Sampai kapan menjadi ikan hias?

Image

Ini sungguhan amat menggangguku.

Maksudku berita-berita di televisi itu. Tak hanya sekadar berita, tapi segala hal yang ditayangkan oleh televisi itu. Entah sejak kapan tepatnya, aku mulai sedikit demi sedikit menjauh dari televisi. Setidaknya, untuk menjaga kewarasanku sendiri. Mengetahui terlalu banyak hal yang terjadi di dunia ini membuatku gila. Atau kupikir dapat menularkan semacam penyakit fatal yang merusak semua syarafku, sampai akhirnya membunuhku. Tidak, aku tidak ingin mati konyol seperti itu. Menurutku, itu cara mati yang tidak elegan.

Perubahan ini kuanggap cukup progresif. Karena aku sadar betul, dulunya tidak seperti ini. Sebelum manusia-manusia jaman sekarang terjangkiti penyakit ini, aku sudah mengidapnya lebih dulu. Ya, hanya ingin terlihat lebih cerdas — adalah penyakit yang dulu pernah kuderita dengan bangga diri. Nyaris setiap saat aku mengunyah segala berita di koran, televisi, kemudian membuat  catatan-catatan bak seorang kritikus brilian atau mengangkat topik-topiknya di antara sekawananku yang jauh tak mengerti apapun — hanya supaya terlihat lebih cerdas. Mungkin karena kecerdasan memiliki daya pesona yang luar biasa memikat untuk menyelamatkanku dari selubung pergaulan yang semakin kejam dan pemilih. Supaya orang lain melihatku sebagai sosok yang punya nilai jual mentereng di lini-lini sosial.

Tapi jiwaku yang renta ini sudah sampai pada suatu kesimpulan; bahwa mengkilapkan pamor melalui nutrisi intelektualita adalah menyesatkan. Maaf-maaf saja, aku justru merasa lebih segan dengan orang-orang yang tinggal di pegunungan dan hanya mengetahui sedikit banyak tentang kambing atau itik mereka. Meski yang mereka bicarakan hanyalah seputar kebiasaan-kebiasaan kambing dan jenis-jenis rumput paling baik untuk dijadikan pakan — dan tidak membicarakan tentang aib artis papan atas, jadwal studi banding anggota dewan rakyat, keputusan hakim agung, atau kebijakan pemerintah mengenai harga sembako, tapi mereka adalah penyelam-penyelam kolam kehidupan yang hebat dan dapat dipercaya. Ya, tak ada gunanya mengetahui semua hal yang terjadi di dunia ini. Tak ada gunanya menjadi ikan hias yang hanya sekadar berenang-renang di permukaan untuk melahap plankton-plankton yang mengambang. Ikan-ikan hias itu hanya bisa berlenggak-lenggok memamerkan warna-warni tubuhnya. Mungkin mereka bermaksud supaya siapapun yang melihat akan terpesona dan segera menangkap mereka. Otak mereka takkan mampu berpikir lebih jauh, apakah nasibnya akan berlanjut ke penggorengan atau sekadar dipindahkan ke kolam yang lebih kecil. Mengenaskan, bukan?

Pada saat tertentu, maaf jika aku menjulukimu sebagai ikan hias, Sayang… Dan menurutku, ini bukanlah sesuatu yang baik di mataku — meski kamu tak peduli apa yang baik atau buruk di mataku. Makanya, aku sekadar dapat menghela nafas berkali-kali tiap melihat polah tingkahmu.

Saat menjumpaimu pertama kali, kau begitu sederhana, namun saat itu tak terlalu membuatku terpesona. Ya, kau tahu bahwa saat itu aku masih sedang berada dalam fase berambisi untuk  ‘hanya ingin terlihat cerdas’. Kau bahkan kerap menanyakan banyak hal kepadaku, yang mungkin memang lebih banyak tahu daripadamu. Dulu, senantiasa kuanggap bahwa segala hal yang ada di kepalamu hanya hal-hal yang tidak bermutu dan menggelikan. Sementara aku memikirkan tentang perang Irak, hegemoni Amerika, bumper-bumper dalam pemilu, affair beberapa pejabat yang sedang diseret ke bui, dan lain sebagainya — yang terlihat begitu kompleks, kau justru sibuk mempertanyakan apa bedanya kesenangan dan kebahagiaan, mengapa manusia tak pernah merasa cukup, apa yang akan terjadi jika seseorang tak dikenal tiba-tiba mengajakmu menikah, dan lain sebagainya — yang terlihat begitu remeh dan seharusnya tak perlu dipertanyakan.

