Surat Balasan untuk Ramu (Pemenang #SCUK)

Inilah surat balasan untuk Ramu dari Pemenang 1 lomba SCUK, Siti Andriana Rahmayanti, seorang siswi SMA dari Surabaya – Jawa Timur.

Twitter : @yanandr     Facebook : S Andriana Rahmayanti     Blog : http://siandra.tumblr.com/

——————————————————————————————

 

Assalamu’alaikum, Sahabat Kecilku…

Alhamdulillah, aku di sini baik-baik saja bersama putriku, tanpa kurang sesuatu pun. Bagaimana kabarmu di sana? Semoga Allah memberikan waktu untukmu agar dapat membaca surat balasanku ini. Terima kasih telah mengirimkan surat-suratmu, Ramu. Aku selalu menunggunya. Aku selalu antusias membaca kisah yang kau torehkan pada kertas-kertas putih yang kau layangkan padaku. Terima kasih karena kau selalu mengingatku dan merindukanku. Maaf jika aku tidak pernah membalas surat-suratmu. Aku takut jika aku membalasnya, maka rindumu akan terkikis dan kau berhenti menuliskan surat untukku.

Aku tak pernah melupakanmu, Sahabatku. Aku selalu merindukanmu. Aku merindukan saat kita bermain bersama di pantai, di bukit, dan di mana pun itu. Aku tak pernah melupakan kenangan masa kecil kita yang begitu bahagia. Kenangan itu aku simpan rapat-rapat di relung hatiku, tidak terusik dan tidak tergantikan. Tersenyumlah, Kawan. Aku rindu senyum dan tawamu saat kita bermain bersama. Ingin rasanya seperti dulu, namun keadaan sudah tak sama lagi. Waktu telah memakan usia. Sudah seharusnya kita tidak berandai-andai dan menghadapi realita. Aku sering menceritakan kenangan kita kepada putri-putriku. Mereka sangat ingin bertemu denganmu. Salammu pun selalu aku sampaikan pada matahari kecilku.

Oh iya, terima kasih atas niat tulusmu, Ramu. Izinkan aku menggunakan uang yang kau beri untuk kepentingan anak-anak yang masih membutuhkannya. Bukan aku tidak mau menerimanya untuk pengobatan putriku, melainkan putriku sudah lama tiada bahkan sebelum surat pertama kau layangkan padaku.

 

Sahabat yang selalu aku rindukan di mana pun kamu berada…

Sejak kau pergi, aku jadi jarang bermain di pantai ataupun di bukit tempat kita sering bercengkrama. Aku merasa kehilangan yang amat sangat, tak ada yang dapat menggantikanmu di sisiku. Semua terasa berbeda saat kau tak ada. Aku jadi lebih pemurung. Ibu selalu menegurku agar aku tidak larut dalam kesedihanku. Pada akhirnya, aku harus menjalani hidup walaupun tanpa kamu, Ramu. Tak ada yang dapat menggantikanmu, tak ada yang dapat menjadi sebaik dirimu. Tapi, aku tetaplah orang yang ceria, Ramu. Tak perlu kau khawatir. Aku tetap seperti yang engkau kenal dulu.

Maafkan aku, Ramu. Aku tak pernah peka terhadap perasaanmu terhadapku. Aku tak pernah peduli padamu. Tapi, kau selalu ada di dekatku, mendengarkan kisah cintaku, menjadi penghubung antara aku dan Andrea dulu. Maafkan aku. Aku berterima kasih atas perasaan cinta tulusmu terhadapku. Namun, aku menyayangimu tak lebih sebagai seorang sahabat yang telah bersama sejak kecil. Sampai sekarang pun begitu.

Maafkan aku, Sahabat. Salam hangatmu kepada ibuku dan ayahku tak dapat aku sampaikan. Tak lama setelah kepergianmu, ayahku meninggal karena kecelakaan kerja. Ibuku menelepon salah seorang saudaranya dan ibu mengajakku pindah ke luar kota, tempat saudaranya tinggal. Walaupun aku tidak ingin, aku tetap mengikuti ibuku, aku tidak dapat membiarkan ibuku sendiri tanpa ada yang menemaninya. Kami pindah setelah aku lulus dari SMP. Sekaligus menjawab rasa penasaranmu, setelah itu, aku tak lagi satu sekolah dengan Andrea.

Dua tahun kemudian, ibuku meninggal karena sakit yang dideritanya tak kunjung sembuh. Trombositnya terus-menerus turun dan akhirnya menyebabkan pendarahan. Beliau tidak dapat ditolong lagi. Kemudian aku diasuh oleh paman dan bibiku. Mereka telah menganggapku sebagai anaknya. Mereka memang tak dikaruniai anak, sehingga begitu senang dengan kedatanganku dan ibuku saat itu. Mereka menyekolahkanku hingga aku lulus kuliah.

