memberikannya padaku, tapi aku menolak. Aku tak terbiasa minum minuman keras. Akhirnya pria itu minum sendirian sembari menanyaiku macam-macam dan bercerita apa saja. Kurasa lebih baik aku meladeni pembicaraannya supaya niatnya teralihkan. Ia memang sempat beberapa kali memaksaku, tapi sebisa mungkin kutolak dengan halus supaya ia tak mengasariku.

“Ayolah….”

Sebenarnya, kalau boleh jujur, kuakui bahwa sempat pula terbersit hasrat untuk mencoba-coba. Kurasakan hormonku pun mengalir deras. Ada yang berdenyut-denyut dalam diriku. Andai itu pembuluh darah, barangkali tak lama lagi akan pecah, menghamburkan aliran nafsu yang menguasai diriku.

“Ayolah…”

Nyaris saja aku tak tahan, mempersetankan segala ingatan. Namun nyatanya akal sehatku masih membelenggu. Sungguh, ketakutanku jauh lebih besar daripada sekedar nyali petualanganku. Bayangan ayah ibuku berkelebat-kelebat. Juga bayangan guru-guruku di pondok pesantren tempatku belajar semasa kecil. Juga bayangan wajah penyakit-penyakit yang menjijikkan. Juga bayangan malaikat yang menghujamkan penanya dalam buku dosa milikku. Sungguh, ketakutanku masih jauh lebih besar daripada hasratku menuruti nafsu.

“Ayolah….”

Dengan susah payah, aku berusaha sekeras mungkin mengendalikan diri. Mengendalikan pria mabuk tak dikenal di hadapanku, yang hingga dapat kurasakan hembusan nafasnya semakin memburu. Juga mengendalikan diriku sendiri. Aku takut untuk terjerumus, meski pemikiran ini terdengar begitu naif kali ini.

Malam semakin larut, kulihat jarum di jam tanganku menunjukkan pukul dua dini hari. Pria itu semakin mabuk. Ocehannya semakin limbung dan menceracau. Aku senang karena sejauh ini kami tak jua melakukan apa-apa selain sekedar mengobrol, atau ia yang merayuku habis-habisan.

“Om, sudah hampir pagi nih… Antarkan saya pulang dong, Om… Besok saya harus kerja… Nanti saya dimarahi bos kalau telat….” Dengan takut-takut, aku mencoba merayunya. Kuperhalus nada suaraku supaya ia menaruh iba padaku.

Benar-benar mukjizat bahwa pria itu akhirnya luluh dan bersedia keluar dari losmen itu. Kami berlalu, meninggalkan jejak-jejak ganjil kami di sana. Menembus remang-remang malam kota Surabaya, hatiku terasa syahdu. Entah, apakah aku harus bersedih atau bergembira, jiwaku seperti telah kehilangan arah. Sementara itu, pria tersebut memutuskan untuk menurunkanku di pertigaan jalan yang tak terlalu jauh dari mess asramaku. Dengan tergesa, ia memberiku tiga puluh ribu rupiah — yang ia selipkan dalam kantong celanaku.

“Maaf, hanya segitu yang bisa saya kasih… Kamu baik-baik, ya… Kapan-kapan kita ketemu lagi,” ujarnya dengan nada suara limbung karena efek minuman keras. Kemudian ia berlalu begitu saja.

***

Aku tak bisa tidur. Kulihat beberapa kawan yang juga tinggal di mess asrama pun belum tidur. Mereka memilih mencumbui gitar tuanya yang mengalunkan lagu-lagu sendu, sementara yang lainnya mengobrol ringan atau sekedar melamun bersama hembusan asap rokok. Sementara ruang kamarku terasa begitu penuh, begitu sesak, begitu memuakkan. Kamar sesempit itu harus dihuni oleh lima orang yang memiliki kebiasaan tidur tak tahu aturan. Melihat tabiat mereka saja sudah membuat stresku bertambah-tambah. Akhirnya kuhabiskan sisa hari itu dengan bermain-main laptop dua belas inch-ku, satu-satunya harta berharga yang kupunya dan selalu kubawa kemana-mana.

Sudah pukul delapan pagi, sudah waktunya berangkat ke tempat kerja. Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk bersiap-siap setelah menyantap sebungkus mie instan yang kumasak dengan heater yang kubawa dari kampung halaman. Perjalanan menuju tempat kerja harus kutempuh dengan menggunakan satu angkutan umum sejenis mikrolet. Pada pagi hari, jalanan kota Surabaya sangat hiruk pikuk. Kemacetan terjadi disana-sini. Angkutan umum macam bis yang besar-besar pun penuh sesak. Namun untunglah aku menemukan angkutan mikrolet ke arah tempat kerjaku yang masih lowong. Setidaknya aku gembira karena bisa leluasa duduk, tak berhimpit-himpitan seperti biasanya.

Biasanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di tempat kerjaku yang terletak di salah satu mall besar, di lantai empat, tepatnya. Tak ada yang menarik hatiku di sepanjang perjalanan. Pikiranku justru lebih disibukkan oleh khayalan dan ingatan pada segala hal. Selebihnya, aku hanya sekedar mengeja rasa lelah yang kian mendera. Aku tak tahu sampai kapan sanggup bertahan. Kelelahan ini makin lama akan dapat membuatku semakin lengah.

Kelengahan pertamaku – sekaligus kelengahan yang paling fatal adalah meninggalkan laptopku di kursi angkutan umum yang tadi kutumpangi. Aku baru sadar setelah turun, selang beberapa jam ketika aku berniat membuka laptop karena ada hal yang ingin kucari. Saat menyadari kebodohanku, badanku langsung terasa lemas. Bahkan kupikir kakiku tak lagi dapat menyangga tubuhku. Seharian itu aku histeris. Aku menangis. Sungguh, aku menangis bahkan di hadapan teman-temanku, juga di hadapan atasanku sendiri. Aku tak lagi peduli. Seluruh dunia harus tahu kemalanganku, tragisnya nasibku. Ingin rasanya aku merutuki dunia seharian, kalau perlu berbulan-bulan, karena hidup telah sangat tak adil padaku. Apa salahku hingga ditimpa kemalangan senaas ini?

Aku tak lagi dapat konsentrasi bekerja. Beberapa tamu mengeluh karena kepanasan saat aku mem-blow rambut mereka. Juga ada yang mengeluh karena pijatanku sama sekali tak terasa nyaman. Juga ada yang mengeluh karena hasil kerjaku membubuhkan kuteks berantakan. Padahal biasanya akulah yang paling dapat diandalkan di antara kawan-kawan training seangkatan.

Meski tergolong baru, namun akulah satu-satunya pemecah rekor yang lekas mendapatkan pelanggan. Banyak tamu yang lebih senang memilihku. Mungkin karena kecakapan hasil kerjaku, kecakapan pelayananku, atau barangkali juga karena kacakapan wajahku. Setidaknya, itulah yang dikatakan beberapa orang mengenaiku. Tak heran jika banyak pegawai yang mendengki padaku. Tapi yang paling kuingat jeas adalah perlakuan sinis Amanda, seorang seniorku, padaku. Ia benar-benar terang-terangan mendengki padaku.

“Heh, kamu anak baru kok udah banyak pelanggannya sih! Kita yang udah lama aja baru punya pelanggan segelintir. Kamu pasti pasang susuk di bibirmu, ya. Makanya jadi pinter ngomong… Sini, aku periksa bibir kamu!” ujarnya ketus sembari tanpa tedeng aling-aling mencengkram rahangku dan menarik-narik ujung bibirku. Ia melakukannya dengan rasa gemas, seolah berhasrat untuk menamparku dan melemparkanku dari tingkat tertinggi gedung ini. Aku benar-benar tak berdaya, meringkuk dalam kepasrahan. Bibirku kelu sekedar untuk membalas cemoohan mereka. Kadang tak segan mereka mendorong tubuhku saat mereka melewatiku, hingga aku nyaris terjatuh. Tapi kemudian mereka malah memarahiku dengan dalih aku yang tak becus berjalan atau menempatkan diri. Nah, kira-kira, siapa yang mampu bertahan dengan suasana demikian? Sejauh ini aku mencoba untuk bersabar, terus-menerus mengulang tujuan dan tekadku untuk menggali ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya. Sekeras mungkin kucoba untuk mengabaikan segala hal yang menyakitiku. Kuhimpun seluruh konsentrasiku hanya untuk pekerjaan.

Namun selama beberapa hari ini, aku tak lagi sanggup memasang wajah ramah pada siapapun. Kesupelanku, satu-satunya yang menjadi asetku, tiba-tiba menghilang begitu saja. Laptop hasil jerih payahku berbulan-bulan saat aku bekerja di kampung halaman itu terngiang-ngiang di benak.

Karena sikapku yang semakin lama semakin tak dapat ditolerir, akhirnya atasanku pun memanggilku, bermaksud memperingatkanku.

“Adakalanya manusia tertimpa musibah, juga merasakan kesedihan. Itu wajar, siapapun pasti pernah mengalaminya. Tapi saya berharap, kamu bisa profesional bekerja. Akhir-akhir ini kamu sangat mengecewakan, Jo…”

Sejenak aku mencoba meresapi lamat-lamat suara atasanku yang ia ucapkan dengan nada keras dan dingin. Bukannya merasa takut, tapi aku justru muak. Aku benci dengan caranya mengeksploitasiku. Aku benci tempat kerjaku ini.

“Maaf… Saya sedang sedih sekarang… Saya tak bisa mengendalikan perasaan saya… Sebenarnya saya tak ingin mengecewakan. Tapi apa daya, saya tak bisa… Mungkin lebih baik saya mundur saja… Saya mau berhenti dan pulang ke kampung halaman…”

Entah, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Seolah hatiku lah yang mengatakannya sementara akal pikiranku sibuk di tempat yang lain. Tapi kalau kupikir-pikir, mungkin keputusan yang kuambil ini adalah sebuah langkah tepat. Inilah waktu yang kutunggu-tunggu, menyudahi semua kesengsaraan.

Semula atasanku merasa keberatan dengan keputusanku. Sedapat mungkin ia membujukku supaya aku menangguhkan niatku. Namun kurasa keputusanku tidaklah salah. Tekadku telah bulat. Aku bersikukuh untuk mengundurkan diri. Aku tak mau lagi memperpanjang kepedihan hidupku. Namun demi menghentikan agresi atasanku yang membombardirku dengan segala bujuk rayu, terpaksa kukeluarkan jurus airmata dan ratap pilu di hadapannya supaya ia tak lagi memberatiku. Sandiwaraku berhasil.

“Ya sudah. Apa boleh buat… Kalau maumu begitu, ya terserah saja. Saya bingung musti ngomong apa lagi sama kamu yang keras kepala…” katanya putus asa.

Satu-satunya yang menjadi masalah besar adalah, mereka menahan ijasahku. Dengan liciknya, mereka telah mengikatku dengan kontrak yang menyudutkan. Sebelum masa kontrak yang dua tahun itu habis, maka aku harus menebus ijasah dengan sekian juta rupiah. Ini benar-benar gila! Jangankan satu juta, bahkan seratus ribu pun saat ini aku tak punya… Bahkan membeli sebungkus nasi ayam lalapan saja aku tak bisa… Tapi aku telah terlanjur berucap. Satu-satunya akal warasku mengatakan bahwa aku harus segera mencari pekerjaan baru dan mendapatkan uang untuk menebus ijasahku.

***

Mereka memberiku waktu sisa satu hari untuk tinggal di mess asrama sebelum mengusirku. Aku harus segera mengatur strategi. Pekerjaan baru, satu-satunya yang berkecamuk di kepalaku. Kuniatkan pagi-pagi buta untuk bergerilya, mencari salon-salon yang membutuhkan karyawan baru tanpa memerlukan ijasah. Apapun yang terjadi, aku harus segera mendapatkannya. Kalau perlu, aku akan berjalan kaki menyisir tiap-tiap ruas jalan di kota Surabaya. Aku sudah tak lagi peduli dengan apapun macam pekerjaannya, yang penting mendapatkan uang dan sekedar tempat tinggal. Aku pun tak lagi memikirkan laptopku yang hilang. Mengingatnya hanya membuatku berlinangan air mata.

Langkahku terhenti di sebuah ruko mungil di kawasan Pucang Anom. Sebuah salon yang memasang papan ‘dibutuhkan karyawan salon’. Tanpa ragu, kumasuki bangunan bercat kuning tua itu. Sejenak aku merasa canggung karena kupikir penampilanku tak lagi menjanjikan. Namun sejenak hawa dingin AC yang kurasakan menyejukkan diriku, menenangkan hatiku. Kuamati sosok-sosok yang berada dalamnya. Ada beberapa tamu; wanita-wanita setengah baya dari etnis Tionghoa, beberapa laki-laki dengan gaya perlente. Sementara para pegawai salon yang terlihat, nyaris sebagian besar adalah para waria. Wanita setengah pria dengan pembawaan gemulai, dengan dandanan yang aduhai.

“Saya mau melamar kerja….” Kusampaikan niatku dengan tutur kata dan sikap sesopan mungkin di hadapan seorang waria berkulit putih semampai yang berdiri di balik meja kasir.

Sejenak ia tertegun melihatku. Tak beberapa lama, kemudian ia menyunggingkan senyum lebarnya. “Sudah pernah kerja di salon?” tanyanya dengan nada sedikit genit.
“Sudah.”
“Bisa apa aja?”
“Apa saja bisa… Tapi mungkin tak terlalu ahli… Tapi saya cepat belajar…”
“Ouch… okee! Mari ikut eike ketemu bos, ya…”

Aku mengikuti arah langkahnya masuk ke bagian dalam, menjajaki lantai dua, kemudian masuk di sebuah ruangan luas yang mirip dengan ruang fitting karena terdapat begitu banyak kostum yang berjajar di rak yang mengelilingi sepanjang sisi dinding ruangan. Kulihat seorang perempuan berambut panjang dan pirang dengan celana jeans yang demikian pas di tubuh langsingnya sedang sibuk mencatat sesuatu dalam buku tulisnya. Kemudian ia memeriksa kostum-kostum yang berserakan di sekitarnya. Waria penjaga kasir itu mendekatinya, mengatakan padanya tentang keberadaanku. Perempuan itu beralih dari aktivitasnya, menoleh padaku, dan sesaat melempar senyum kecil yang disertai dengan sorot mata ramah. Sejenak aku terpaku oleh kecantikannya. Namun kian lama memandanginya, aku jadi mulai meragukan keperempuanannya. Mungkin dia bukan benar-benar perempuan… dan mungkin memang benar demikian…

***

Tak terasa, sudah lima bulan berlalu sejak hari pertamaku bekerja. Dan jujur saja, aku merasa jauh lebih dapat menikmati hidupku disini ketimbang di tempat kerjaku dulu. Banyak sekali perbedaan yang kurasakan. Mulai dari penghasilan yang amat jauh berbeda, hingga kebebasan berkreativitas yang bagiku adalah segalanya. Aku tak suka menjadi terkekang. Aku pun selalu butuh media untuk terus mengasah kreativitasku. Di tempat baru ini, aku merasa nyaman dan bebas menjadi diri sendiri, mengeluarkan sisi-sisi lain dari diriku tanpa merasa canggung lagi. Seluruh potensi positifku terasah sempurna, dan hal ini pun cukup menguntungkan tempat kerjaku. Salon semakin ramai. Beberapa tamu bahkan telah menjadi pelanggan fanatikku. Setiap kali datang, mereka hanya mau padaku. Di samping itu, kawan-kawan kerjaku pun cukup menyenangkan meski awal mulanya bersikap sedikit sinis padaku. Kudekati mereka perlahan-lahan, akhirnya lumer juga hatinya. Bahkan mereka pun terpacu untuk berlomba menggali kreativitas dan ilmu-ilmu baru setelah melihatku yang cukup rajin, cukup banyak tahu, pun cukup banyak mendapat bonus bulanan. Aku bahagia jika keberadaanku membawa manfaat positif untuk sekitarku.