Namun kini aku menyadari, betapa sebenarnya aku jauh lebih mencintai sosokmu yang dulu daripada yang sekarang — yang sekonyong-konyong menjelma menjadi ikan hias yang ingin terlihat lebih cerdas. Namun sayang, yang hanya dapat kulakukan adalah berteriak-teriak seperti orang kebakaran di belakang punggungmu, sementara kamu tetap menjadi ikan hias yang terus dan semakin ingin terlihat lebih cerdas — tanpa pernah tahu ada yang sedang kebakaran di belakang punggungmu. Jangan dulu menertawaiku, ini adalah semacam bentuk kepedulian yang teramat besar terhadapmu.

Terus terang, sikapmu yang kini menjelma menjadi ikan hias itu sedikit menggangguku. Kutekankan, hanya sedikit menggangguku. Ah, andai saja aku dapat benar-benar menganggapmu sebagai seorang yang cerdas. Masalahnya, kau tidaklah secerdas barometer standarku. Jadi, aku hanya sekadar menghargai usahamu saja.

Di permukaan, mungkin kau berhasil membuat banyak ikan-ikan lainnya menatap takjub padamu. Ah, betapa cerdasnya kamu! Betapa kritisnya kamu! Betapa inteleknya kamu! Tapi pada kedalaman tertentu, kau sungguh-sungguh seorang penyelam yang amat payah, dan kesoktahuanmu itu justru membuatmu ditertawakan diam-diam, atau mereka akan mengatakan bahwa kau terlalu banyak bicara tapi tak paham dengan pokok persoalannya.

Kukatakan demikian karena kau bukanlah pakar yang telah berpuluh-puluh tahun berkecimpung di suatu ilmu tertentu. Kau hanya sekadar penikmat televisi dan surat kabar-surat kabar yang menyesatkan itu. Televisi dan surat kabar tak pernah jujur menyampaikan apapun, dan juga bentuk media yang ‘agak’ pemalas. Itu semua dikarenakan mereka hanya punya space-space terbatas, dan juga selalu tergesa-gesa. Coba kau bayangkan, ada sekian ribu kejadian menarik yang berduyun-duyun ingin menjadi headline, jadi tak akan ada kesempatan untuk mengupas segala sesuatu secara lebih mendalam dan lebih jujur. Jadi, mereka memilih menyebar gosip demi keuntungan materialis semata. Sementara kau memiliki sedikit tipikal yang mudah memamah gosip dan sedikit lemah untuk bersikap obyektif, melainkan cenderung condong pada segala hal yang menyelamatkanmu atau membuatmu merasa tenang, aman, tentram, dan tentu terlihat lebih cerdas.

Aku sudah memperingatkanmu. Maksudku memberimu pandangan yang lebih sopan, untuk tak lagi terlalu ceriwis dan kritis dengan banyak hal — seolah-olah semua asap di seluruh penjuru dunia ingin kau sedot habis dengan paru-parumu. Itu tak menyehatkanmu. Bukan semata karena lika-liku dunia dapat membuat siapapun yang mengikutinya terjerembab pada kubangan nista yang tak membawa kemana-mana selain kesesatan, melainkan karena kapasitasmu pun masih standar saja, sebatas di permukaan. Sekali lagi, perlu kuingatkan bahwa kau bukanlah pakar yang mengetahui semua kedalaman sehingga kekritisannya dianggap berbobot dan berkualitas. Kau hanyalah ikan hias yang menghibur bocah hingga berdecak kagum, sedangkan sebagian lagi tertawa terpingkal-pingkal atas sikapmu. Apa sih, nyamannya menjadi komentator yang ceriwis terhadap masalah skor pertandingan sekaligus harga bawang?