Setelah lulus, aku bekerja di perusahaan periklanan. Di sanalah aku bertemu dengan calon suamiku. Dia meminangku dan memintaku berhenti dari perusahaan agar dapat fokus pada pekerjaan rumah jika kelak kami menikah. Aku menurutinya, mengajukan surat pengunduran diri. Kemudian aku masuk Islam dan aku mempelajari ajaran Islam dengan tekun. Aku sekarang telah muslim, Ramu. Berbahagialah engkau.

 

Sahabat yang teramat kurindukan…

Pilu rasanya membaca surat-suratmu yang penuh luka. Aku seperti dapat merasakannya. Bersabarlah, Sahabatku. Allah pasti akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang senantiasa setia mengingat-Nya. Perjalananmu ke Gaza, pengorbananmu untuk mereka, dan berbagai penderitaanmu di sana, semoga menjadi jihad di jalan-Nya, semoga menjadi amalmu untuk meraih surga-Nya. Amiin.

Memang, terkadang kesedihan dan berbagai permasalahan membuat kita tidak bisa berpikir jernih. Kebencian timbul tenggelam di antara emosi yang meluap-luap. Oleh karena itu, kita haruslah senantiasa berhati-hati dalam mengambil langkah.

Aku turut senang akan kesuksesanmu, Ramu. Sungguh, aku sangat senang. Tapi, di saat yang bersamaan aku sedih karena engkau mengambil langkah yang keliru. Tak seharusnya engkau ikut andil dalam kasus itu, Sahabatku. Aku percaya, kau orang yang baik. Oleh karena itu, Allah selalu menunjukkan jalan kepadamu dengan cara-Nya sendiri. Allah masih mau menyadarkan tindakanmu. Aku salut padamu, Ramu. Langkah akhir yang engkau ambil sungguh berani. Kau berani menyerahkan dirimu. Semoga dosa-dosamu diampuni oleh Yang Maha Pengampun. Amiin. Aku bangga memiliki sahabat sepertimu, Ramu.

Akhir kata, aku berterima kasih atas semuanya, Sahabatku. Terima kasih atas kedatangan surat-suratmu yang membuat rinduku sedikit terobati. Terima kasih atas kenangan yang masih engkau simpan rapat, tak terlupakan, walaupun waktu telah berlalu begitu lama. Terima kasih atas perasaan yang kau simpan untukku. Terima kasih atas rindumu padaku. Terima kasih atas niat tulusmu untuk membantu putriku jika saja matahari kecilku itu masih ada di sini bersamaku dan seorang putri kecilku yang lain. Terima kasih atas berbagai pengorbananmu yang pernah kau berikan padaku.

Tersenyumlah, Sahabatku. Karena dengan tersenyum perasaan menjadi lapang dan segala permasalahan menjadi ringan. Percayalah, selalu ada Allah di sisimu yang senantiasa akan membantumu. Aku bangga padamu, Ramu.

 

Wassalamu’alaikum

Yang selalu merindukanmu,

Kisha

Ramu Sedang Menunggu Suratmu… (Lomba SCUK Berhadiah 500rb!)

Dear kawan,

Sudah mendapatkan atau membaca novel terbaru saya Surat Cinta untuk Kisha ?

Jika belum, segera dapatkan di toko-toko buku terdekat atau dapat langsung memesan via online dengan klik disini 

Karena saya, bekerja sama dengan penerbit Diva Press menyelenggarakan lomba menulis yang seru dan asyik untuk diikuti.

Caranya cukup mudah : 

  • Miliki terlebih dahulu novel Surat Cinta untuk Kisha (SCUK) 😀
  • Buatlah surat balasan kepada Ramu. Berpura-puralah menjadi Kisha.
  • Ketik surat balasan tersebut dalam MS Word, maks. 1.000 kata,  font Times New Roman, ukuran 12 pt, spasi ganda (spasi 2)
  • Jangan lupa lampirkan biodata diri di bagian bawah naskah (di halaman paling belakang)
  • Karya dikirimkan via attachment ke email ceritabintang@gmail.com dengan subjek: #SuratSCUK
  • Semua peserta pun wajib LIKE Fanpage Penerbit DIVA Press atau follow akun Twitter @divapress01
  • Selain itu, unggah/upload versi “surat balasan untuk Ramu” di catatatan/note Facebookmu, kemudian tandai/tag Penerbit DIVA Press dan minimal 10 temanmu
  • Kompetisi berlangsung mulai 21 Januari  s/d  21 April 2013
  • Juri dari Lomba #SuratSCUK ini adalah Bintang Berkisah 😀

Hadiah:

1. Satu orang juara pertama mendapatkan uang tunai Rp. 500.000,- dan paket buku-buku Diva Press.

2. Masing-masing satu orang juara kedua dan ketiga mendapatkan paket buku-buku Diva Press.
Atau info lomba pun dapat dilihat DISINI


Saya tunggu partisipasimu segera! 😀

k0pvqy

Aku mencintai ibumu terlebih dahulu…

 #Surat Cinta untuk Kisha 1

 

Teruntuk : Kisha yang kurindukan siang malam…

Aku menduga bahwa engkau sedikit kaget karena sekonyong-konyong menerima surat dari yang kau pikir adalah orang asing. Padahal kita pernah saling mengenal, Kisha…

Apakah kau masih mengingatku?