Namun satu hal yang sangat membanggakanku; beberapa minggu yang lalu, aku menyabet gelar juara satu dalam sebuah lomba di ajang road-show waria tingkat propinsi. Menurut juri, selain cantik, aku juga kreatif. Mereka terkesima dengan pertunjukan teater monolog multi-karakter yang kupersembahkan. Hanya butuh waktu satu minggu untuk mempersiapkan konsep dan pengerjaan kostum sekaligus narasi, dan jerih payahku membuahkan hasil yang memuaskan. Semuanya bangga padaku.

Nah, andai kau hendak mencariku untuk menggunakan jasaku atau sekedar mengobrol ringan denganku, maka kau dapat menjumpaiku di salah satu sudut ruang salon, di sebuah ruko kawasan Pucang Anom, Surabaya. Aku selalu sibuk di sana. Namun jangan lagi kau mencari nama Johan, karena kini aku telah menggantinya – atau barangkali hendak melupakannya. Carilah Joanna, waria tercantik di salon itu, yang juga akan memukau penglihatanmu. ***

 

Agustus 2012

TARUHAN

“Jika kau mampu menakhlukkan Laila hingga ia mau kau tiduri dengan sukarela, kami akan membelikan sepuluh botol vodka apa saja sekehendakmu.”

Demikianlah tantangan yang terlontar di antara anggota geng Sabtu Malam, di Kampung Seloka. Tak seberapa banyak, hanya terdiri dari beberapa pengangguran, beberapa preman, atau siapapun yang tak punya orientasi tujuan hidup yang jelas. Siapapun yang melihat akan segera menarik kesimpulan bahwa mereka adalah kumpulan bajingan yang biasa berkumpul setiap sabtu malam di pos ronda kosong di dekat sungai, mendendangkan lagu-lagu Slank atau God Bless secara fals dengan gitar bututnya, cekakak-cekikik, menggoda gadis-gadis yang lewat, atau bahkan mencicipi miras-miras oplosan yang mereka datangkan secara sembunyi-sembunyi. Tahu-tahu, saat fajar nyaris menjelang, mereka sudah sempoyongan, berusaha pulang ke sarang masing-masing dengan meninggalkan ratusan puntung rokok atau kulit kacang yang bertebaran di tanah. Demikian juga dengan botol-botol kosong yang tergeletak begitu saja di pojok pos ronda atau terguling di bawah bangku panjang. Rudin, petugas kebersihan yang digaji bulanan oleh kepala kampung, hanya geleng-geleng kepala namun cukup tabah membereskan semua bekas kekacauan tersebut.

Kembali ke soal tantangan, mula-mula ide tersebut tercetus dari mulut Basri, pemuda penuh tato di lengan kirinya dan bekas luka codet di pelipis kanannya, yang konon bekerja di sebuah diskotik di kota, namun juga dikenal sebagai preman musiman. Mengenai Basri, ia tak selalu berada di rumahnya di Kampung Seloka, melainkan biasa pulang dua atau tiga hari sekali untuk menjenguk anak istrinya. Namun jika sudah berada disini, di Kampung Seloka, maka perkumpulan geng setiap Sabtu malam akan semakin ramai, semakin meriah.

Tantangan atau taruhan itu sebenarnya dikhususkan kepada Marwan, seorang pemuda yang tampaknya baik-baik, namun juga memelihara sisi keliaran dalam dirinya. Ia adalah pegawai rendahan sebuah pabrik yang terletak tak jauh dari Kampung Seloka. Pemuda itu tinggal bersama ibunya. Anggap saja ia anak yatim karena ayahnya tak lagi ada sejak ia masih baru dapat berjalan menapak tanah. Bukan lantaran meninggal, namun barangkali karena minggat – demikian gosip orang-orang kampung mengenai keluarganya.

Pasalnya, kawan-kawan lainnya muak dengan sesumbar Marwan yang berkali-kali mengatakan bahwa ia seringkali kerepotan menghadapi gadis-gadis yang naksir dan berkehendak menjadi pacarnya. Katanya, jika ia mau, ia dapat memperoleh sepuluh pacar sekaligus dalam tempo sesingkat-singkatnya. Demikian kisah Marwan tentang gadis-gadis di lingkungan tempatnya bekerja. Menurutnya, ia menjadi idola lantaran parasnya cakap, pesonanya memabukkan dan sulit diabaikan. Boleh diakui boleh tidak, Marwan memang sedikit cakap jika dibanding kawan-kawan lainnya, terutama di Geng Sabtu Malam itu.

“Ah, sudah! Jangan banyak omong yang tak ada buktinya. Kau kira kami percaya dengan semua bualanmu? Kalau kau memang begitu mudah mendapatkan perawan, malam minggu tentu tak kau habiskan bersama kami, hahahaa….” ejek Basri sinis, kemudian diiringi derai tawa yang lainnya.

“Jika kau memang seorang don juan sejati, coba buktikan pada kami. Kita semua tahu bahwa perawan idaman di kampung kita adalah Laila, anak Romlah, penjual rujak di SD ujung jalan sana. Soal kecantikan perempuan itu, kita semua pasti sudah sepakat. Tapi tabiatnya ketus dan menutup diri, terutama pada laki-laki hidung belang macam kita-kita. Nah, jika kau berhasil mendapatkan hati Laila sekaligus keperawanannya, kami baru mengakuimu sebagai don juan sejati, dan kami akan dengan senang hati membelikanmu sepuluh botol vodka merk apapun terserah maumu. Setuju tantangan ini?” kata Basri lagi, sembari menaik-naikkan alisnya, menggoda Marwan namun mimiknya setengah mengolok penuh kemenangan. Sontak yang lain ikut memanas-manasi Marwan, riuh rendah. Sontak nyali Marwan tergelitik. Dalam hati, ia benar-benar penasaran ingin memenangkan taruhan Basri dan kawan-kawan.

Ada sebuah rahasia tentang Marwan. Sebenarnya ia telah menjalin ikatan pertunangan dengan seorang gadis baik, kerabat jauh ibunya. Mereka telah bertemu, mengadakan pesta kecil-kecilan, dan bersepakat untuk sesegera mungkin melangsungkan pernikahan. Barangkali karena si gadis memiliki paras yang lumayan manis, pun baik hati, sehingga Marwan merasa tak berkeberatan. Namun sesungguhnya ibu Marwan lah yang merasa paling bahagia. Bagaimanapun, kebahagiaan orang tua adalah ketika telah mengetahui seluk beluk calon mantu.

Tentu saja Marwan sama sekali tak keberatan sepanjang ibunya merasa bahagia. Sejak tak pernah mengenal sosok ayah, Marwan sangat meninggikan figur ibu dalam hidupnya. Meski Marwan kerap lupa diri ketika bersama kawan-kawannya, namun di rumah ia selalu bersikap santun dan hormat pada ibunya. Kecintaannya pada ibu melebihi segalanya, dan ia bekerja pun seringkali untuk menyenangkan ibu yang sangat disayanginya.

Namun tantangan Basri benar-benar menggoyahkan hatinya. Bukan sekedar ingin mendapatkan sepuluh botol vodka gratis, melainkan karena tantangan tersabut menyangkut gengsinya, harga dirinya. Apalagi ia telah terlanjur bersesumbar. Demikianlah manusia, baru bergerak jika tersulut tantangan. Marwan bertekad untuk membuktikan sekaligus menunjukkan pada kawan-kawannya bahwa pesonanya yang menakjubkan para gadis rupawan itu adalah benar adanya.

Marwan sudah mengenal Laila, namun tak begitu dekat. Mereka hanya pernah berpapasan beberapa kali atau duduk bersebelahan saat mengantri pembuatan foto KTP di balai desa. Laila memang cantik. Namun saat itu Marwan tak begitu tertarik. Ia memang tak pernah menaruh minat pada gadis-gadis lokal di kampungnya. Baginya, Laila hanyalah sosok gadis kampung sederhana yang tak punya kelebihan apa-apa. Tentu berbeda dengan gadis-gadis yang bekerja di pabrik, yang memiliki selera berpakaian dan berdandan lebih trendi.

Namun demi menundukkan tantangan Basri, Marwan mulai melancarkan pendekatan dengan Laila. Semula ia hanya menguntit Laila dari tempat tersembunyi, mengetahui dan menghapal aktivitas Laila – untuk kemudian memikirkan peluang-peluang yang dapat ia pergunakan demi mendekati gadis berbibir mungil itu. Setiap pagi, Marwan rajin menelusuri jalan menuju pasar, berharap sebuah kebetulan akan perjumpaan. Jika sudah bertemu, maka Marwan akan menawari Laila tumpangan – dengan segala bujuk rayu manis nan elegan yang tak sanggup Laila tolak.

Demikianlah. Misi Marwan mendekati Laila separuh berhasil. Tinggal beberapa langkah saja, Marwan pun akan berhasil menguasai hati Laila, meneguk cinta yang didamba-dambakannya. Mereka tak sekedar bertemu di jalan menuju pasar, namun juga mulai sering berdua di tempat-tempat lainnya. Marwan kerap mengajak Laila berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan di kota, mengunjungi kebun binatang, hingga menonton bioskop berdua. Marwan pun telah memiliki keberanian menghangatkan jemari lentik Laila dalam genggamannya.

Di sisi lain, sedikit demi sedikit Laila mulai menaruh kepercayaan kepada Marwan. Ia pun tampaknya mulai bersiap mempercayakan hatinya kepada Marwan. Laila semakin terbiasa dengan banjir perhatian yang dilimpahkan Marwan. Ia pun tlah terbiasa dengan setangkai kembang mawar ataupun sebatang cokelat yang biasa Marwan selipkan pada jemarinya saat malam minggu tiba. Pernah Marwan meminta ijinnya untuk mengecup bibirnya dalam kegelapan ruang bioskop, dan dengan malu-malu Laila mempersembahkan bibir ranumnya untuk dikulum sekejab oleh Marwan.

Sejak itu, Laila mulai kerap bermimpi bahkan saat ia terjaga. Sosok Marwan mulai mengusik kesunyian batinnya. Manisnya kecupan Marwan mulai enggan ia lupakan. Kehangatan genggaman tangannya senantiasa ia rasakan. Lesung pipi Marwan saat tersenyum mulai mengisi palung terdalam ruang imajinya. Bahkan desah nafas Marwan saat berbisik di telinganya mulai ia rindukan. Sempat Laila merasa tak yakin, apakah ia mulai terjangkiti virus cinta yang ditebarkan Marwan. Hingga pada suatu malam, di bawah bulan benderang dengan keheningan yang nyaman, meluncurlah ungkapan cinta Marwan. Laila semakin yakin dengan perasaannya. Dengan bersukacita, dua anak manusia ini merajut helai percintaan menjadi sebentuk kisah yang memabukkan.

Sementara itu, kawan-kawan Marwan, Geng Sabtu Malam, pun mengikuti perkembangan kisah cinta Marwan dengan Laila. Ada yang merasa antusias dengan keberhasilan Marwan, namun ada pula yang tak henti berseloroh dan menyimpan benih-benih iri hati. Sementara Basri pun masih bersikap sinis meski mulai sedikit melunak.

“Jangan sombong dulu mentang-mentang kau telah menjadi pacar si Laila. Tunjukkan bukti bahwa kau berhasil menidurinya dan ia semakin tergila-gila padamu, hahahaa….” seru Basri dengan sikap jumawa.

“Kuberi tenggat waktu hingga Sabtu depan, kau harus berhasil melaksanakan misi ini. Atau kau kalah telak dan selamanya hanyalah seorang pembual bermulut lebar saja. Oke? Hahahaaa…”

Hati Marwan makin berdebar-debar. Sabtu depan ia harus telah melaksanakan misi terakhirnya, meniduri Laila, demi memenangkan tantangan Basri dan kawan-kawan. Marwan sangat optimis bahwa kali ini ia akan berhasil. Sebuah hotel di pinggir kota pun telah dipesan meski tak meninggalkan uang muka terlebih dahulu.

Namun jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya ada gejolak dalam jiwa Marwan yang semakin lama terasa semakin susah diredam. Cinta, bagaimanapun akan selalu menemukan jalannya sendiri. Demikianlah yang dirasakan Marwan. Dengan permainannya yang bertubi-tubi, tak menutup kemungkinan bahwa lamat-lamat ia menjadi benar-benar jatuh cinta kepada Laila, si kembang desa. Bukan lantaran kecantikan dan kebaikan hatinya semata, melainkan buaian perasaan yang menyejukkan tiap kali bersama Laila. Pada akhirnya, rasa yang terus menerus dipupuk hanya akan merajai seluruh jiwa, menjadi kemudi hati.

by esotericquotes.com

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Tak seperti biasanya, kali ini Laila meminta Marwan untuk datang ke rumahnya. Biasanya, mereka selalu bertemu di suatu tempat sebelum pergi berkencan. Namun kali ini rupanya Laila berniat hendak memperkenalkan Marwan dengan orang tuanya, terlebih ibunya.