Tuduhanku ini membuatmu sedikit kesal, ya? Apa kau merasa tak bersikap ‘ingin sekadar terlihat cerdas’? Lantas, mengapa kau tampak sulit ikhlas dan rendah hati? Tentu saja aku punya alasan mengapa hingga menjulukimu seperti ikan hias ‘yang sekadar ingin terlihat cerdas’. Ketika ada orang lain yang kemudian mengungkapkan argumen tandingan pada opini-opini omong kosongmu, egomu tak sudi untuk menerimanya sebagai masukan yang menjadi tambahan perbendaharaanmu. Kau jarang sekali, atau mungkin bahkan nyaris tak pernah menyatakan pernyataan yang bersifat jalan tengah. Pikiranmu melulu disibukkan dengan bagaimana cara menyanggah yang terlihat lebih keren. Jadi, orang lain akan segera merasa lelah atau mereka akan berkata dalam hatinya, betapa sia-sianya berargumen dengan orang yang sok tahu dan ngotot merasa paling benar — hanya supaya terlihat sebagai seorang yang (amat) kritis.

Oh ya, saranku, jika kau memang benar-benar ingin terlihat sebenar-benarnya cerdas, jauh lebih baik jika kau mencoba menulis sesuatu semacam ulasan dalam makalah yang disertai dengan uji sample lapangan dan beberapa pandangan dari pakar-pakar yang jauh lebih kompeten dan lahir lebih dulu daripadamu. Itu lebih baik… Sungguh, itu lebih baik… Setidaknya, belajar menjadi seorang ilmuwan jauh lebih bermartabat daripada memupuk diri menjadi seorang kritikus yang kerap mencericit seperti tikus.

Ah, lihatlah! Pencapaianmu sekarang membuatku menjadi terus menggerutu sepanjang waktu, dan ini sama sekali bukan pertanda yang baik. Tulisan ini hanya berisi perasaan kesalku terhadapmu. Tapi aku yang sekarang menjadi sedikit lebih sederhana (ingat, hanya sedikit — lebih sederhana) ini punya keyakinan bahwa segala sesuatunya bisa diubah menjadi lebih baik lagi.

Aku tidak merasa dengki padamu. Sama sekali tidak. Aku pernah mengalami masa-masa sepertimu — yang kuanggap sebagai masa puber dari pertumbuhan dan perkembangan hidup seorang manusia. Mungkin kau merasa bahwa terlihat lebih cerdas akan membawamu pada kepuasan diri. Tapi itu adalah kebohongan besar yang akan kau temui di belakang hari. Semakin tua manusia, semakin ia menyadari bahwa sebenarnya kebutuhannya hanyalah menjadi sederhana. Kurangi sikap skeptismu dan belajarlah untuk menempa pikiran positif pada segala hal — terutama di atas sampah dunia yang bertebaran. Hidup tak pernah memberi banyak, kecuali ketika engkau menjadi lebih baik.

—-

Nah, apakah aku terlihat cukup jengkel padamu?

Terima kasih, tapi kau pun telah meredakan kejengkelanku dengan cukup mengingat-ingat keberadaanmu di sisiku. 🙂

Pertanyaan

Selain dipenuhi darah, rupanya manusia pun (kerap) dipenuhi oleh pertanyaan.

Saya, juga salah satu yang dipenuhi pertanyaan. Bahkan saya pun mempertanyakan mengapa saya terus-terusan bertanya.

Satu yang luput adalah, mengapa saya perlu bertanya.