Jika sudah benar-benar lupa, dengan senang hati aku akan mengingatkanmu – jika kau tak keberatan.

 

Ingatkah kau dengan sosok Ramu, teman masa kecilmu yang dulu suka mengajakmu bermain-main ke pantai? Yang juga senang memboncengmu dengan sepeda kecil merahnya? Ya, Kisha. Itulah aku, yang juga suka meminjam buku-buku dongengmu namun selalu lupa kukembalikan kecuali jika engkau mengingatkanku dengan berondongan omelanmu.

Apa kabarmu sekarang, sahabat masa kecilku? Aku akan merasa girang sekali jika kekagetanmu menerima surat ini berbaur dengan rasa sukacita dan sedikit kerinduan. Namun tak menutup kemungkinan bahwa kau agak terganggu dengan keberadaan surat ini. Terus terang, membayangkan itu membuat hatiku terasa pedih meski aku telah terbiasa dengan hal-hal tidak baik yang senantiasa menyapa hidupku. Tapi bagaimanapun, surat ini memang harus kusampaikan padamu. Setidaknya, aku yang nyaris tak pernah berhasil mewujudkan angan dan mimpi hidupku masih memiliki keberhasilan dalam menyampaikan segenap perasaanku kepadamu. Dengan mengucap nama Tuhan Yang Maha Pengasih sekaligus Penyayang, aku memulai tulisan dan lembar surat ini disertai iringan doa dan harapan semoga jiwaku lebih tenang setelah ini.

 

Wahai sahabat kecilku,

Kalaupun aku tak mengingatkanmu akan sosok diriku, toh aku telah menuliskan namaku di amplop surat – A. Ramu. Tapi aku tak terlalu yakin apakah kau benar-benar masih mengingatku. Terakhir kali kita saling bertatapan mata sekitar tiga puluh tahun lalu. Bersama keluargamu dan juga beberapa tetangga, kau ucapkan selamat tinggal padaku saat aku dan keluargaku hendak meninggalkan kampung tercinta tempat kita bersama dulu. Sempat kulihat genangan yang bermuara pada mata beningmu yang sedang terselimuti tirai kesedihan. Bibir mungilmu memerah karena kau gigit sedemikian rupa demi menahan mendung dalam hatimu, supaya hujan yang turun dari sudut-sudut matamu tak semakin deras. Aku tahu kau sedemikian sedih atas kepergianku. Aku pun diliputi kepedihan yang sama. Sesungguhnya perasaan pilu yang kita tanggung tak jauh berbeda. Namun waktu itu kita masihlah seorang bocah yang takkan berdaya mengubah arus takdir. Aku dan keluargaku telah memutuskan untuk pindah ke Gulama, sebuah daerah yang cukup jauh hingga harus ditempuh dua hari perjalanan dari kampung kita.

Nah, sudah jelaskah gambaran sosokku dalam ingatanmu saat ini, Kisha? Ya, itulah aku, Ramu. Bocah kecil berbadan kurus, berambut keriting, berkulit coklat gelap, dan tampak sedikit ideot dengan kaca mata tebalnya. Tapi asal kau tahu, kini aku sudah tak lagi berkaca mata. Ayah membawaku ke dokter yang berhasil mengoperasi mataku sehingga aku dapat melihat jelas tanpa memerlukan alat yang memuakkan itu. Aku pun juga sudah tak lagi kurus. Seiring dengan bertambahnya usia dan tempaan, otot-ototku terbentuk dengan lebih sempurna. Andai kita bertemu, kau pasti akan terheran melihatku.

Aku sendiri sedang membayangkan sosokmu yang kulihat terakhir kali. Seorang gadis kecil dengan gerak-gerik lincah, dengan rambut ikal sebahu yang kecokelatan, dengan kulitnya yang halus dan putih bersih. Tapi aku paling terpesona dengan mata cokelatmu yang indah. Ah, siapa pula yang bakal tak tertarik dengan gadis cantik keturunan Portugis sepertimu? Kau selalu menjadi pusat perhatian di antara teman-teman kita yang lain. Pembawaanmu yang riang dan ceria membuatmu mudah mendapat banyak teman. Tak sepertiku yang kuper dan seringkali terasing. Sebenarnya tak jarang aku merasa cemburu atas keberhasilan dan kelebihanmu. Tapi untuk apa pula aku harus cemburu pada perempuan? sungguh menggelikan, bukan? Lagipula, kau adalah satu-satunya teman terdekatku. Barangkali karena kita adalah tetangga. Atau, mungkin juga karena aku menyimpan sebuah rasa yang selama ini hanya menjadi rahasiaku.