Di rumah Laila, Marwan disambut dengan senyum Laila yang penuh arti. Meski agak kikuk, sedapat mungkin Marwan mempermanis sikapnya saat berada di antara kursi-kursi ruang tamu di rumah Laila. Sementara itu, ibu Laila, seorang wanita yang dikenalnya sebagai penjual rujak di SD ujung jalan pun menyambutnya dengan penerimaan yang amat baik. Wanita tua dengan gurat lelah di wajah itu pun tampaknya telah mempersiapkan kehadiran Marwan dengan menyiapkan beberapa piring penganan dan seteko teh yang siap dituang berkali-kali.

Setelah menyantap kue-kue sederhana yang terhampar di meja mungil bertaplak hijau lusuh, Ibu Laila tampak antusias mengajak Marwan mengobrol, sekedar memperpanjang basa-basi. Mereka sama sekali tak terganggu oleh suara tayangan televisi yang memperdengarkan adegan pertengkaran. Ibu Laila makin terhanyut mengungkapkan perasaannya; betapa ia sangat mengasihi anak perempuan semata wayangnya, mengharapkan yang terbaik untuk anaknya, dan bersumpah untuk bekerja keras serta berjuang demi menghidupi dan menjaganya. Ibu Laila adalah seorang wanita tangguh di balik renta tubuhnya yang telah terkikis beban dunia. Ia menyadari bahwa putrinya tumbuh menjadi sosok jelita yang akan menjadi dambaan banyak kumbang jantan. “Setiap malam, tak pernah sekalipun saya berhenti berdoa, semoga Gusti Allah memberi jodoh yang terbaik untuk Laila, yang mampu mengangkat harkat, derajat, dan masa depannya…” ungkap Ibu Laila dengan mata yang berkaca-kaca.

Mendengar rentetan penuturan ibu Laila, hati Marwan seperti diremas-remas. Betapa kasih sayang dan cinta sejati lah yang hanya terpancar dari sosok ibu di hadapannya. Semua itu membuatnya mengingat ibunya sendiri, ibu yang dikasihi dan disayanginya. Ibunya sendiri pun tak jauh berbeda dengan Ibu Laila. Mereka adalah sosok-sosok yang menaruh seluruh asa dan harapan dunia pada anak-anaknya. Mereka mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang yang dipunya hanya untuk darah dagingnya.

Kemudian Marwan mengingat Basri dan kawan-kawannya. Tantangan yang mempertaruhkan gengsinya itu kembali terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebuah tantangan yang kini terasa sedemikian mudah untuk dipatahkan. Namun tiba-tiba ia diliputi keraguan yang menghunjam nuraninya. Ia membayangkan Ibu Laila yang akan hancur hatinya dan berurai airmata andai mengetahui bahwa anak gadis satu-satunya yang menjadi harapannya telah ia rusak dengan menodai keperawanannya. Kepedihan yang menyayat-nyayat itu berubah menjadi sulur-sulur yang membelit tubuh rentanya hingga orang tua itu sesak dan mati perlahan-lahan, terkubur dalam kubangan danau kesia-siaan.

Kemudian tiba-tiba wajah Ibu Laila berubah sedikit demi sedikit, menjelma menjadi ibunya sendiri. Wajah ibunya yang telah menghitam dan matanya yang telah terpejam, memamerkan raut wajahnya yang muram. Sulur kepedihan itu telah berhasil membinasakan hati dan nyawa ibunya sekaligus dalam sekejab. Sungguh, ia dapat menyakiti dan membinasakan siapapun di dunia ini andaikan ia mendapat tuntutan untuk melakukan hal itu. Namun menyakiti hati seorang ibu atau menghancurkan harapannya adalah sama dengan menyakiti jiwanya, membinasakan nuraninya sendiri.

“Oh… tidak! Tidak tidak tidak!” pekik Marwan tiba-tiba, hingga mengagetkan Ibu Laila yang masih asyik berceloteh tentang masa kecil Laila.

“Ada apa, Nak Marwan? Apa ada yang salah dengan saya – atau makanannya?” tanya Ibu Marwan sedikit kebingungan.

“Oh, maaf bu… tidak ada yang salah… Saya hanya teringat sesuatu…” jawab Marwan sembari menahan malu. Ia segera menyembunyikan rona mukanya yang telah kemerahan.

Pukul delapan malam, Marwan berpamitan dan meminta ijin Ibu Laila untuk mengajak Laila berjalan-jalan. Laila pun merasa girang hingga kedua pipinya yang ranum semakin bersemu merah. Dengan malu-malu, ia mengikuti Marwan, segera sigap naik ke atas boncengan motor kumbang Marwan. Malam itu, cuaca sedikit panas, dan bintang gemintang berusaha keras menghibur insan-insan yang mereguk kenikmatan malam.

Seharusnya Marwan segera mengajak Laila menuju tempat yang telah ia persiapkan. Apalagi toh Laila sudah mengatakan bahwa ia rela diajak kemanapun dan melakukan apapun asalkan bersama Marwan. Namun entah, tiba-tiba Marwan malah menghentikan laju motornya di sebuah kedai kecil yang tak begitu ramai. Ia menggandeng Laila untuk menuju ke sebuah tempat duduk dekat jendela, menghadap ke area persawahan yang sedang gulita. Mereka hanya memesan minuman tanpa tertarik melirik aneka makanan berat yang ditawarkan.

“Laila, ada yang hendak Abang bicarakan…”

Laila hanya menunduk, terlihat sedikit salah tingkah dengan memainkan kuku-kuku jarinya. Ada kekhawatiran bahwa degup jantungnya akan terdengar keras di telinga Marwan.

“Rasanya… Abang tak lagi dapat meneruskan hubungan kita… Maafkan Abang, Laila…” lanjut Marwan, setengah terbata. Kerongkongannya serasa tercekik saat ia terpaksa mengatakan kata-kata pahit itu.

Laila yang sangat terkejut menengadahkan kepalanya, menatap sorot mata Marwan dengan mata berkaca-kaca. Ia tampak sangat tak siap menerima ataupun mendengar kata-kata yang terdengar melukai hatinya.

“Tapi, Bang… kenapa? Bukankah kita saling mencintai? Tidakkah Abang berniat untuk menjadikan Laila sebagai istri Abang? Tidakkah Abang merasa nyaman saat berada di dekat Laila? Mengapa Abang tega mengatakan itu?” Suara Laila yang semakin meninggi itu pun mulai terdengar serak. Ia tampak sedang berusaha keras menahan isak tangis yang nyaris meledak. Namun sejauh ini ketahanannya masihlah kokoh, meski bibir dan jemarinya bergetar.

“Tidak bisa, Laila. Kumohon mengertilah dengan tak banyak bertanya. Abang masih mencintai kamu, tapi rasanya perpisahan kita adalah untuk kebaikan kita masing-masing…”

“Abang bohong! Abang pasti telah mendapat perempuan lain yang lebih cantik dari Laila. Jujurlah pada Laila, Bang! Laila memang tak bisa menghalangi semua kemauan Abang, namun Laila mohon, jujurlah, Bang…”

“Baiklah, kalau itu maumu. Benar, Laila. Ada perempuan lain selain kamu, dan hubungan kami telah berjalan lebih dahulu daripada hubungan kita. Kami bahkan telah bertunangan dan berencana hendak melangsungkan pernikahan…” sejenak Marwan terdiam, memperhatikan sosok Laila yang ternganga dan terdiam, masih menantinya dan mendengarnya, meski  airmatanya telah menetes-netes tanpa ia usahakan lagi untuk membendungnya. Ia seolah sedang meresapi rasa perih saat sembilu sedang menyayat ulu hatinya.

“Dengar, Laila… Aku sama sekali tak bohong jika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu. Sungguh aku mencintaimu dengan seluruh kata dan jiwa yang kupunya. Bagaimana aku akan dapat melupakan rasa teramat manis yang pernah kita kecap setelah ini? Tapi jika pada akhirnya aku memilih untuk menyudahi hubungan kita, itu justru karena aku sedemikian menyayangimu, menghargaimu, dan menghargai perasaan semua wanita.

“Laila, kita belum melangkah terlalu jauh, dan kau masih memiliki banyak matahari untuk kau genggam dengan kekuatan pesonamu. Namun apa salah perempuan yang dengan setia menungguku hingga aku tega meninggalkan dan mencampakkannya? Aku tak mau menyakiti hati yang tak berdosa, Laila… Sungguh, maafkan aku…”

Kedai yang semakin malam semakin ramai itu ternyata tak memeriahkan kesenyapan yang terjadi di antara Laila dan Marwan. Marwan berusaha menenangkan Laila dengan mencoba menggenggam jemari kecil yang tampak gemetar dan kedinginan, namun Laila cepat-cepat menangkisnya. Marwan merasa semakin tersudut dengan airmata Laila yang mengalir tak berkesudahan. Hatinya telah remuk redam.

“Antarkan Laila pulang, Bang. Mungkin itulah yang terbaik yang dapat kita lakukan. Jika menurut Abang perpisahan adalah yang terbaik, mungkin memang demikian. Hanya saja… Laila sama sekali tak menyangka bahwa Abang tega melakukan semua ini… Abang tega menyakiti Laila… terima kasih, Bang… Terima kasih atas semua kepalsuan yang Abang berikan selama ini…” Andaikan ada kepedihan yang lebih menyayat, barangkali Laila masih dapat menjaga hatinya dari kehancuran yang berkeping-keping. Nyatanya, senyumnya telah tenggelam dalam nestapa. Seperti lentera yang padam oleh badai yang tiba-tiba melanda.

Malam itu, dua jiwa yang hatinya perlahan-lahan membeku saling mengucapkan selamat tinggal. Pendar bintang yang senantiasa menghibur malam-malam romantika mereka tak lagi sanggup mengibur, tak jua menguatkan. Ada tangis yang tersisa, ada hela nafas berat yang terasa. Marwan tak lagi peduli pada taruhan, juga pada cemoohan geng Sabtu malam. Baginya, cukuplah kenangan bersama Laila menjadi pelipur lara, asal ia dapat menyelamatkan nuraninya. Biarlah Laila tersedu dan menghujatnya tanpa perlu tahu keseluruhan jalan cerita. Cukuplah kenyataan dan kesadarannya hanya menjadi milik rahasia hatinya, rahasia hidupnya. ***

Agustus 2012

Bintang di Surga

Namaku Anjali Bintari. Ah, masa tak mengenalku? Betapa engkau terkurung dalam tempurung jika benar-benar tak pernah mengetahui atau mengenal sosok diriku yang kerap muncul di film-film nasional, sinetron ber-rating tinggi, atau iklan-iklan produk ternama. Aku ini seorang artis. Artis ternama. Artis papan atas. Artis yang takkan mudah tergeser oleh berondongan pendatang-pendatang baru yang lebih muda dan tak kalah cantik. Sebabnya, aku pun berwajah cantik, sekaligus berbakat. Multitalenta, demikian ungkapan orang-orang ketika menggambarkan kemampuanku. Eh, tapi bisa saja kau tak mengenalku meski aku telah mengakui beberapa kenyataan tentangku. Mungkin disebabkan karena nama yang kukatakan padamu sekarang adalah nama asliku yang sebelumnya tak pernah seorangpun tahu. Aku yakin kau takkan pernah menduga bahwa artis ini atau artis yang itu ternyata adalah aku. Yah… kau pasti takkan dapat menduganya. Aku yakin itu. Karena memang tak ada seorang pun yang mengenal, mengetahui, dan mengerti tentangku.

Kecuali dia. Namanya Damar. Lengkapnya Damar Pikatan. Lelaki yang bagiku adalah ‘kehidupan’ baru setahun setengah menginjak dunia gemerlap kota metropolitan. Juga baru menyentuh lika-liku hidupku selama setahun. Masih setahun. Tapi ia sudah menorehkan coretan warna yang sedemikian tajam dalam kanvas hidupku – bahkan paling tajam yang pernah kurasakan.

Akulah Anjali Bintari. Siapa pula yang tak mengenalku? Seluruh pejabat negeri ini, bahkan presiden sekalipun pasti akrab mendengar namaku. Maksudku nama bekenku. Aku bahkan pernah mewakili negeri ini dalam banyak pagelaran seni dan festival bergengsi di berbagai negara di dunia. Akulah sang dewi, sang primadona negeri. Mataku telah kebal dengan kilatan blitz. Telingaku terlampau akrab dengan tepuk tangan dan puja-puji. Bibirku hanya terus menerus mengatakan keinginan. Lidahku hanya melulu mencecap kenikmatan. Tubuhku senantiasa termanjakan kenyamanan. Bagiku, ketenaran adalah topeng terindah meski untuk memilikinya perlu menggadaikan seluruh ruang dalam hidupku. Apapun dan siapapun yang kutemui selalu memberikan apapun yang kuinginkan.

Kecuali dia. Namanya Damar. Nama lengkapnya Damar Pikatan. Lelaki tegap bermata elang itu tak pernah sedikitpun tunduk dalam kekuasaanku, melainkan akulah yang dengan sukses bertekuk lutut tanpa syarat di hadapannya, meringkuk lemah tak berdaya dalam dekapnya. Tapi kadang ia membiarkanku merana sendiri di sudut dunia, meratapi kekalahan dan kegagalanku yang menghunus pilu. Aku menjerit. Aku lelah. Aku lapar. Namun Damar sama sekali tak bergeming. Bayangannya masih terpaku di sekelilingku, hanya menatap nanar dengan tubuh angkuhnya yang tak gentar.

Dulu, jika tak sedang sibuk dengan parade pameran lukisannya atau tak sedang memerankan tokoh dalam pagelaran teaternya, ia akan lebih senang menghubungiku. Dengan kata manisnya yang singkat, ia akan memintaku datang ke sebuah kedai kopi kecil favorit yang mampu menyembunyikan identitas ketenaran kami. Biasanya aku akan segera bergegas, kadang tak lagi peduli dengan jadwal-jadwal bajingan yang mengikatku erat-erat. Sesampai di lorong pelataran kedai yang tersembunyi itu, aku akan berlari-lari kecil – sesekali merogoh parfum dan menyemprotkannya di beberapa bagian tubuhku, kemudian menemuinya dengan raut wajah berbinar-binar – setelah melepas kacamata hitam maupun syal kerudungku. Seperti biasa, Damar yang tak banyak kata akan tersenyum padaku, mengembangkan kedua lengannya demi menyambut segenap pelukku. Meski gemericik pancuran yang menjadi dekorasi kedai itu terdengar mendominasi, tapi aku masih dapat mendengar jelas suara baritonnya berbisik lirih di telingaku, ‘aku kangen kamu, Sayang….’

