Wanita berparas manis berbalut busana putih yang dipadu dengan jeans casual itu tampak ramah menyapa beberapa orang yang menghampirinya. Senyumnya gampang terkembang, namun auranya yang selalu tenang dan kalem tak pernah tertinggal. Dengan sabar dan senang hati, ia membubuhkan tanda tangan pada buku-buku bersampul hijau yang disodorkan orang-orang, para tamu undangan itu, kepadanya. Saya termasuk salah satunya.

Ya. Dialah Ayu Utami, penulis ternama negeri kita — yang pada sore itu, 29 Februari 2012, me-launching novel terbarunya di Kaskus The Lounge, Kuningan, Jakarta. Ruang yang didominasi warna abu-abu namun bersuasana hangat itu lebih banyak diisi oleh teman-teman dekat sang penulis, beberapa undangan lainnya, dan juga para awak media.
Novel bersampul hijau menyala yang didesain sendiri oleh Ayu Utami ini berjudul Cerita Cinta Enrico. Konon, novel terbitan KPGÂ Februari 2012 ini adalah sebuah kisah nyata. Entah apakah karena itu maka penulisan novel ini hanya membutuhkan waktu selama 2,5 bulan saja. Gejolak emosi yang tak lagi asing membuat lebih mudah tertuang dalam tulisan-tulisannya yang selalu indah, yang selalu saya kagumi.
Saat menghadiri launching tersebut, terus terang saya belum membacanya karena saya memang baru memilikinya pada saat acara launching tersebut. Jadi, awal mulanya saya sekedar menjadi penikmat acara saja. Menikmati cuplikan-cuplikan cerita dalam fragmen novel yang dibawakan oleh Ayu Utami, sekaligus menikmati dentingan piano yang mengiringinya, yang juga dibawakan oleh kelincahan jemari sang penulis itu sendiri. Saya terhipnotis. Saya terlarut. Berkat alunan piano yang kadang sendu kadang bertempo menghentak itu, saya seperti tersedot di tengah-tengah emosi para tokoh dalam novel tersebut. Sungguh luar biasa! Yang membuat saya lebih terpana, ternyata penggubah aransemen alunan musik yang dibawakan Ayu Utami tersebut adalah seorang bocah belia yang baru berusia 7 tahun, keponakan Ayu Utami.
Jika dibanding novel-novel sebelumnya, menurut saya, Cerita Cinta Enrico ini jauh lebih sempurna dari sisi tehnik penulisan. Pilihan kata, kalimat, dan ungkapan yang cantik sekaligus sederhana, berikut ritme-ritmenya yang menarik. Keren sekali! Dalam soal ini, saya selalu merasa tak pernah salah saat memutuskan untuk mengagumi kualitas Ayu Utami sejak dari j
aman dulu.
Dari sisi isi, tentu saja masih setia menampilkan sosok karakter Ayu Utami yang idealis, yang tegas, yang sesekali beringas. Masih kritis dengan isu-isu nasionalisme, nilai dan norma masyarakat, peran wanita dan kediriannya, pun tentu saja tak pernah ketinggalan dengan bumbu-bumbu seksualitas yang juga menyingkap opini-opininya mengenai topik yang selalu ‘panas’ bagi siapa saja itu. Bahkan kalau boleh saya bilang, dalam Cerita Cinta Enrico, Ayu Utami tampak lebih spiritual.
Cerita Cinta Enrico adalah mengenai perjalanan seorang laki-laki bernama Prasetya Riksa atau yang biasa dipanggil Enrico, yang lahir pada saat yang bersamaan dengan lahirnya PRRI, sebuah gerakan nasionalis yang sempat menghebohkan di negeri kita pada masanya dulu. Cerita Cinta Enrico lebih banyak menyajikan kisah hubungan antara Enrico dan ibunya sendiri. Keduanya telah terikat kuat dalam sebentuk hubungan, terutama sejak Enrico menguyah seperempat puting susu ibunya sendiri. Sementara Enrico sempat tergila-gila pada sosok ibunya, sang ibu justru memilih untuk menampilkan ekspresi cinta yang berbeda, yang membuat anak lelakinya itu nyaris putus asa. Terjadilah pergulatan dan pergolakan batin antara obsesi si ibu dengan pemberontakan si anak. Latar belakang inilah yang kemudian memiliki banyak andil dalam pembentukan karakter dan sikap Enrico dewasa, yang kelak menjadi seorang petualang hidup sekaligus petualang cinta, hingga akhirnya waktu lah yang mempertemukan ia dengan tambatan terakhirnya, A.
Cerita Cinta Enrico memang adalah sebuah kisah cinta, sebuah perjalanan cinta seorang Enrico sejak bersama ibunya, dengan para wanita-wanita yang sempat singgah dan pergi, hingga dengan sosok terakhir, A, yang menurutnya paling sempurna untuk karakter rumit seperti dia. Kendati demikian, bagi saya, Cerita Cinta Enrico pun adalah mengenai cinta Enrico pada kebebasan, kemerdekaan, dan ketelanjangan. Karena hanya dari sanalah kita dapat melihat kejujuran. Enrico akan melakukan apa saja demi mempertahankan kebebasan dan kemerdekaannya. Ia tak sudi menjadi ‘ayam-ayam ras atau broiler’ yang sekedar dapat mematuk-matuk dan mengangguk-angguk karena telah kehilangan kehendak dan kenakalannya. Baginya, lebih baik ber’masturbasi’, memuaskan diri sendiri, daripada harus melego kemerdekaan dengan memuaskan pihak-pihak yang senantiasa rakus dan serakah.
Sungguh, Cerita Cinta Enrico ini, meski lebih ringan dibanding karya-karya Ayu Utami lainnya macam Bilangan Fu atau Saman, tapi justru akan menarik hati siapa saja untuk segera melahap lembar-lembarnya yang sejumlah 236 halaman itu. Tetap menjadi sebuah bacaan berkualitas, menghibur, dan barangkali juga menyajikan beberapa pencerahan.
Ah, saya jadi tak sabar untuk menanti karya-karya Ayu Utami yang baru lainnya…. ^_^
Happy Reading!!! 😀