 

Kisha yang berhati baik,

Kau pasti bertanya-tanya apa gerangan maksud dan tujuan suratku ini. Apakah kau akan merasa gusar jika kukatakan bahwa semua ini demi melunasi kerinduanku terhadapmu yang telah sedemikian lama kupendam? Nyatanya, memang itulah salah satu tujuan surat ini. Maafkan aku jika kemudian kau anggap sebagai sebuah kelancangan. Barangkali kau berpikiran bahwa saat ini sudah bukan masanya lagi untuk menebar romansa. Usia telah menyeret kita ke panggung kehidupan yang makin hari semakin tidak menarik. Aku telah menapak 45 tahun, dan kau pun telah menginjak usia 44 tahun. Tentu saja aku hafal tanggal lahirmu. Aku selalu hafal apapun tentangmu. Tapi kukatakan sekali lagi kepadamu, aku tak hendak menjadi pria yang mati dengan membawa sejuta penyesalan karena memendam kerinduan. Saat-saat seperti ini telah kuimpikan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Sayangnya, aku terlalu penakut untuk mewujudkannya. Aku tak pernah punya nyali hingga pada saat ini, saat dimana kamu sedang membaca surat ini.

Sebelum mengirimkan surat ini, aku sempat bertemu dengan Hasyim, salah seorang teman kita dulu. Kau tentu mengingatnya karena ia mengatakan sempat bertemu denganmu saat berziarah ke makam orang tuanya yang kebetulan berada di kota tempat kau tinggal saat ini. Sewaktu kami bertemu, ia banyak bercerita tentangmu. Baiklah, aku mengaku. Sebenarnya memang aku yang menyuruhnya untuk berkisah tentangmu, mengorek informasi mengenaimu. Dari penuturannya, aku tahu bahwa kini kau adalah seorang ibu dari dua anak perempuan, sementara suami tercintamu telah tiada. Aku turut berduka untukmu, Kisha… Tapi kurasa kau adalah seorang wanita yang tegar dan kuat menghadapi segala cobaan hidup. Aku berdoa untuk kebahagiaan dan kesuksesanmu.

 

Kisha yang kurindukan,

Bagiku, kerinduan yang kurasakan adalah sebuah kejujuran. Dan kejujuran adalah hal yang tak seorang pun dapat membungkamnya. Seharusnya kejujuran sejati takkan pernah gentar dengan segala resiko yang terjadi. Ia ibarat udara segar selepas hujan. Takkan pernah bisa kau tolak meski kau bersembunyi di dalam rumahmu yang tertutup rapat. Ia tetap mengisi relung-relung bumi, baik itu kau abaikan atau kau rasakan.

 

Duhai yang senantiasa mengisi mimpi-mimpiku,

Lama sekali aku tak lagi memandang raut manismu. Sejak tiga puluh tahun silam, yang dapat kulakukan sekedar menyimpan rapat-rapat sosok bayanganmu dalam ruang ingat dan imajiku. Dari waktu ke waktu, aku hanya dapat memutar kembali kenangan-kenangan indah saat kita bersama, kemudian mengembangkannya bersama sayap imaji yang senantiasa menemaniku, menghiburku. Aku telah melewati sekian banyak hari, bulan, dan tahun yang saling berganti. Namun kenangan-kenangan bersamamu sama sekali tak tergantikan meski telah digerus oleh berbagai aliran episode membahana dalam hidupku. Kenangan bersama seorang gadis kecil bermata cokelat itu terus melekat dalam benakku. Seorang gadis yang pertama kali kujumpai saat usiaku masih enam tahun.

Aku masih ingat saat suatu hari Ayah memberi tahu kami bahwa tetangga baru yang menempati rumah besar dua blok dari rumah kami telah datang. Sepasang suami istri dan seorang anak perempuan yang nyaris sepantaran denganku. Mendengar kabar itu saja sudah membuatku berdebar-debar. Jika tetangga baru itu memiliki anak yang seusia denganku, kurasa sebentar lagi aku akan mendapat teman baru. Hal ini membuatku cukup antusias. Sayangnya, Ayah tak mengatakan dari mana tetangga baru itu datang. Ibu juga tak mau bertanya karena tak begitu peduli. Maka lebih baik aku mempercayai bahwa tetangga baruku itu baru Tuhan turunkan dari langit.