Dulu, jika tak sedang sibuk dengan jadwal syuting ataupun undangan acara-acara sosialita, aku akan lebih senang mengurung diri di apartemen, mempraktekkan resep-resep menu spesial, menata meja makan seromantis mungkin, menata tempat tidur seindah dan senyaman mungkin, juga menata segala sudut di ruangan yang telah kutinggali sendiri bertahun-tahun. Ketika bel pintu berbunyi, aku yang telah merasa cantik dan wangi akan berlari-lari kecil dengan wajah berbinar, kemudian membuka pintu. Sosok Damar yang terbungkus jaket kulit berdiri tegap dengan senyum menawan. Rambut ikalnya yang sepanjang bahu terurai dan tampak sedikit acak-acakan, namun kurasa ia justru semakin tampan. Cepat-cepat kuseret ia masuk sebelum menutup rapat pintu apartemen. Aku menghujaninya dengan seribu ciuman, menguncinya dengan sejuta pelukan. Selanjutnya, kami hanya menghabiskan waktu seharian dengan hal-hal yang menyenangkan. Juga menikmati sajian senja yang membuka panggung malam. Juga menikmati kerlip lampu berwarna-warni di kejauhan. Juga menikmati erangan perasaan yang sedang kasmaran.

Tapi kalau boleh kukatakan, sebenarnya ada beberapa hal yang membuatku sedikit galau. Pada akhirnya aku menemukan sebuah foto dalam dompetnya. Foto yang memperlihatkan dua anak seusia kurang dari lima tahun yang sedang memamerkan deretan giginya, tersenyum ceria dan tampak bahagia. ‘Siapa?’ tanyaku, memberondongnya. Damar tak langsung menjawabnya, melainkan segera mengambil foto dan dompet di tanganku kemudian menaruhnya kembali di atas laci meja samping tempat tidurku. Dengan penuh kelembutan, ia meraihku, mengecup pelipisku, memelukku tanpa hasrat. Kudengar hembusan nafasnya yang terasa berat.

“Itu… foto anak-anakku…” jawabnya lirih, namun seolah tanpa beban ketika membisikkannya di telingaku.

“Jadi… kau sudah punya anak? Kau punya istri? Dimana mereka?” Suaraku mulai terdengar parau, nyaris tersedak ketika memuntahkan pertanyaan-pertanyaan itu. Tubuhku serasa menegang, nyaris memutuskan semua urat-urat syarafku.

“Aku meninggalkan mereka…” jawab Damar datar. Ada jeda diam yang hambar sebelum ia meneruskan kata-katanya. “Sudah, jangan bicarakan itu lagi, ya… Yang penting saat ini aku bersamamu…” Dan ia tak lagi memberiku kesempatan untuk memperpanjang persoalan.

Aku mencintainya. Mencintai sepenuhnya tanpa syarat. Ia menjajah seluruh hatiku. Aku tak mau tahu lagi apapun tentangnya selain cinta dan kasih sayangnya kepadaku. Aku tak peduli pula dengan segala asal-usulnya dan kisah-kisah hitam putihnya. Bagiku, kehidupan dimulai ketika kami bersama. ‘Toh ia sudah cerai…’ demikian asumsiku, yang kemudian membuatku tenang, merasa nyaman. Kini keberadaannya adalah untukku. Damar adalah sinar terang bagi hidupku yang lorong-lorongnya temaram. Aku hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk menghadirkan sosok Damar yang masih misterius dan rahasia bagi duniaku.

Hingga sebuah tabloid mendarat manis di sudut mejaku. Hingga rumor yang semula bisik-bisik santer itu kemudian meledak menjadi gosip dan konsumsi hangat tayangan-tayangan infotainment televisi. Hingga saat itulah kurasakan musibah yang meluluhlantakkan hidupku – tanpa seorangpun tahu.

‘Artis senior xxxxxxxxxxxx yang popularitasnya sedang meroket berkat kesuksesannya dalam film terbarunya xxxxxxxxxxx ternyata tak luput dari masalah berkat beredar foto-foto mesum di dunia maya yang diduga dirinya bersama seorang pejabat ternama. Foto-foto yang telah beredar luas tersebut sejauh ini masih diteliti pakar telematika untuk mengetahui keasliannya. Namun karena permasalahan ini, xxxxxxxx terancam dicopot dari jabatannya. ……………………….. (sch)

Kulempar tabloid ketiga puluh yang mengabarkan berita busuk tentangku yang kuterima sepanjang seminggu yang kelabu. Kumatikan televisi itu. Kubunuh juga dering ponselku. Kuhidupkan sunyi hingga tangisku menguasai sepi. Aku terisak. Merasa sendiri. Ingin segera mengakhiri. Namun hanya sosok Damar yang berkelebat di hati. Apa yang bisa kulakukan? Dengan jiwaku yang sekarat, bahkan menghubungi nomor ponsel Damar pun adalah sebuah kesalahan. Keputusan yang terangkai dalam penuturan suratnya beberapa hari lalu lalu masih terngiang jelas di benak. Apa yang bisa kulakukan? Apa lagi yang bisa kulakukan, Jahanam!!!

Aku takkan munafik bahwa aku sayang kamu. Aku cinta kamu, Anjali. Tapi kuharap kau dapat mengerti bahwa kita tak bisa bersama. Dunia kita berbeda. Meski aku bisa mendekap tubuhmu, tapi aku tak sanggup merengkuh duniamu, hidupmu. Aku sama sekali tak membicarakan atau terpengaruh gosip yang sedang menerpamu. Bersabar dan tegarlah. Aku percaya kamu.

Hanya saja, kali ini aku harus jujur semata-mata karena aku sayang padamu. Aku akan pergi, Anjali. Pergi meninggalkan kota ini, meninggalkan kamu, juga mengakhiri percintaan kita. Aku akan kembali pada duniaku yang dulu, mencoba merakit kembali jalan yang benar bersama mereka yang telah kutinggalkan. Tak perlu kau tanya mengapa jika kau memang mencintaiku.

 Kau masih muda, punya segalanya, dan masih memiliki peluang untuk hidup bahagia. Pilihlah jalan yang mampu membahagiakanmu, karena aku membebaskanmu. Maafkan aku jika hal ini terjadi… Tapi sungguh, aku cinta kamu. Setelah aku pergi, kumohon untuk jangan pernah menghubungiku, ya… Kumohon dengan sangat… Jika kau benar-benar mencintaiku, maka berdoalah untuk perjalanan bahagia yang akan kutempuh di hari depan…

Selalu akan ada doa untukmu…

                                                                    Always love you,

 

                                                                  Damar Pikatan

Aku mengerang, aku meratap, aku mengamuk sejadi-jadinya. Gempa di tubuhku meledakkan amarahku. Genangan airmataku tak lagi berarti. Damar tak bergeming. Ia tetap pergi dengan hanya meninggalkan sisa kehangatan terakhir yang kemudian kuingat dengan keras. Kecupannya yang sempat kurasakan manis mulai terasa seperti menghunjam ulu hatiku, memuncratkan darah hidupku yang kini kuketahui telah menghitam.

Damar meninggalkanku tepat di saat lukaku sedang menganga lebar, saat kedua kaki semangatku patah, saat seluruh asa dan harapanku kandas menjadi arang. Ingin rasanya aku memohon pada bumi untuk menguburku dalam-dalam. Namun televisi dan perbincangan orang-orang terus membumbungku ke langit tertinggi. Mereka pikir aku akan baik-baik saja meski beberapa hari ke depan aku harus memenuhi panggilan polisi untuk penyidikan. Namun mereka tak pernah berpikir bahwa aku masihlah seorang Anjali Bintari yang menatap ilusi bayangan Damar, yang berpendar tak terjangkau bagai bintang di surga — sementara diri sendiri tersuruk mencium bumi, mencoba menyatu dengan tanah, merumuskan rasa bersalah, dan menyerah kalah.  ***

Masih ku merasa angkuh
Terbangkan anganku jauh
Langit kan menangkapku
Walau ku terjatuh

Dan bila semua tercipta
Hanya untukku merasakan
Semua yang tercipta
Hampa hidup terasa

Lelah tatapku mencari
hati untukku membagi
Menemani langkahku namun tak berarti

Dan bila semua tercipta
Tanpa harus ku merasakan
Cinta yang tersisa
Hampa hidup terasa

Bagai bintang di surga
Dan seluruh warna
Dan kasih yang setia
Dan cahaya nyata

Oh bintang di surga
Berikan cerita
Dan kasih yang setia
Dan cahaya nyata

 (Bintang di Surga – Peterpan)

Juli 2012

(dalam rangka meramaikan ajang menulis hore #cerpenpeterpan via @wira_panda)

Penjaga Kubur

Kira-kira, apa yang akan terjadi padamu jika selama beberapa hari berturut-turut berjumpa dengan seorang wanita cantik di sebuah pemakaman? Bukan sembarang wanita, karena kalau boleh kukatakan, ia mampu menggetarkan urat jantungmu.

Baiklah, aku akan memberitahumu apa yang sudah kulakukan saat kejadian itu berlangsung. Dengan segala kecerdikan dan kesempatan yang kupunya, aku menyamar menjadi tukang bersih-bersih kuburan! Profesi itu memang tak terlalu bagus meski sebenarnya memiliki nilai jasa yang tak bisa disepelekan. Namun jika tidak menggunakan cara ini, tentu saja aku takkan dapat lebih mendekati wanita cantik itu. Aku benar-benar cerdik, bukan?

Asal kau tahu, hatiku kerap berdebar-debar tiap berada di pemakaman yang letaknya persis di depan rumahku itu. Tapi jangan pula kau terheran-heran untuk apa aku ada di pemakaman itu, dan jangan pula asal menuduh bahwa aku rajin kesana hanya untuk menemui wanita cantik itu. Meski tampaknya aku tak dapat mengelak bahwa aku menjadi rajin memang karena wanita itu, namun sebenarnya tak semata-mata demi bertemu dengannya.

Makam ayahku berada di pemakaman itu. Sebagai satu-satunya anak lelaki, aku berkewajiban menjaga dan merawat makam beliau. Terutama demi menghibur ibuku, supaya hatinya senantiasa merasa tenang dan senang. Kesetiaan ibuku memang mengagumkan, meski kematian telah menggusur sebagian kebahagiaannya. Baginya, ayah sekedar pindah rumah, dan aku harus benar-benar menjadi pengurus rumah yang baik. Rumah ibuku yang masih hidup, dan juga rumah ayahku yang telah meninggal.

Sejak meninggalnya ayah lima belas tahun lalu, pohon kamboja dan deretan nisan-nisan itu menjadi sahabat terdekatku. Jika sedang gundah, atau merasa lelah, tak jarang aku bercakap-cakap dengan mereka sementara tangan-tanganku sibuk menyiangi rumput dan semak liar yang bertumbuhan di sekitar. Apa saja yang kupercakapkan? Biasanya lebih banyak keluhan hidup, selebihnya mengenai ketidakmengertian tentang apa saja. Rutinitas macam ini kulakukan dua minggu sekali. Nyaris menyaingi juru kunci yang kemudian merasa senang memiliki sekutu.

Namun kira-kira sejak empat bulan lalu, frekuensiku mengunjungi pemakaman itu semakin menggila. Pasalnya, tiba-tiba muncul sosok yang sebelumnya tak pernah kulihat, dan kemudian ia nyaris mengalahkan kerajinanku. Bukan saja soal begitu seringnya ia mengunjungi makam itu yang menyedot perhatianku, pun karena sosok itu adalah seorang wanita yang cantiknya luar biasa. Setidaknya menurut penilaian dan seleraku.

Memang banyak sosok-sosok asing yang kutemui sepanjang berada di pekuburan umum itu. Maklumlah, pekuburan itu tak hanya dipakai oleh warga yang tinggal di sekitar saja. Penduduk yang berdomisili lebih jauh pun dapat memilih pekuburan itu asalkan ‘harga’ terpenuhi. Akhir-akhir ini, lahan kuburan memang mulai menjadi problema. Saat lahan-lahan di tengah kota dan kawasan padat penduduk telah habis oleh pembangunan ruang-ruang yang lebih bernilai komersil, hanya lahan di wilayah kami lah yang masih memiliki beberapa jengkal tanah yang masih lowong beberapa petak.

Wanita semampai itu tampak perlente dengan gayanya yang anggun sekaligus mempesona penglihatanku. Kacamata hitam besarnya cukup berhasil mengelabui mendung yang bermuara dari kedua bola matanya. Namun aku dapat melihatnya dengan hatiku, bahwa ia menyimpan sebongkah kesenduan yang membiru.

Dari jarak yang tak terlalu mencolok perhatiannya, kulihat ia bersimpuh khusyuk di samping pusara yang lama tak terurus, namun masih memiliki nisan yang tegak lurus. Ia bersimpuh cukup lama disana. Kadang kulihat bibirnya gemetar, seolah ia sedang bercakap-cakap dengan nisan yang diam. Jika tidak, ia hanya menabur beberapa genggam kelopak bunga yang dibawanya atau sekedar meletakkan seikat kembang segar bertangkai di atas gundukan pusara. Ritualnya berlangsung sekitar tiga puluh menit, kemudian ia pergi begitu saja.

Dua hari kemudian ia datang lagi. Seperti hari pertama, seikat kembang yang masih segar menjadi buah tangan untuk sebuah pusara. Ia meletakkan ikatan indah itu dengan jemari putihnya yang lentik dan lemah gemulai. Dugaanku, ia adalah wanita ningrat jika bukan golongan kaya yang tak pernah bersentuhan dengan rumput dan tanah sepertiku. Penampilannya selalu terjaga, kecantikannya senantiasa tertata. Siapa yang takkan terpesona oleh auranya? Seperti kali ini, ia mengenakan gaun hijau tua sepanjang betis, sedang kerudungnya masih setia berwarna hitam. Tapi kali ini aku beruntung telah berhasil mencuri lihat paras wajahnya tanpa kacamata hitam besar itu – yakni saat ia sedang berusaha mengusap tetesan air mata yang sepertinya tak hendak ia tampakkan. Wow! Benar dugaanku, ia wanita yang teramat cantik, meski rona wajahnya terlihat pucat. Barangkali karena kulitnya demikian putih tak serasi dengan mendung yang sedang menjadi make-upnya.

Sementara ia duduk terpekur menghadap pusara, aku jadi merasa enggan untuk meninggalkan makam ayahku, padahal benar-benar sudah tak ada sebatang rumput pun yang tumbuh mengotori makam ayah. Tapi pintarnya aku, yang kemudian berpura-pura menggali dan mengorek tanah-tanah sekitar dengan jari-jari kasarku, seolah sedang menelusuri cikal bakal rumput liar supaya tak sempat mengakar.