Sore hari, saat aku merasa sedikit lapar, kucari-cari sesuatu yang dapat kumakan demi mengganjal perut. Tiba-tiba mataku langsung tertumbuk pada sepiring kue-kue di atas meja makan. Dari bentuk dan jenisnya, dapat kupastikan bahwa kue-kue itu bukan bikinan Ibu. Bahkan kue-kue yang dijual di sekitar rumah kami pun tak ada yang seperti itu. Karena merasa sangat penasaran, kuhampiri Ibu yang sedang sibuk di dapur. Kutanyakan padanya darimana asal sepiring kue di meja makan itu. Ibu mengatakan bahwa kue-kue itu adalah hantaran dari tetangga baru. Kemudian kucomot kue-kue indah berwarna warni itu. Aku mengunyahnya dengan penuh kerakusan, satu per satu. Seumur-umur, tak pernah kurasakan kue yang seenak itu. Setelah beberapa lama, baru kudengar ibuku berteriak, “Jangan lupa kau sisakan buat kakak dan adik-adikmu, Ramu!”. Ibu terlambat. Aku sudah terlanjur menghabiskan tiga di antara lima kue, sama sekali tak ingat pada kedua kakak dan kedua adikku.

Keesokan harinya, Ibu telah menyiapkan dua porsi bubur khas Sammoa yang akan ia antarkan ke tetangga baru kami. Dalam adat Sammoa, hantaran harus mendapatkan balasan sebagai bentuk saling menghargai dan menghormati. Saat Ibu bersiap hendak bertandang ke rumah tetangga baru, aku merengek supaya ia mengajakku turut serta. Saat itulah perkenalan pertama kita terjadi.

Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan kami dengan keramahan yang mengagumkan. Setelah menerima hantaran kami, ia bercakap-cakap sejenak dengan ibuku, saling berbagi informasi mengenai tetangga-tetangga sekitar, kebiasaan masyarakat, hingga acara-acara adat. Kedua wanita itu pun membicarakan tentang anak-anak dan suami mereka meski sekedar basa-basi.

Sementara aku terdiam di samping ibuku, mataku menyapu setiap sudut ruangan yang terlihat di rumah itu. Betapa berbeda dengan rumahku. Terdapat banyak perabotan bagus dengan cat dan pelituran berkilau yang tertata apik. Ruangan itu terkesan lapang sekaligus menyenangkan. Lantainya pun sangat bersih dan terlihat licin. Yang paling kukagumi adalah sebuah lampu kristal besar yang tergantung di langit-langit ruang tamu. Indah sekali! Ah, betapa kaya tetangga baru kami, begitu batinku.

Akhirnya aku tahu bahwa wanita yang menyambut kami dan sedang berbincang dengan ibuku itu adalah ibumu. Ia sempat menatapku dan memberikan senyum yang sangat ramah, seolah-olah aku adalah seorang bocah yang sangat menarik dan menyentuh hatinya. Kemudian ia memanggilmu yang kulihat sedang asyik bermain karet gelang yang kau simpul-simpulkan di antara jemarimu. Ibumu berniat hendak memperkenalkanmu padaku. Dengan suaranya yang lembut, ia mengatakan harapannya padaku supaya aku mau menjadi kawan sepermainanmu. Saat ibuku hendak berpamitan, ibumu meminta pada ibuku untuk meninggalkanku sementara waktu demi bermain-main bersamamu. Untunglah ibuku tak keberatan pulang sendirian.

Kebaikan hati dan keramahan ibumu sungguh membuatku terkesan sejak pertama kali berjumpa. Sementara aku bermain denganmu, ia menghidangkan senampan makanan dan minuman yang begitu lezatnya, yang tak pernah kumakan seumur hidupku waktu itu. Sejenis roti dengan aneka macam warna, bentuk, dan rasa yang kukira mahal harganya. Kemudian ia menanyaiku begitu banyak pertanyaan-pertanyaan sederhana, semisal aku anak keberapa, sekolah dimana, kelas berapa, siapakah teman-teman bermainku yang lainnya, hingga makanan dan jenis permainan kegemaranku. Saat aku tak bisa mengikuti permainanmu dan kau tak begitu peduli terhadapku, dengan senang hati ia mengajariku cara menyimpul karet menjadi beberapa macam bentuk binatang, supaya aku dapat menyamai ketrampilanmu. Ibumu begitu sabar membimbing jemari kecilku yang kaku demi membentuk simpul-simpul karet gelang serupa dengan milikmu. Aku benar-benar terpana dengan pesona ibumu. Wanita itu begitu sempurna dengan kebaikan, keramahan, sekaligus kecantikannya. Ibumu memang sangat cantik dengan pahatan wajahnya yang khas karena berdarah campuran. Kulitnya putih kemerahan, hidungnya runcing, rambutnya ikal berombak, matanya coklat dengan bulu-bulu mata yang lentik dan rapat. Ia nyaris seperti bintang film karena bertubuh langsing dan semampai, tak seperti wanita-wanita di kampung yang seusianya. Kurasa kecantikanmu itu adalah warisan langsung dari ibumu, Kisha.

Pada pertama kali perjumpaan, aku benar-benar merasa nyaman dan tertarik dengan ibumu – daripada denganmu yang telah menampakkan kecerewetan dan dominasimu, yang membuatku tak lagi menaruh minat pada permainan karet itu. Aku lebih senang jika ibumu terus menanyaiku banyak hal atau membimbingku menyimpul karet. Kubayangkan, andai saja ia pun adalah ibuku… Sayangnya bukan. Ibuku jauh lebih cerewet dan tak terlalu peduli padaku. Tak pernah memberiku kue-kue dalam piring khusus dan minuman-minuman manis, apalagi peduli pada permainanku.

Kurasa, sejak saat itu aku menyadari bahwa aku mulai mempunyai kesenangan baru. Hatiku girang jika pukul tiga sore menjelang, karena pada waktu itulah kau baru mendapatkan ijin bermain. Secepat kilat aku melesat menuju rumahmu. Hatiku berbunga-bunga saat ibumu menyambutku dengan keramahannya yang hangat. Kau pun bergegas mengambil setumpuk mainan yang belum pernah kulihat seumur hidup. Mainan-mainan yang sempat membuatku terpana dan berdecak kagum. Sayangnya, kebanyakan mainan itu adalah untuk anak perempuan.

Tapi kadang kita menghabiskan waktu di halaman, memanjat pohon jambu air yang memiliki banyak cabang, dan saling bercengkerama sambil tertawa riang. Tak jarang kuajak kau mencari rumah-rumah semut di antara hamparan rerumputan taman. Kau akan berteriak-teriak kala semut-semut itu mulai merambati kakimu, sementara aku hanya tergelak-gelak melihat tingkahmu yang melompat-lompat.

Pernah suatu kali kau menjadi sasaran semut api yang gigitannya terkenal menyakitkan. Mungkin semut-semut itu merasa kesal dan ingin membalas dendam karena rumahnya telah kita obrak-abrik. Kau menjerit kesakitan hingga menangis meraung-raung. Pedihnya gigitan semut api itu membuatmu tak lagi tahan hingga akhirnya kau berlari lintang pukang menuju ke arah ibumu.

Wanita yang dikaruniai kesabaran mengagumkan itu mencoba menenangkan tangismu dengan membelai-belai kepalamu, memelukmu dalam dekapannya. Dengan ketelatenannya, ia mengoleskan minyak ke sekujur kakimu. Tangan halusnya mengusap-usap kulit putihmu yang bentol-bentol kemerah-merahan dengan penuh kelembutan.

Aku sendiri merasa amat bersalah karena telah mengajakmu mengganggu rumah-rumah semut itu. Kurasa ibumu tahu bahwa semua itu seharusnya adalah kesalahanku. Namun ternyata ia sama sekali tak marah padaku. Usai merawatmu, ia justru tersenyum dan menyuruhku duduk di sofa, kemudian beranjak mengambil minuman dingin untukku dan juga untukmu. Di mataku, keluargamu adalah keluarga paling sempurna. Kadang aku heran, mengapa ibumu yang sedemikian baik itu hanya memiliki satu anak, sedangkan ibuku yang sedemikian cerewet justru memiliki lima anak. Tapi aku berusaha untuk menerima ketidakadilan yang memang telah biasa kurasakan. Terutama jika engkau memiliki saudara-saudara sebanyak diriku. Mustahil rasanya untuk benar-benar mendapat keadilan. Ayahku tak pernah adil dalam memberikan kasih sayang karena ia terlampau sibuk bekerja. Gaji seorang buruh di pabrik pemotongan kayu takkan pernah membuat kami sekeluarga merasakan nikmatnya bersenang-senang. Ibuku pun tak terlalu adil dalam membagikan kasih sayangnya karena ia telah dibuat lelah dengan banyaknya pekerjaan rumah dan ketergantungan adik-adikku yang masih kecil-kecil. Yang dapat mereka perbuat dengan leluasa adalah mengumbar kemarahan, menghardik, menjewer, atau memukul kami jika melakukan kesalahan atau kenakalan yang sekiranya membuat mereka malu atau gusar.

Pernah suatu kali aku merasa amat kesal dengan ibuku yang memarahiku habis-habisan. Aku tak sengaja menyenggol botol-botol sirup pepaya yang telah ibu buat sejak tiga hari yang lalu, yang rencananya hendak ia kirimkan kepada nenek. Botol-botol itu pecah dan cairan sirupnya menggenangi sebagian besar lantai ruang makan kami. Ibu benar-benar marah karena ia membuat sirup itu dengan susah payah.

Sudah menjadi tabiat Ibu bahwa sekali marah, ia takkan berhenti mengomel, mengumbar cacian dengan kata-kata yang membuat telinga merah. Tak jarang merembet ke hal dan persoalan lain yang ia pikir adalah amunisi untuk lebih menyakiti hatiku, misalnya mengungkit-ungkit kembali kenakalan dan kesalahanku yang telah lalu. Ia mengataiku sebagai anak yang selalu membuat masalah, tak berbakti, merepotkan, dan senantiasa membuat susah orang tua.