Wanita itu tampak kerasan, tak kunjung beranjak hingga langit yang menggantung mendung menggugahnya untuk segera meninggalkan pemakaman itu. Namun sungguh sebuah kesempatan ketika akhirnya ia sempat menoleh padaku, dan olalaa… ia pun tersenyum manis, meski kecil saja. Refleks aku membalas senyumnya dengan tingkah sedikit kikuk. Dalam hati, aku berdoa supaya tak terlihat memalukan di matanya.

Jangan terkejut jika kemudian kukatakan bahwa wanita itu mengunjungi pemakaman nyaris setiap hari, dan ini sudah hari kelima. Tentu saja aku sudah mengetahui namanya. Ceritanya begini. Pada hari keempat, sewaktu ia hendak pulang, akhirnya perhatiannya pun tertumbuk padaku. Setelah sekian lama, memang baru kemarin ia memperhatikan keberadaanku. Tapi itu sungguh tak mengapa. Diperhatikan wanita cantik macam dia, meski harus menunggu demikian lama pun bukanlah masalah.

Saat itu, seperti biasa, aku membersihkan makam ayah yang sebetulnya sudah bersih. Namun demi terlihat tak dibuat-buat, aku pun bergeser ke tempat lain, membersihkan makam orang lain yang bersebelahan dengan makam ayahku. Sejenak ia memandangiku, barangkali sedikit tertarik dengan aktivitasku.

“Eh… maaf, apakah Anda yang berjaga di pemakaman ini? Saya sedang membutuhkan orang yang bersedia membersihkan makam itu,” katanya, seraya menunjuk pada pusara yang senantiasa diajaknya bercakap-cakap saban hari.

Aku tak segera menjawab karena terlampau kaget dengan keramahannya yang sekonyong-konyong. Tepatnya merasa gugup. Namun untunglah senyumku terbit secara refleks, mengimbangi kekikukanku yang tak tertolong. Aku benar-benar merasa malu padanya lantaran penampilanku yang tak dapat dikatakan bagus. Ia pasti menganggapku sebagai tukang bersih-bersih kuburan, karena selama ini tanganku pun tak pernah lepas dari sabit, sapu korek, dan rumput-rumput liar. Memikirkan dugaan ini, sebenarnya ada sedikit rasa gusar karena kurasa ia telah menganggap kedudukanku sedemikian rendah. Tidakkah ia dapat melihat pancaran auraku yang seharusnya terlihat jelas lebih berbobot daripada Mang Ujang, tukang bersih-bersih betulan yang hanya jebolan sekolah dasar? Tapi aku harus berpikir cepat dan segera bertindak. Kesempatan seperti ini nyaris seperti keajaiban. Sempat kupikir ia hanyalah seorang wanita cantik yang angkuh seperti kebanyakan. Namun lihat! Dia benar-benar menyapaku! Oke, tepatnya bukan menyapaku dengan cara ramah seperti yang kuimpikan, melainkan sekedar bertanya — apakah ada seseorang yang bersedia ia pekerjakan untuk merawat dan membersihkan makam yang dikunjunginya itu.

Kegeniusanku dalam berpikir cepat melahirkan tindakan yang sebenarnya di luar sangkaanku. Setelah membalas senyumnya seramah mungkin, aku rela merendahkan diri dengan mengatakan bahwa ia dapat mengandalkanku jika memang menghendakiku membersihkan makam yang dikunjunginya dengan teramat rajin itu.

“Terima kasih, ya…” katanya dengan ekspresi yang terlihat lega. Kemudian ia merogoh tas hitam perlentenya dan mengeluarkan selembar seratus ribu yang kemudian ia berikan padaku.

“Ah, jangan dulu, Neng… Saya masih belum melakukan apa-apa. Nanti saja kalau saya sudah terbukti bekerja. Kalau dikasih sekarang, saya jadi merasa tidak enak …” Dengan segala keramahtamahan dan kerendahatianku yang kubuat sedemikian mengagumkan, aku berupaya untuk menolak upah darinya.

“Baiklah, terima kasih, ya… Besok saya akan kemari lagi. Mmm.. barangkali akan setiap hari.” katanya sembari memasukkan kembali uangnya ke dalam tas. “Oh ya, ngomong-ngomong, siapa namamu?” Ah, akhirnya ia penasaran juga denganku.

“Riswan, Neng…” jawabku lirih.

“Riswan, apa kamu tinggal di dekat sini?”

“Rumah saya tepat di depan pemakaman ini, Neng… Itu, yang bercat hijau… Pasti kelihatan kalau dari gerbang pemakaman.” jawabku seraya menunjuk sopan ke arah posisi rumahku.

“Oh, ya… Saya pernah tahu. Kalau ada perlu apa-apa, boleh saya mencari kamu di rumahmu?”

“Silakan saja, Neng… Rumah saya selalu terbuka. Saya pun jarang kemana-mana.” Dalam hati, aku semakin girang mengetahui bahwa aku akan lebih sering bertemu dengannya, wanita cantik ini.
Tapi kemudian lekas aku teringat bahwa aku masih belum tahu perihal namanya. Padahal ini benar-benar sangat penting. “Maaf, kalau boleh tahu, Nama Neng siapa?” Tanyaku sedikit malu-malu.

“Nama saya Kemala.”

Kalau boleh kuungkapkan keherananku, aku tak habis pikir mengapa Kemala setiap hari mengunjungi makam itu. Sudah nyaris dua minggu, dan ia menunjukkan kesetiaan yang memukau pada makam itu. Sungguh aku merasa penasaran, ada apa di balik perilakunya yang menurutku berlebihan. Sepanjang pengetahuanku, tak ada peziarah yang serajin itu. Sumpah, benar-benar tidak ada! Bahkan banyak makam-makam yang sama sekali tak pernah diziarahi, terbengkalai dengan mengenaskan.

Dugaanku, Makam yang diziarahinya saban hari itu adalah makam seseorang yang dikasihinya, dicintainya. Barangkali suaminya, karena ia tak pernah mengajak siapapun. Ia duduk dan berdiri sendirian saja. Kadang aku merasa kasihan, seolah-olah melihatnya sedang tertekan.

Maka pada suatu hari, dengan setengah keberanian yang berhasil tersamarkan oleh sore yang redup, aku mendekatinya. Hasrat ingin tahu lebih banyak tentangnya mendesak-desak egoku.
“Maaf, Neng… kalau boleh tanya, makam siapakah ini? Kok rajin benar ziarahnya…” tanyaku pelan, sesopan mungkin, dengan harapan tak terlalu mengganggunya.

Ia mendongakkan kepala, kemudian menatapku sambil tersenyum, seolah-olah ia telah benar-benar mempersiapkan diri untuk pertanyaan macam ini. “Ini makam suami saya. Sudah meninggal enam tahun lalu.” Setelah itu, ia kembali melanjutkan doa-doanya. Aku tak lagi berani mengganggu, memilih berlalu dari hadapannya.

Namun sejak saat itu, perkenalan kami jadi sedikit lebih luwes. Tak melulu sekedar sapa kering dan senyum basi. Adakalanya dia mengajakku bercakap-cakap, menanyakan beberapa hal padaku, tentangku. Yang jelas ia mulai tahu bahwa aku bukan tukang bersih-bersih kuburan betulan. Tapi untunglah ia tak memecatku. Dengan kebaikan hatinya, ia tetap membiarkanku membersihkan makam itu secara rutin. Kadang ia memberiku uang. Namun ketika kutolak, ia mengancam tak membolehkanku membersihkan makam lagi. Jadi terpaksa kuterima saja. Yang penting hatinya merasa lega. Karena jujur saja, aku mulai lebih banyak memikirkannya. Bahkan yang lebih jujur lagi, aku pernah memimpikannya.

Namun suatu kali aku mendapat lebih banyak informasi tentangnya. Tak perlu kau banyak tanya kapan itu terjadi, namun yang jelas terdapat satu hari dimana kami dapat mengobrol lebih panjang dan lebih dekat.

“Wah… pasti suami Neng Kemala adalah seorang yang sangat baik, sampai-sampai Neng sedemikian rajin berziarah ke makamnya. Betapa beruntungnya beliau. Ah, cinta bahkan seringkali melebihi kematian,” komentarku pada suatu hari, dengan harapan dapat membesarkan hatinya. Namun tiba-tiba aku teringat ibuku. Kurasa ibu pun adalah seorang yang setia meski tak setiap hari mengunjungi makam ayah.
“Kalau boleh tahu, meninggalnya karena apa, Neng? Apa sakit keras?”

Sejenak ia terdiam. Sorot matanya menerawang, bersaing dengan daun-daun kamboja yang terbang tanpa tujuan. Perubahan ekspresi wajahnya ini membuatku jadi merasa salah tingkah. Jangan-jangan pertanyaanku membuka kembali balutan kesedihannya. Buru-buru aku mencoba menetralisir perasaannya yang barangkali sedang mengharu biru. Aku tak ingin melihatnya semakin terlarut dalam kesedihan.

“Setiap manusia pasti akan menjumpai kematian. Yang menjadi perbedaan, apakah ia menjumpai kematian dengan tangan kosong atau dengan genggaman yang penuh bekal. Saya yakin, suami Neng akan mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.”

“Entahlah… Aku selalu berdoa semoga Tuhan memaafkannya. Ia mati karena sakit. Hati dan jiwanya yang sakit. Jika tidak begitu, ia tidak akan memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara tragis.”

Aku sempat terkesiap oleh penuturannya. Kucoba untuk tak lagi terlalu mengorek banyak hal tentang masalah yang sepertinya sangat sensitif baginya, namun rupanya malah ia sendiri yang kemudian membuka tabir kenangannya di hadapanku.

“Semua itu adalah karenaku. Karena cintanya padaku yang gila…” sambungnya kemudian, setelah kesenyapan melingkupi kami untuk sesaat. “Apakah kau ingin mendengar ceritaku lebih banyak, Riswan?”
Aku tak menjawab. Kupikir ia sedang tak hendak diinterogasi dengan cara yang bodoh. Namun aku yakin bahwa jiwanya sedang ingin melampiaskan, ingin dilegakan. Maka kubiarkan saja ia yang mulai bercerita padaku.

“Ia begitu cinta padaku. Cintanya sangat berlebihan. Ia memuaskan dirinya dengan siksa, tangis, dan ketakutanku. Aku takkan pernah lupa kejadian itu. Pengabdianku tak pernah sempurna di matanya. Terlebih kesetiaanku, yang menurutnya adalah kamuflase belaka. Puncaknya, ia menuduhku menduakan cintanya. Kemudian ia nyaris membunuhku, mencekikku, setelah beragam siksa yang bertubi-tubi. Syukurlah Tuhan menyelamatkanku sehingga aku berhasil lolos. Tapi ia tak tahan dengan kesendirian sekaligus rongrongan. Ia tak biasa tanpaku. Akhirnya ia memilih caranya sendiri melalui tali yang menggantung lehernya.”

Sesaat ia terdiam, seperti hendak menunggu sesuatu. Kulihat ia menghirup nafas yang nampaknya mengalir berat dalam saluran pernafasannya. Sungguh, apa yang diceritakannya padaku benar-benar mengejutkan. Sebuah drama kehidupan yang membuatku merinding. Benar-benar tak kusangka bahwa wanita secantik dia menyimpan luka dari cerita horor yang menghantui tahun-tahun hidupnya kemudian.

“Meski ia suamiku, sulit bagiku untuk memaafkan segala perbuatan yang telah ia lakukan. Bertahun-tahun sudah berlalu, dan mimpi-mimpi buruk tentang cintanya masih senantiasa mendatangiku. Namun di sisi lain, waktu telah mengajarkanku banyak hal. Sia-sia saja terus-menerus menabur benci kepadanya, karena toh ia telah pergi. Sebenarnya kebencian itu bukan tertuju pada siapa-siapa, melainkan sekedar menggerogoti kewarasan diri kita sendiri. Waktu pula lah yang mengajariku lamat-lamat untuk menghargai cintanya yang demikian besar. Jika bukan aku, maka siapa lagi? Adakalanya kita terlampau sibuk mencintai sehingga menjadi manusia-manusia arogan yang tak pernah menghargai pemberian cinta.”

“Semoga Tuhan melapangkan jalannya….” gumamku lirih.

“Ya, aku juga berharap begitu. Semoga ia bahagia disana. Tapi barangkali ia akan bahagia.Tak lama lagi, sepertinya kami akan kembali bersama-sama. Jika Aku pun yakin ia takkan bertabiat seburuk dulu. Mungkin kami akan jatuh cinta dengan cara yang lebih indah.”

“Maksudnya bagaimana, Neng? Bagaimana caranya kembali bersama?” tanyaku penuh rasa penasaran. Kupikir ia hanya sekedar berangan-angan saja.

“Saat ini aku mengidap sebuah penyakit yang cukup serius. Usiaku diperkirakan takkan lama lagi. Sebenarnya aku tak lagi punya tenaga. Namun entah mengapa, tiap kali hendak menuju makam ini, kekuatanku berangsur-angsur pulih. Mungkin ini adalah sebuah keajaiban. Tapi perasaanku mengatakan bahwa aku takkan bertahan lebih lama. Aku pun akan segera menggenggam kematian…”

Seketika itu juga desir kekecewaan menggelegakkan darahku. Relung hatiku terasa hampa. Pengakuannya membuatku benar-benar terpukul. Mengapa aku seperti hendak merasa kehilangan? Padahal ia hanyalah seorang wanita yang selintas lewat dalam riuh kehidupanku. Tapi walau bagaimanapun, aku harus jujur bahwa ia sempat membuatku merona. Sempat pula membuat semangatku membara, hari-hariku berwarna. Namun kini, saat kebahagiaanku atas keberadaannya mulai jelas kueja, tiba-tiba saja ia mengatakan salam perpisahan! Ah, mengapa dunia ini lebih senang mempermainkan asa?

Selama dua minggu setelah pembicaraan itu, kami tak lagi membicarakan hal-hal yang begitu berat selain sekedar bergurau atau saling sapa. Sementara itu, kulihat makin hari ia semakin pucat. Tapi ia selalu menyembunyikan kelemahannya meski aku mulai sedemikian mengkhawatirkannya. Sejak saat itu, tiap-tiap kembang yang diletakkan di atas pusara suaminya selalu kuambil diam-diam ketika ia pulang. Kuraih batang-batang layu itu dalam genggaman dengan harapan sebagai pelipur kerinduan.