Emosiku panas mendengar kata-kata Ibu yang makin mengganas. Kedongkolanku meruap mencapai ubun-ubun. Aku tak lagi dapat mengendalikan diri. Dengan segenap keberanian yang tersisa, kubalas omelan Ibu dengan teriakan dan luapan amarahku. Kukatakan dengan nada keras bahwa aku benci dengan keluarga ini, aku benci dengan ibuku, dengan ayahku. Aku benci mereka karena mereka tak seperti ibu atau ayahmu.

Ayah dan ibumu bersikap jauh lebih baik, lebih peduli, dan kurasa lebih menyayangiku daripada orangtuaku sendiri. Tanpa merasa terbebani, kubanding-bandingkan ayah ibuku dengan ayah ibumu. Mulut kecilku terus saja meluncurkan protes ketidakpuasan yang selama ini selalu kupendam dalam hati. Tampaknya semua kata-kataku sekaligus sikap kekurangajaranku berhasil menyakiti hati ibuku. Kulihat raut wajah Ibu yang memerah karena terbakar amarah. Namun aku tak peduli, tak juga berhenti mengolok-olok ibuku dan terus menyanjung-nyanjung ibumu.

Sampai sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, segala omongan pedas yang mengalir deras dari mulutku tersumbat seketika. Tapi air mataku lah yang kemudian tumpah, hingga tak lagi sanggup kubendung. Dengan menggenggam sebongkah kebencian pada ibuku, aku berlari ke kamar, membanting pintu, dan terisak di antara bantal yang bisu. Saat itu, ingin rasanya aku berlari ke rumahmu, menjumpai ibumu dan mengatakan bahwa aku berminat untuk menjadi anaknya.

Aku mengunci diri di dalam kamar hingga keesokan harinya. Aku memilih untuk menahan lapar dan haus ketimbang bertemu ibuku yang telah menyakitiku. Nampaknya Ibu sedikit merasa bersalah terhadapku. Dengan lembut ia mengetuk pintu kamarku, namun aku tetap tak menghiraukannya.

Kekeraskepalaanku membuat Ayah terpaksa mendobrak pintu. Ibu menemukanku terbaring dengan tubuh demam. Sayup-sayup kudengar ayah dan ibuku bertengkar di kamar sebelah. Sementara itu, kakakku memaksaku meminum ramuan pahit buatan ibu.

Karena demam tinggi, aku tak masuk sekolah hingga tiga hari lamanya. Tentu aku masih ingat ketika kau datang menjengukku dengan membawa sekeranjang mangga yang telah ibumu siapkan untukku. Kau katakan bahwa kau merasa sedih karena beberapa hari tak bermain denganku. Kau sempat tanyakan apa sebab hingga aku menjadi demam. Kukatakan saja bahwa aku terlalu banyak minum es yang kubeli tempo hari di sekolah. Kau percaya begitu saja.

Semenjak peristiwa itu, tampaknya ibuku tak terlalu suka jika aku bermain denganmu. Selalu saja ada cara dan alasan yang membuatku gagal bermain ke rumahmu. Hingga aku menyadarinya, maka kupakai cara lain yang sekiranya dapat mengelabui ibuku. Sejak itu, setiap kali hendak ke rumahmu, aku selalu mengatakan hendak bermain ke tempat lain, bersama kawan-kawan yang lain. Ternyata muslihat ini cukup mujarab. Tapi toh pada akhirnya ibuku tahu saat memergokiku sedang bermain di parit bersamamu. Sempat aku merasa takut karena kupikir ia akan marah dan memukuliku. Tapi ternyata ia tak banyak bereaksi. Barangkali ia mulai lelah dan menyadari kesalahannya. Sejak itu, ia tak lagi peduli apakah aku bermain bersamamu atau menjumpai ibumu.

Soal kekagumanku pada ibumu, pada keluargamu, pun pernah kuungkapkan padamu di sela-sela kita bermain. Kau pasti masih ingat betapa aku sangat menyanjung ibumu hingga menyamakannya serupa ibu peri yang selalu tersenyum dan bahagia. Kukatakan bahwa kau adalah anak yang paling beruntung di dunia ini. Andai saja aku bukan sahabatmu, tentu aku akan menyimpan rasa iri dengki sekaligus benci terhadap segala keberuntungan yang kau miliki.