Tiga hari kemudian ia tak lagi menampakkan diri. Perasaanku mulai cemas, emosiku seperti diremas-remas. Ketidakhadirannya membuatku gelisah. Kecemasanku menuntut penjelasan. Namun tak ada yang lebih kuangankan selain sebuah penjelasan yang menenangkan hatiku.

Namun apa yang kutemui tidaklah seperti yang kuharapkan. Sebuah jawaban kudapatkan ketika iring-iringan kematian memasuki pemakaman. Orang-orang menggali pusara di tempat yang sering kami singgahi. Sore itu, kulihat sebuah nisan bertuliskan “Kemala”.

Seperti yang sudah kukatakan, dunia ini senang sekali mempermainkan asa. Sedangkan aku hanyalah sosok manusia yang sekedar pasrah menatap senja yang tertawa
.***

 

 

April 2012

Sebuah Perjalanan, Sebuah Kenangan

Aku berharap engkau sekalian, para pembaca budiman, tak pernah menginjakkan kaki atau mengenal kota Yogyakarta. Biar aku saja yang pernah kesana, menikmatinya, memilikinya seorang diri. Biarlah kota bernuansa Jawa kental itu menjadi milikku seorang — karena hanya kota itulah yang memberiku sebuah kenangan indah yang bahkan hingga detik ini tak sanggup kulupa. Silakan kau katakan aku egois. Aku memang egois di saat-saat tertentu. Terutama di saat mempertahankan kenanganku. Apalagi penghiburan manusia yang paling setia jika bukan kenangan? Saat jaman semakin meninggalkan kita, hanya kenangan yang masih bertahan dalam genggaman.

Dan kurasa saat ini adalah saat istimewa, karena tiba-tiba aku ingin bermurah hati membagi kenangan indahku tentang Yogyakarta. Tapi aku tak hendak menceritakan tentang keindahan kota yang seluas 32,5 Km²  itu kepadamu, tak juga tentang nikmatnya nasi gudeg yang menggugah selera, atau asyiknya bergaul di angkringan nan teduh dan sederhana. Jangan pula kau tanyakan tentang macam rasa bakpia pathok atau cara efektif menawar harga di pasar Beringharjo. Bukan itu yang membuatku jatuh terkesan, meski apa yang kusebut barusan adalah bagian dari keindahan. Aku hanya akan menceritakan apa yang telah kulakukan disana.

Baiklah. Ceritanya begini. Aku mengenalnya melalui dunia maya. Sebut saja namanya Renata, seorang gadis yang katanya sedang bahagia (kurasa makna bahagia disini adalah menurut versinya sendiri) di sebuah kota di tengah daratan pulau Jawa, Yogyakarta. Ia sendiri sesungguhnya bukanlah asli Yogyakarta, melainkan hanya pendatang, yang sedang bergulat dengan impian dan masa depan. Meski berasal dari ibukota, namun katanya ia begitu mencintai kota gudeg itu.

Singkat cerita, sepertinya boleh dikata aku naksir Renata, gadis yang darah mudanya sedang menggelegak. Kurasa darahku sendiri pun juga menggelegak saat aku memikirkannya, memimpikan dia. Kukatakan memimpikan dia karena aku masih belum pernah bertemu, bersitatap pandang dengannya. Kami hanya saling berbagi emosi, kisah dan pemikiran melalui tulis menulis kata yang saling sahut menyahut dalam dunia maya. Masih sebatas itu. Tapi sumpah! Aku sudah naksir berat.

Pasalnya, dia adalah seorang seniman. Ia perangkai kata-kata yang hebat, lihai dalam bersyair. Bahkan setiap edisi buku-bukunya di toko buku pun telah kuborong, kubaca habis, dan kuhapal sebagian. Aku kagum dengan profesinya, dengan pencapaiannya. Kau harus tahu bahwa setitik kekaguman dapat pula menjadi pemicu pertama ke arah rasa cinta yang fanatik. Selain itu, aku pun kagum dengan warna jiwanya. Pemberontakan dan emosinya yang kerap mengombak hingga menggulungku dalam benaman lautan cinta dan imajinasinya. Aku menyukai pemikiran-pemikirannya, gagasan-gagasannya, obsesinya, bahkan hingga kemarahan dan kegenitannya. Aku hanya menjumpainya melalui kata-kata, tapi ia telah sanggup menjelmakan dirinya sebagai dewi cinta dalam mimpi-mimpi kelamku yang terengah-engah.

Demikianlah aku mengenal Renata. Enam bulan lamanya ia telah membiusku melalui kata-kata, yang kemudian meningkat dengan suara melalui jaringan telepon. Saat kami beradu cakap, ia pun tak sungkan mengatakan cinta. Tentu saja cinta kepadaku. Katanya, aku telah menarik hatinya. Kemudian kukatakan bahwa aku tak sanggup lagi bertahan lebih lama. Aku ingin segera menjumpainya. Secantik dan seburuk apapun ia, kukatakan bahwa aku tak lagi peduli. Aku telah terlanjur suka padanya. Katanya, ia pun menginginkan hal serupa, tak sabar untuk segera berjumpa.

Suatu hari, kubulatkan tekad untuk pergi ke Yogyakarta tanpa memberitahunya. Kupikir aku ingin memberi kejutan yang manis untuknya. Untuk Renata-ku, jika aku boleh mengakuinya. Kutempuh nyaris 16 jam perjalanan untuk sampai ke kota ningrat itu. Melelahkan, tapi inilah perjuangan. Kusebut perjuangan karena sebelumnya aku sama sekali tak pernah menginjak Yogyakarta. Tak ada saudara, tak pula ada teman. Hanya Renata yang kukenal, yang kupunya, yang kuharapkan. Hanya dia seorang. Aku tak lagi sudi memikirkan bagaimana nantinya setelah aku berada di sana. Bagiku, yang terpenting adalah, Renata ada di hadapan.

Sampai stasiun Tugu, kutelpon Renata. Seperti dugaanku, ia amat kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Dari nada suaranya, ia tampak bimbang dan menimbang-nimbang. Kemudian ia katakan bahwa saat itu ia sedang sibuk mempersiapkan sebuah pentas seni bersama kawan-kawannya sehingga tak punya kesempatan untuk menjemputku. Tapi kemudian ia menyarankanku untuk menemuinya di Museum Benteng Vredeburg, yang terletak tak jauh dari alun-alun kota. Pukul enam sore, pentas seni yang juga menampilkan Renata akan digelar disana. Katanya, aku bisa menumpang becak, supaya sekalian berjalan-jalan menikmati atmosfer khas kota Yogyakarta.

Pak tua pengayuh becak yang kutumpangi tak tampak payah, padahal sudah dua puluh menit kami menyusuri jalanan lebar yang makin sore makin memadat. Malioboro sudah tampak hiruk pikuk. Ratusan pedagang kaki lima di sepanjang emperan toko saling bersaing bermanis-manis muka demi melariskan aneka macam dagangan; mulai dari cincin unik, pahatan menarik, hingga koleksi-koleksi tua berkelas. Kabarnya, Malioboro adalah tempat yang tepat untuk menghabiskan uang-uang kecil, tapi juga berpotensi mengeruk uang besar.

Delman- delman berhias lalu lalang berseliweran mengantarkan penumpang-penumpang bertopi lebar bermata sipit yang asyik menjeprat-jepretkan kamera sakunya ke banyak arah, banyak objek, baik yang menarik maupun yang tak menarik. Beberapa dari mereka sedang bercanda-canda dengan gurauan kering. Tiba-tiba salah satu dari mereka tak sengaja menyenggol wanita yang sedang sibuk memotret-motret. Tak terhindarkan, kamera saku yang sedang dioperasikan itu jatuh, terlempar ke jalanan. Sontak wanita pemilik kamera itu menjerit histeris, terdengar melejit.

Tanggap dengan keributan, kusir delman itu terpaksa menghentikan delmannya. Wanita itu, dan beberapa kawannya yang lain segera menghambur turun, menjemput kamera sakunya yang teronggok sia-sia di tengah jalan. Sesaat wanita-wanita berkulit putih dengan rok-rok mini yang mempertontonkan tungkai betis yang indah itu menjadi pusat perhatian. Beberapa pemuda jalanan menghampirinya, begitu juga para tukang ojek dan tukang becak yang kebetulan mangkal di sekitar. Sementara itu, bibir wanita pemilik kamerah yang jatuh itu menceracau entah, karena tak ada yang mengerti bahasanya selain kawan-kawan dan pemandunya. Jemarinya mendekap erat kamera yang telah mengalami retak. Barangkali ia sedang kesal, tapi tak juga sanggup marah. Di hatinya, senja kala itu tak lagi indah.Kenangannya telah punah.

Suasana museum Benteng Vredenburg cukup ramai. Sepertinya memang ada perayaan disana. Beberapa stan kecil yang menjual ataupun memberi berderet di beberapa sisi. Gadis-gadis belia dengan rona wajah segar bergaul akrab dengan pemuda-pemuda tanggung yang tak lagi canggung. Tapi yang kutuju hanyalah keramaian panggung yang terletak di ujung. Degup jantungku berdebar-debar. Aku merasa tak lagi sabar. Dimanakah Renata berada? Seperti apa dia? Apa yang harus pertama kali kuucap padanya?

Beberapa pertunjukan musik unik dan puisi telah tampil silih berganti. Ah, Yogyakarta memang gudangnya seniman! Tapi dimanakah Renata? Mengapa tak kunjung tampil? Atau… apakah aku telah terlewat, tak menyadari kehadirannya, tak mengenali penampilannya?

Tiba-tiba pengeras suara menggaung-gaungkan nama Renata. Sampai-sampai aku nyaris terlonjak kaget. Otot-ototku tegang. Detak jantungku berdegup semakin cepat. Telapak tanganku terasa dingin meski hawa panas sedang menyengat. Berdesak-desakan dengan penonton yang membludak, mataku berusaha keras menggapai panggung.

Seorang gadis semampai dengan rambut ikal terurai tampil penuh percaya diri. Ia hanya mengenakan jeans dan kemeja putih yang sedikit kedodoran. Penampilannya sederhana, tapi auranya memikat, membuat mata-mata yang melihat menjadi tercekat. Kalau boleh kubilang, parasnya manis dan pembawaannya yang dinamis membuatku semakin terpesona tak habis-habis. Ia mempertunjukkan keahliannya, memantul-mantulkan sajak-sajak dengan gaya beringas sekaligus elegan.

Pertunjukan Renata adalah yang terakhir. Tepuk tangan bergema riuh. Kemudian pentas pun bubar. Para penonton berhamburan mencari kesibukan lain. Sementara itu, aku segera menghampiri Renata, yang tampak sedang bersuka ria menebar tawa dengan beberapa; entah kawan entah fans.

Kucolek pundaknya dari belakang. “Hai Renata!” Sapaku agak gugup. Ia menoleh padaku. Dengan cepat kuingatkan ia tentang jati diriku. Tak lama, senyum lebar mengembang dari bibirnya. Kulihat sorot mata yang bersinar cerah saat ia menatapku. Sepertinya ia sedang girang, aku pun  tak kalah senang. Kedua tangannya terkembang, dan tiba-tiba saja kami terlarut dalam sebuah pelukan dalam batas keakraban.

Kami berjalan-jalan menikmati malam. Melewati alun-alun, mencicipi angkringan, bercakap-cakap ringan di bawah pendar lampu jalanan. Ah, rupanya ia masihlah Renataku yang ada di dunia maya, yang memikat, yang hangat, yang kini telah menjelma menjadi nyata atas kebaikan semesta.

“Kau menginap dimana?” tanyanya.

“Entah…”

“Kalau begitu ayo kita ke Sosrowijayan saja,” ajaknya sembari menggandeng tanganku. Kugenggam erat jemari mungil yang sempat mendegupkan jantungku lebih keras. Erat, seperti malam yang sedang rekat membungkus Yogyakarta.

Aku tak paham arah tujuan yang dimaksud Renata. Tapi aku mengikutinya dengan perasaan aman, dengan hati yang nyaman. Bolehkah jika kukatakan bahwa aku benar-benar kepincut dengannya, sang gadis seniman ?

Sosrowijayan adalah sebuah jalan yang cukup ramai, pun terdapat banyak gang-gang yang sepertinya juga menyajikan keramaian yang tak kalah. Renata berbelok ke arah salah satu gang kecil, sementara aku hanya mengekornya. Terdapat berderet-deret kafe, motel dan losmen kecil di kiri kanan. Konon, ini adalah kawasan para backpacker yang menyenangkan. Banyak bule yang asyik bercengkrama di bawah temaram lampu cafe, menenggak beberapa botol bir sembari mengumbar tawa dan candaan kotor. Sebagian menonton bola di layar-layar televisi yang terpajang, sebagian berasyik-masyuk di beberapa sudut. Langkah Renata terhenti di sebuah losmen bertembok hijau yang sangat sederhana. Hanya terdapat dua buah kursi kayu bermodel lawas di beranda kecilnya. Sejenak Renata bercakap-cakap dengan pegawai resepsionis, kemudian berpaling padaku untuk meminta tanda identitasku. Aku sigap menurutinya.

Kami memasuki sebuah kamar yang tak besar. Sepi memerangkap kami, bersekutu dengan tembok-tembok kosong yang terlihat kaku. Sesekali terdengar sayup gelak tawa yang meledak, entah tawa milik siapa. Sejenak aku merasa kikuk. Terjebak dalam ruang kamar berpenerangan temaram bersama seorang gadis yang selama ini kuimpikan membuatku sangat gugup. Ranjang sempit dengan sprai berwarna muram hanya teronggok diam, tak juga menyelamatkanku dari ketegangan yang sedang meradang. Renata lah yang justru menyelamatkanku. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur, mengatur posisinya senyaman mungkin, seolah aku adalah sahabat wanitanya di masa kecil.

“Hei, apa kau mau berdiri semalaman disitu? Aku sudah sangat lelah dengan gempuran aktivitas seharian. Jika kau pun ingin istirahat, kemarilah. Aku tak menggigitmu, tahu! Paling-paling hanya membuatmu senang belaka, hahaha!”

Sebenarnya aku tak begitu kaget dengan kata-kata setengah binal yang terlontar dari mulut Renata. Hal-hal demikian pun kerap menjadi warna dalam percakapan kami di dunia maya. Hei! Jangan kau katakan aku ini mesum, ya! Jika aku boleh mengutip ucapan Renata, mesum adalah istilah yang subyektif. Tergantung kedekatan dan tujuan. Sedangkan dalam kasusku, maksudku kasus kami, aku dan Renata telah sampai pada kedekatan tertentu sehingga hal-hal macam ini bukan lagi persoalan inti. Kalaupun kami saling menyukai dan mengagumi, maka yang kami sukai adalah keseluruhan dari diri kami. Kedalamannya. Aku, atau Renata, lebih menyukai danau daripada sekedar lumpur atau alga-alga liar yang bertumbuhan di sekitarnya. Kira-kira begitulah perumpamaannya.

“Bebaskan dirimu, karena aku tak mengekangmu. Perlukah kutegaskan lagi bahwa aku menyukaimu? Kau mungkin jarang bertemu dengan wanita macam aku, yang barangkali kau anggap rusak. Tapi janganlah kau mencelaku, karena aku adalah bagian dari pengalamanmu, perjalananmu. Aku takkan munafik dengan kejatidirianku. Seperti inilah aku. Hei, bukankah kita sudah saling mengenal lebih jauh sebelum ini?”

Mendengar kata-kata Renata, aku masih juga mematung. Masih bingung harus berbuat dan bersikap bagaimana.

“Atau… Apakah kau hendak meninggalkanku? Jika kau memang merasa tak lagi nyaman denganku, aku tak melarangmu pergi, tak juga membencimu. Pertemuan dan perpisahan sudah menjadi hal biasa bagiku. Termasuk kebebasan dan kekangan. Kita hanya perlu menjulurkan lidah untuk merasakan segala rasa yang sedang disajikan hidup. Pergilah jika kau ingin pergi.”

Usai mencecap lamat-lamat kata-kata Renata dalam kalbuku, kuputuskan untuk mendekatinya. Kuberanikan diri untuk menjulurkan pelukan hangat pada tubuhnya. Malam itu, di sebuah losmen kecil di salah satu gang di jalan Sosrowijayan di kota Yogyakarta, kami berbagi kisah, berujar cerita, saling menelusuri pengalaman dan perjalanan hidup masing-masing. Sesekali tawa kecil, sesekali senyuman, sesekali rayuan, tak ketinggalan dengan jeda diam. Kami tak lagi segan berbagi kenyamanan batin. Hingga malam berjinjit menggapai pagi, baru kami jatuh tertidur, merangkak ke dalam mimpi masing-masing.

***

Entah saat itu jam berapa, tapi Renata bangun dengan tergesa-gesa. Ia panik saat melihat kuatnya sinar mentari yang menerobos celah-celah gorden jendela kamar. Tak pelak aku pun terbangun dengan kepanikan yang tak kalah. Kulihat raut wajahnya muram, rambutnya terjurai kusut. Ia memandangiku dengan rasa kesal yang tak kumengerti. Renata cepat-cepat beranjak dari tempat tidur dan merapikan diri sekenanya.

“Apa yang sudah kita lakukan? Gara-gara kau, aku jadi terlambat pentas. Pagi ini aku ada jadwal manggung yang amat penting! Bisa tamat riwayatku jika aku mangkir. Bisa-bisanya aku menghabiskan waktu bersamamu! Ah, kau benar-benar mengacaukanku!” Semburan kata-kata dari bibir mungilnya terdengar pedas dan ketus. Berulang kali pula ia merutuki diri, pun memaki-maki aku. Bahkan tak segan ia mengataiku bajingan lebih dari satu kali. Sungguh, aku sangat terperanjat, terkesiap dengan perubahan sikapnya. Aku seperti sedang berhadapan dengan sosok baru yang kurasa sama sekali bukan Renata yang kukenal tadi malam. Atau… apakah tadi malam Renata sedang kesurupan, sedangkan yang kuhadapi saat ini adalah wujud aslinya? Kemungkinan yang lain, barangkali Renata ini semacam gadis yang memiliki kepribadian ganda.. Mendengar kata-katanya yang menyakitkan sekaligus mencabik-cabik harga diriku, kejengkelanku sudah di ubun-ubun. Aku merasa terintimidasi.

“Kenapa kau marah-marah begitu padaku? Bukan mauku saja hingga kita terdampar disini. Justru kau yang menyeretku kemari. Sekarang kau persalahkan aku begitu rupa. Kau ini setengah gila atau sudah sinting, sih?” Amarahku muntab. Sebagai laki-laki, tentu saja aku tak terima diperlakukan semena-mena, apalagi oleh seorang perempuan. Tapi Renata tak menggubrisku. Ia justru cepat-cepat beranjak meninggalkanku, pergi begitu saja keluar kamar, meninggalkan losmen. Aku semakin panik. Cepat-cepat kususul ia demi menyamai langkahnya.

Kurang lebih sejauh seratus meter kami berjalan bersisian dalam diam. Sebenarnya aku tak tahan dengan sikap anehnya. Tapi aku juga telah kehilangan akal untuk mengatasinya. Ia seperti kuda liar yang tangguh, sedangkan aku ibarat penunggang amatiran yang sedang menggenggam pelana mainan. Untunglah tiba-tiba Renata membelokkan langkahnya ke sebuah minimarket.

“Tunggu disini. Aku mau beli minuman dulu.” Katanya datar. Kutunggu ia dengan sabar.

Ia keluar dari minimarket sambil meneguk minuman dalam botol. Ia pun memberiku sebotol yang serupa dengannya. Setelah puas melepas dahaga, Renata justru menuju ke sebuah portal tak jauh dari minimarket. Aku membuntutinya dengan perasaan campur aduk. Renata duduk dan terdiam sesaat, sementara aku, dengan berhati-hati, duduk pula di sampingnya.

“Pulanglah! Kupikir cukuplah sampai disini pertemuan kita. Terima kasih telah mengunjungiku. Maaf jika tadi aku marah-marah padamu. Kadang-kadang aku memang suka seperti itu. Tapi sungguh, aku tak bermaksud menyakiti hatimu. Janganlah kau marah padaku, ya. Kita ini teman, bukan?” Katanya sambil tersenyum. Sejenak hatiku luluh. Kemudian ia terdiam sesaat. Jeda panjang membentangkan kesunyian yang hambar, sebelum ia kembali melanjutkan ucapannya. “Tapi aku harus memberitahumu bahwa aku telah memiliki seorang kekasih dimana hatiku telah bermuara. Aku takkan memberimu harapan kosong karena engkau telah kuanggap sebagai sahabat baikku. Meski baru kali ini kita bertemu, tapi hati kita telah saling bersua dan saling cocok sejak lama. Jadi aku berharap kamu tak menyesal bertemu denganku. Tapi aku pun harus jujur padamu.”

Siang itu, kutinggalkan Yogyakarta dengan segenap asa yang telah luluh lantak. Apa? Kau tanya tentang perasaanku? Menurutmu kira-kira bagaimana? Ya, ini memang sebuah kisah konyol yang menggelikan.

Tapi setidaknya pertemuan itu memberiku pengetahuan bahwa Renata adalah jenis perempuan yang sepertinya takkan dapat hidup bersamaku. Tepatnya, barangkali aku yang tak dapat hidup dengannya. Jika dipikir secara akal sehat, sikap dan temperamennya membuatku seperti  tersengat listrik. Aku bisa mati berkali-kali menghadapinya. Di samping itu, ia pun ternyata telah memiliki tiang kokoh tempat menambatkan hati dan cintanya. Adalah sebuah kenyataan pahit bahwa aku hanyalah secuil fragmen hidup baginya, padahal aku telah terlanjur jatuh cinta setengah mati padanya, meski aku hanyalah seorang lelaki biasa yang sederhana sekaligus naif. Kau pikir, apa yang harus kurasakan saat menghadapi situasi yang pelik seperti itu? Apalagi ketika mendengar Renata mengusirku, meski secara halus dan penuh kasih sayang. Sayangnya, meski lelaki, hatiku tak melulu kokoh setiap saat. Dengan agak malu, kukatakan sejujurnya padamu bahwa aku merasa patah hati. Jika mataku tak menitikkan air mata, hatiku lah yang mengucurkannya.

Barangkali ini terdengar seperti pengalaman yang tidak begitu bagus di matamu. Tapi janganlah kau mengasihani diriku, ya. Aku sendiri tetap menganggap ini adalah sebuah kenangan indah, segetir dan serenyah apapun yang kurasakan saat itu. Bagiku, apapun yang membekas lekat dalam memori adalah kenangan indah. Perjalananku ke Yogyakarta dan pertemuanku dengan Renata adalah sebuah kenangan indah.

Jadi, jika kau tanyakan padaku tentang perjalanan yang menorehkan kesan mendalam yang pernah kulalui, tetap aku akan mengatakan bahwa perjalanan menuju dan pulang dari Yogyakarta lah yang takkan pernah hilang dari ingatan. Aku masih mengingat setiap detil kejadian dan suasana yang kulalui disana, seolah-olah baru kurasakan kemarin siang. Selain telah memberiku kenangan indah, pun memberiku sebuah kesempatan untuk mencecap rasa dan makna yang berbeda dalam menyusuri perjalanan hidupku.

Renata hanya semacam persinggahan yang menyediakan kursi yang nyaman meski atapnya bocor disana-sini. Jika kau tanya tentang kabarnya saat ini, ia tak lagi dapat kutemui, tak ketahuan pula kemana rimbanya. Tapi aku tak pernah menyesal bertemu dia. Tak pula menyesal dengan perjalanan yang barangkali menurutmu sia-sia. ***

   Maret, 2012

 Gambar diunduh disini :

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/8f/Jalan_Malioboro_001.JPG

http://dijogja.files.wordpress.com/2009/08/dsc_15082.jpg

http://sacafirmansyah.files.wordpress.com/2010/09/11-benteng-vredeburg.jpg

Tulisan ini juga diposting di http://ceritatentangkamu.posterous.com/hari-ketiga — sebuah program permainan menarik yang digagas @dbrahmantyo.

Tentang sebuah kebun durian, tentang sebongkah harapan…

Kamu, seharusnya memang membaca ini.

Karena saat aku menuliskan ini, benakku sedang benar-benar dipenuhi kamu.

Kamu seperti air yang meluber dalam sebuah gelas. Aku bahkan khawatir bahwa diriku sendiri akan pecah dan meledak karena memikirkan dan mengingat kamu sedemikian penuh. Bahkan terlampau penuh. Ingatan tentangmu, kerinduan kepadamu, hingga berceceran di sekitarku.

Pasalnya, aku sedang bahagia. Ah, barangkali ungkapan itu terlalu berlebihan. Tepatnya, mungkin aku sedang banyak senang. Tiap kali aku merasa senang, atau gembira, atau bahagia, aku selalu mengingat kamu. Dan mengingat Tuhan, tentu saja. Tapi tiap kali aku bersedih, aku muram, aku kecewa, aku gagal, aku berusaha keras untuk melupakan kamu – sehingga yang tersisa, aku hanya mengingat Tuhan. Cukup Tuhan saja.

Bukannya aku sok religius. Tapi ketika kesedihan melandaku dan aku mengingat Tuhan sekaligus kamu, maka aku justru ingin bunuh diri. Sayangnya, aku tak benar-benar punya nyali untuk bunuh diri. Jadi, terpaksa aku memilih berusaha keras untuk melupakan kamu. Ya. Melupakan kamu hanya pada saat sedih dan muram sedang datang kepadaku.

Begitulah kecenderungan manusia, selalu mencari-cari alibi supaya tameng yang menutupi kelemahan dan kegagalannya terlihat sebagai suatu kebaikan dan hal positif semata. Kurasa, kebenaran versinya cukup kita saja yang tahu. Eh, maksudku, aku saja yang tahu. Kamu takkan berminat untuk terlibat.

Namun ketika aku sedang senang, girang bukan kepalang, bahagia tak terhingga, ingin rasanya aku menyeret-nyeret kamu untuk turut serta menyelam dalam kebahagiaanku. Dari dulu aku selalu tergila-gila pada tawamu, pada senyummu. Kita dulu seringkali tertawa dan tersenyum bersama-sama. Jadi aku menyimpulkan, bahwa apapun yang dapat membuatku tertawa dan tersenyum, barangkali juga dapat membuatmu tertawa dan tersenyum. Tapi sebenarnya aku tak lagi benar-benar yakin apakah selera kita masih sama, karena kita sudah terlalu lama tak lagi tertawa dan tersenyum bersama-sama.

Baiklah, kuceritakan saja padamu. Ini tentang kebunku. Dulu, dulu sekali, aku menebar biji-biji durian di sehamparan tanah yang masih kosong. Kutebarkan pula sekarung harapan tentang pohon-pohonnya yang rindang, buah-buahnya yang manis, keuntungan-keuntungan yang kudapat. Lima bulan pertama kurawat benih-benih durian dalam tanah itu dengan sepenuh hati. Aku lupa kalau pohon durian itu bertumbuh lama. Kelupaan inilah yang membuatku goyah, yang membuatku menelan kecewa, yang membuatku menatap sesal, karena durian itu tak kunjung besar, tak kunjung berbuah. Padahal aku sudah sepenuh hati merawatnya, mencintainya, mengharapkannya.

Aku nyaris telah melupakannya, mencoba untuk meninggalkannya selama bertahun-tahun, hingga suatu ketika, tepatnya di sebuah pagi yang indah saat secara magis kakiku menyeretku untuk melangkah ke arah kebun tersebut, kulihat ternyata begitu banyak durian yang bergelantungan pada dahan-dahan yang rindang. Pohonnya telah menjulang, dedaunannya telah melebat.

Mustahil sekali jika aku tak melompat-lompat kegirangan. Bayangkan! Aku telah nyaris melupakan kebun dan benih-benih pohon durian itu. Tahu-tahu mereka telah siap panen. Bagiku, ini sungguh-sungguh tak bisa kupercaya. Dulu aku bahkan sempat mempercayai bahwa biji-biji durian yang kutanam sepertinya tak akan tumbuh, tak akan pernah berbuah. Kupikir aku salah langkah, kupikir aku melakukan hal yang sia-sia.

Ah, Sayangku… Kau pikir apa yang melebihi kebahagiaan seperti ini?

Aku selalu mengingatmu saat aku sedang senang, saat aku sedang kegirangan, saat aku sedang bahagia karena mendapat kejutan. Ingin rasanya kuundang engkau untuk memanen durian-durian itu, untuk menjualnya bersama-sama, atau sekedar memakannya sambil tertawa-tawa. Tapi sayang, sepertinya yang bisa kulakukan hanyalah sekedar memberimu kabar seperti ini – bahwa aku sedang bahagia, bahwa aku sedang senang, dan aku selalu mengingatmu. Pun aku mengingat Tuhan.

Kamu sedang sibuk sekarang. Jadi aku hanya sekedar dapat mengenang-ngenang kebersamaan. Dulu kita senang bicara tentang kehidupan, juga tentang harapan. Tapi aku dan kamu punya perbedaan. Kau bilang bahwa tanganmu tak sanggup menggenggam erat impian, tak tahan untuk merawat harapan. Sedangkan aku, meski berjemari ringkih, namun malah terlalu erat menggenggam impian, meyakini harapan.