Tapi rupanya pujianku tak membuatmu terlampau bangga. Di saat yang tak terduga, kau justru mengungkapkan sebuah rahasia kelam mengenai keluargamu. Kau koreksi pujianku dengan mengatakan bahwa ibumu tak sepenuhnya seperti peri yang selalu tersenyum dan bahagia. Yang selama ini terjadi, kau kerap memergoki ibumu menangis diam-diam. Kau ceritakan tentang ibumu yang selalu bungkam tak berdaya saat menghadapi bentak dan makian ayahmu yang ternyata kerap menyiksa ibumu dengan pukulan, tamparan, dan jambakan. Kau beritahu aku bahwa ibumu seringkali menderita memar hingga kebiruan di beberapa bagian tubuhnya. Karena kekerasan yang diderita ibumu itulah maka kau tak jadi memiliki seorang adik. Kekerasan fisik dan tekanan batin itu telah menggugurkan janin yang seharusnya kurang tiga bulan lagi lahir ke dunia.

Mendengar kisahmu yang dramatis, aku sampai ternganga tak percaya. Sungguh tak menduga jika ibumu pun menanggung penderitaan seberat itu. Sekilas ada selapis pedih yang menyelimuti jiwaku. Aku teringat rasa perih yang menyengat saat ibu menamparku. Rasa pedih yang menyayat hatiku, lebih pedih dari bilur tamparan yang menggores pipiku. Barangkali karena itulah maka aku mudah berempati pada ibumu, seolah-olah aku dapat merasakan kesakitan yang ibumu rasakan, yang mungkin malah jauh lebih menyakitkan.

Sejak mengetahui rasa sakit itu, aku benci sekali pada orang-orang yang begitu mudahnya menampar dan memukul. Apakah mereka pikir perlakuan kasar itu mampu menghilangkan masalah? Barangkali mereka memang sanggup membungkamnya. Namun sesungguhnya apa yang mereka lakukan adalah menjahit mulut kami dengan benang kebencian. Mereka tak sadar bahwa perbuatan itu justru mengoyak luka menjadi semakin lebar. Andai aku adalah anak ibumu, barangkali aku akan membunuh ayahmu. Ah, tidak. Itu terlalu berlebihan. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan suatu tindak pembunuhan. Mungkin lebih baik jika aku akan melemparinya dengan kotoran, membiarkan seluruh pakaiannya bau menjijikan. Kurasa itu adalah ganjaran setimpal bagi siapapun yang suka menyakiti. Tapi aku bingung, apakah aku harus sungguh-sungguh membenci ayahmu atau tidak. Nyatanya, aku bukanlah siapa-siapa. Saat kutanya apakah kau membenci ayahmu atau tidak, kau hanya menaik-naikkan bahumu, tanda bahwa kau pun bingung menentukan sikap. Kau bilang bahwa kau hanya benci saat ayahmu mulai memukul ibumu. Selebihnya, kau tampak tak terlalu menaruh dendam pada ayahmu.

 

Kisha yang kurindukan,

Sejak tiga puluh tahun lalu aku benar-benar tak tahu bagaimana kabar ibumu. Apakah beliau sehat-sehat saja? Tolong sampaikan salamku padanya, ya. Jika ia tak lagi mengingatku, aku berharap kau tak keberatan untuk membantu mengingatkannya. Tapi aku berdoa semoga beliau tak lupa padaku. Kita telah berteman lama, bukan? Aku pun merindukannya meski saat ini tak sebesar kerinduanku padamu. Bagiku, ia masihlah seorang ibu peri cantik yang telah melahirkan anak peri yang tak kalah cantik.

Mengurai kembali benang-benang kenangan masa kecil kita membuat kerinduanku semakin bertambah-tambah. Aku tak tahu apakah kenangan-kenangan itu pun cukup berkesan bagimu. Anggap saja kedatangan suratku ini adalah semacam nostalgia yang masih menyisakan rasa manis. Ada begitu banyak hal yang kita ketahui dan rasakan bersama, namun sesungguhnya ada pula hal-hal tersembunyi yang tak pernah kubagi padamu. Mungkin inilah saat yang tepat untuk mengungkap semuanya. Semoga saat ini kamu punya waktu yang cukup leluasa.

Bagaimanapun, pada akhirnya nanti kau akan mengetahui tujuanku yang lain dari mengirim surat ini, mengurai masa-masa yang telah tertinggal, dan menguak rahasia-rahasia yang telah kuendapkan. Ada begitu banyak hal yang ingin kusampaikan dan kuungkapkan padamu sebelum sampai pada tujuan utamaku.

Kuharap kau tidak keberatan membaca surat-surat yang akan kukirim bertahap selama beberapa hari ke depan. Masih ada segulung kerinduan yang akan kulontarkan padamu satu demi satu. Aku berdoa semoga kau benar-benar tak keberatan untuk menyediakan kesabaran.

Akhir kata, semoga kedatangan surat pertama ini tak begitu mengganggu aktivitasmu. Aku membayangkan bahwa kau masih selincah dan secekatan dulu. Kau adalah perempuan hebat yang selalu mengagumkan siapa saja, Kisha!

 

Yang merindukanmu,

A. Ramu

 

—————————————————————————

Surat selanjutnya :
surat 2