Kini, ingin sekali kukatakan padamu, bahwa ternyata aku tak pernah sia-sia. Ingin sekali kuyakinkan kamu, untuk terus gigih merawat impian dengan sebongkah harapan. Suatu saat nanti, pada waktu yang tidak kau sangka-sangka, kebahagiaan itu pasti akan berada dalam genggaman. Seperti halnya kebun dan pohon durian yang dulu pernah kuimpikan.

Rahasia

Menjelang Maghrib adalah waktu untuk bersembunyi, mengunci diri dalam kamar dan menyepi. Jangan sampai ketahuan emak berkeliaran mondar-mandir di ruang keluarga atau halaman rumah. Kalau tidak, beliau pasti akan berteriak lantang mengeluarkan segenap ancaman yang memekakkan telinga. “Rosyidi, cepat ambil air wudhu dan sembahyang! Kalau kau tak mau sembahyang, kugebuk pakai sapu lidi biar tahu rasa! Dasar anak tidak beragama! Pantas saja kau tak pernah sukses, karena kau tak pernah ingat dengan Tuhanmu!” Biasanya aku buru-buru masuk ke dalam kamarku dan mengunci diri, pura-pura tuli.

Karena ulahku yang kata emak dianggap mursal itu, aku benar-benar merasa seperti masuk neraka betulan. Yang kumaksud disini adalah imbas dari mendengarkan omelan emak yang mengesalkan itu. Siapa bilang aku tidak sakit hati? Tentu saja aku sakit hati setengah mati. Emak telah memfitnahku, mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang diriku. Oleh karena itu, dapatlah kukatakan bahwa mendengar omelan emak saja sudah membuatku merasa seperti masuk dalam neraka.

Padahal aku tidaklah seperti apa yang emakku katakan. Aku tidak pernah benar-benar melupakan Tuhan jika yang dimaksud adalah rajin sembahyang. Bahkan kalau boleh kubuka sebuah rahasia, bisa jadi aku bahkan jauh lebih rajin sembahyang ketimbang emakku sendiri yang sekedar sembahyang lima kali dalam sehari.

Kalau sampai emakku mengomel seperti kebakaran jenggot, itu lebih disebabkan karena aku tak pernah menggunakan musholla keluarga setiap kali sembahyang. Tidak seperti bapak, emak, maupun kakak dan adikku yang patuh pada aturan. Mereka semua terbiasa  sembahyang di musholla keluarga. Tapi aku lebih memilih melakukan sembahyang di dalam kamarku yang terkunci rapat dan tak diketahui siapapun.

Anehnya, semakin aku ditekan dan dibujuk-bujuk untuk melakukan sembahyang, semakin aku merasa enggan untuk bersembahyang. Entah kenapa bisa begitu… Kalau adik, kakak, atau emakku tiba-tiba mengetuk pintu saat aku sedang sembahyang, maka konsentrasiku langsung terganggu, bahkan nyaris buyar. Aku jadi terburu-buru demi menyahuti mereka, supaya tak ada kecurigaan. Aku tak mau mereka sampai tahu bahwa aku sedang sembahyang.

Saat bangun tengah malam, aku harus mengendap-endap menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan menyalakan keran sekecil mungkin supaya tak membangunkan seisi rumah. Aku tak mau kepergok sedang bersiap melakukan sembahyang malam. Kalau kebetulan kakakku sedang asyik menonton televisi hingga dini hari, maka alamat aku absen sembahyang malam.

Begitu pula ketika sedang membaca Al-quran. Selain mengunci pintu kamar, kunyalakan lagu dari tape keras-keras supaya suaraku tersamar saat mengaji, sehingga tak terdengar dari luar. Tak pernah ada yang mengetahui bahwa sejatinya aku selalu mengaji tiap sore. Namun emak getol sekali memperolok dan menghujatku. Katanya, percumalah ia susah payah mengkursuskanku mengaji kalau aku tak pernah menyentuh Alquran.

Namun sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Suatu kali emak berhasil mengacaukan semuanya. Ini bermula dari peristiwa jatuh sakitnya beliau yang tiba-tiba. Emak sudah dibawa ke dokter maupun tabib alternatif manapun, tapi tak sembuh juga. Makin hari keadaannya justru makin memprihatinkan. Ironisnya, emak justru menyatakan sendiri bahwa sebentar lagi ia akan mati, meninggalkan kami. Bahkan ia sudah bersiap-siap dengan aneka wasiat dan pesan-pesan.

Yang membuatku lebih kesal, di sela kondisinya yang makin memprihatinkan tersebut, emak masih sempat-sempatnya menerorku dengan seruan-seruannya yang makin memojokkan. “Kalau kau tak pernah sembahyang, maka aku pasti akan masuk neraka. Tuhan akan meminta pertanggungjawabanku karena ternyata aku tak bisa mendidik anakku sendiri.” Begitu katanya.

“Sudahlah, Mak… engkau tak akan masuk neraka. Percayalah padaku.” Aku mencoba untuk meyakinkannya, meski aku tak yakin bahwa emak akan percaya padaku.

“Dosamu itu sudah bertumpuk-tumpuk, dan kini aku pun harus ikut menanggungnya. Oh, Rosyidi… tega benar kamu pada Mak-mu ini…” katanya gegetun, kemudian mulai tersedu-sedu.

Tiap melihatku, emak pasti akan memulai ceramah, ancaman, permohonan dan rengekannya. Makin lama aku makin tak tahan. Sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku pun melakukan sembahyang, tapi ia enggan percaya. Bahkan semakin mendesakku untuk mengerjakan sembahyang di depannya, jikalau memang benar aku sudah rajin sembahyang seperti yang lainnya. Katanya supaya matinya tenang, tak menanggung beban dan dosa akibat memiliki anak seorang aku. Lama-lama aku jadi tak menghiraukannya. Rasanya gengsiku jauh lebih besar ketimbang sekedar memenuhi permintaan emak, meski itu permintaan terakhir sekalipun.

Suatu kali, seluruh keluargaku harus mengunjungi sanak saudara di kota sebelah yang baru saja melahirkan. Karena aku tak ikut serta, maka aku kebagian tugas menjaga emak di rumah. Emak yang kini hanya dapat terbaring di ranjang hanya sekedar membunyikan lonceng ketika ia membutuhkan sesuatu atau memanggilku.

Namun kutunggu seharian tak juga kedengaran bunyi lonceng dari emak. Mungkin karena semua kebutuhan emak sudah kupenuhi, sehingga emak nyaris tak lagi membutuhkan lonceng. Aku mengantarkan sarapan dan makan siang ke kamarnya pada waktu yang benar-benar tepat. Pun dengan segelas air putih, teh panas, pisang ambon, maupun obat-obatan yang harus diminumnya. Tak dinyana, tiba-tiba lonceng itu berbunyi tepat ketika aku sedang mengerjakan sembahyang Ashar. Dering lonceng makin lama makin nyaring dan tak henti-henti. Kudengar suara parau emak yang memanggil-manggil. Aku cemas. Aku sudah membayangkan sesuatu yang buruk telah terjadi pada emak. Jangan-jangan ia sudah mendekati sakratul maut. Sontak aku langsung membuka pintu kamarku, meninggalkan rakaat keduaku yang belum tuntas, dan langsung menghambur menuju kamar emak.

“Ada apa, Mak ?” tanyaku dengan penuh kekhawatiran ketika sampai di hadapannya. Emak masih berbaring tenang di dipannya. Tangannya memegang lonceng, nyaris hendak dibunyikannya kembali namun urung demi melihatku. Kulihat emak mengawasiku cukup lama, menatap tak jemu-jemu, seolah terpana karena melihat sesuatu yang mengagumkan.

“Kenapa, mak? Mak butuh sesuatu?” tanyaku lagi, gusar dengan keheningannya.

“Rosyidi… Apa kamu baru saja sembahyang?”

Mendengar pertanyaan emak, aku langsung tersadar bahwa ternyata aku masih mengenakan sarung dan kopiah. Ah… Aku kepergok. Seketika mukaku merah padam. Betapa malunya aku. Cuping telingaku panas, tingkahku pun menjadi kikuk dan mulai merasa jengah. Aku tak menjawab pertanyaan emak, tapi beliau tersenyum-senyum, dan raut mukanya tampak cerah berbinar.

Dua hari kemudian, emak langsung sembuh. Dengan entengnya ia mengatakan bahwa malaikat maut telah menunda kematiannya.  Kini ia bahkan jauh lebih segar bugar ketimbang sebelumnya. Satu perubahan yang cukup drastis, emak tak lagi pernah menyeru-nyeruku tiap kali datang waktu sembahyang. Tentu saja aku senang. Meski sebenarnya, lama-lama aku pun merindu kecerewetan emak saat menyeruku untuk sembahyang…

 Oktober 2010

Hilangnya Angela Marcupisu

Gara-gara Angela Marcupisu tak kunjung ditemukan, Dien sakit tak sembuh-sembuh. Sudah hari ketiga, suhu badannya tak juga menurun. Paracetamol sudah tak lagi mempan. Bocah mungil itu setiap malam mengingau dalam tidur, memanggil-manggil Angela. Makin hari keadaannya pun makin parah, selalu rewel, susah makan dan minum susu.

Tak ada pilihan lain, aku harus ijin libur. Padahal pekerjaan di kantor sedang menumpuk. Tak tega rasanya meninggalkan bocah kecil pujaan hatiku sendirian di rumah bersama mbok Minah. Apalagi Mbok Minah adalah pembantu yang baru menginjak dua bulan kerja, sehingga masih belum  terlalu akrab dengan Dien.

Pencarian Angela Marcupisu sudah menjelajah hingga kemana-mana. Pram, suamiku, telah begitu gigih menyebar selebaran iklan bergambar muka Angela Marcupisu yang paling manis. Di pos ronda, di stasiun, di pasar, di dinding flyover, hingga pos polisi. Namun sampai saat ini hasilnya masih nihil.  Angela Marcupisu tetap tak tertemukan.

Seorang tetangga mengatakan bahwa ia pernah melihat Angela Marcupisu hendak menyeberang di pertigaan. Tetangga yang lainnya lagi mengatakan bahwa ia pernah melihat Angela melintasi jalan kereta api saat sebuah kereta hendak lewat. Namun setelah itu tak ada kelanjutan kabar beritanya.

Hilangnya Angela Marcupisu memang baru dua hari yang lalu, tapi musibah ini benar-benar membuat kami semua cemas dan khawatir. Cemas dengan keselamatan Angela, cemas dengan kesehatan Dien.

Angela Marcupisu begitu berarti bagi Dien. Sahabat terdekat Dien dan selalu setia menemaninya. Bahkan Dien menganggap bahwa sejatinya Angela jauh lebih mengerti akan dirinya ketimbang aku, yang telah melahirkannya. Sedikit kumaklumi, karena waktuku bersama Dien memang jauh lebih sedikit daripada kebersamaan Dien dan Angela Marcupisu.

Akulah yang membawa Angela Marcupisu ke rumah. Saat pulang ke Sulawesi, ibuku memberi amanah untuk menjaga dan merawat Angela Marcupisu dengan baik. Terutama untuk menemani cucunya yang begitu manis dan menggemaskan. Meski sebenarnya aku tak terlalu suka dengan Angela Marcupisu, tapi kubawa saja ia demi Dien yang tak henti merengek memohon kehadiran Angela di rumah kami.

Sejak kehadiran Angela, Dien menjadi selalu bersemangat dan girang. Ia senang mendapat teman baru. Bahkan ia pun melupakan semua mainan lamanya karena lebih asyik bersama Angela Marcupisu. Dia tak segan berceloteh dan bercerita banyak hal di hadapan Angela. Dien tak lagi nampak sebagai bocah yang kesepian.

Yang membuatku sedikit sebal, Dien menuntutku memperlakukan Angela dan amat baik. Saat di supermarket, Dien lebih sibuk memilih berbagai perabotan dan keperluan untuk Angela. Tentu saja Dien memilih yang paling bagus, yang membuatku senewen karena harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit hanya untuk Angela.

Sebenarnya aku sudah menyiapkan kamar sendiri untuk Angela Marcupisu. Tapi nyaris setiap malam, ketika kami semua sudah pulas tertidur, Angela mengendap-endap menuju kamar Dien dan tidur bersamanya. Tentu saja Dien  tak pernah menolak, karena pada dasarnya Ia selalu ingin bersama Angela.

Mulanya, ada semacam kekhawatiran saat melihat kerekatan hubungan Dien dan Angela. Dan kekhawatiran itu memang telah terbukti terjadi. Saat Angela pergi meninggalkan Dien, ini merupakan pukulan yang cukup berat bagi Dien yang masih berusia lima tahun.

***

 

Akhir-akhir ini, setiap malam kami selalu mendengar suara-suara mencurigakan di atas plafon rumah, tepat diatas ruang tamu. Ada yang berderak-derak. Kadang seperti suara bayi menangis yang terdengar sayup.  Adalakanya aku sedikit takut dan ngeri, terutama jika malam berubah menjadi sunyi. Apalagi baru beberapa minggu yang lalu anak tetangga sebelah rumah meninggal akibat kecelakaan kereta api.

Lama-lama aku sudah benar-benar tak tahan lagi. Esok hari kami bersepakat membongkar plafon. Pram naik ke atas menggunakan tangga dan membongkar plafon yang kadang kami gunakan sebagai loteng. Ia harus menerjang tumpukan kardus yang berserakan, karena kami memang menyimpan kardus-kardus bekas di sana. Sarang laba-laba pun terbentang dimana-mana. Binatang-binatang sejenis kutu dan kecoak pun berlarian.

Tiba-tiba tedengar suara lemah, kecil sekali di balik kardus tivi besar. Nadanya seperti suara anak kucing. Pram segera meraihnya menggunakan galah, tumpukan kardus yang ternyata memang berisi anak-anak kucing. Rupanya anak-anak kucing tersebut baru dilahirkan, karena masih merah dan berbulu jarang. Empat anak kucing berada dalam kardus tersebut. Satu putih polos, satu hitam polos, dan dua belang hitam putih. Yang lebih mengagetkan, induk anak kucing tersebut, yang dengan penuh kasih sayang menjilati tubuh anak-anak kucing tersebut adalah Angela Marcupisu yang sedang kami cari-cari. “Meeeoooonnnggg……” sapa Angela malu-malu.

 

 

Silent city, oktober 2010