Tapi rupanya di dunia ini tak hanya saya semata yang (pernah) dipenuhi pertanyaan. Nyaris semua manusia di dunia ini dihinggapi pertanyaan dalam benaknya. Tak terkecuali dengan kawan-kawan saya di twitter yang juga memiliki pertanyaan :

@dyahatam : dia
@HaryatiRya : Apakah aku berbakat menjadi seorang penulis?
@arazliastania : Menghabiskan sisa umur dengan orang yang salah ? (˘̩̩̩╭╮˘̩̩̩)
@aendeikaa : Mau jadi apa aku saat aku besar nanti? 😮
@intanamps : Siapa yg akan jadi teman hidup kelak?
@Yohanakuncup : Apa yg akan terjadi besok?
@GunKuarve : Apa tujuan kita diciptakan di dunia ini?
@diemazbanggala : Siapa admin bintang berkisah?
@chi_richita : Akan seperti apa kehidupanku setelah kematian menjemputku nanti?
@ranggaasatriaa : Menjadi orang kaya, kaya mana pun cara nya harus jadi orang kaya
@tiktwit : Siapakah aku
@koesmethics : Apa arti dari kebahagiaan itu…?
@dienabelo : sudah bermanfaat kah hidup kita ?
@NinnaAyuLestari : Apa keajaiban itu ada ?
@dickyrenaldy : Kenapa tidak ada yg tertulis hari ini ?
@Maulana_Gustti9 : Apa saya bisa membuat sebuah novel dan diterbitkan di toko” buku setiap kota?
@araapratiwi apakah saya sudah menjadi orang yg baik?
@Puspitasarri : Kenapa kakak satu ini ga pernah tersenyum ma kami ?
@dontjudgemyrule : where do we go when we die?
@ranggaasatriaa : Ingin menjadi ayah yang baik
@erdekarini : Kapan nikah?
@widifitriana : Seperti apa nantinya aku akan dikenang?
@MissCoepid : who is my soulmate?
@beingbalqies : berapa lamakah sisa umur saya?
@ZrG_r4zza : Kenapa wanita hanya menginginkan kekayaan dan ketampanan saya saja ?
@rukkariku : Seberapa besar kau ingin tahu?
@ranggaasatriaa : Pengen jadi yg terbaik dari yang baik
@diemazbanggala : Apa aku bisa dgn dia selamanya, seperti harapan ini?
@edelweisbasah : Kapan Persib menjadi juara..
@Irsanramdany hidup untuk belajar/belajar untuk hidup ?
@zaujahmuth : Mengapa bintang bersinar? mengapa air mengalir?
@annisasenja : Aku bisa apa?
@radeakarna : Jadi salah gue? Salah temen-temen gue?
@swannysaja : Bagaimana agar saya bisa melagukan notasi musik?

 

Saya jadi teringat pada sebuah kejadian. Pada suatu kesempatan, saya bertanya pada seorang tokoh, yang konon senantiasa terbuka pada segala macam pertanyaan.
“Boleh saya bertanya?” Saya memulai dengan penuh kesopanan dan rasa hormat.
“Silakan. Apa yang mau ditanyakan?” Beliau menjawab tak kalah sopan.
“Bagaimana hukumnya bertanya?”
……………..
Sampai detik ini saya tak menerima balasan/jawaban apapun dari Beliau.
Waktu itu, saya merasa amat pedih karena diabaikan. Mungkin beliau menganggap saya mempermainkannya. Padahal sungguh, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan terbesar yang bergelayut di benak saya. Pertanyaan yang senantiasa membuat saya gelisah.
Mungkin bagi generasi pembaharuan, banyak bertanya atau bersikap kritis adalah indikasi dari kecerdasan, bahwa seseorang itu memiliki hasrat dan kemauan untuk maju. Lagipula, di jaman yang semakin tidak jelas ini, hidup senantiasa dipenuhi pertanyaan. Pertanyaan adalah tanda kehidupan. Dengan pertanyaan, manusia dapat menggapai jenjang yang lebih tinggi lagi — setelah mendapat jawaban.
Separuh diri saya menyetujui persepsi tersebut. Memang benar, bahwa pertanyaan (pun) dapat membimbing kita menuju inti kehidupan.
Namun di sisi lain, terdapat pula budaya yang menganjurkan untuk meminimalisir pertanyaan. Jangan banyak bertanya, ikuti saja, patuhi saja, nikmati saja! Sekilas memang terlihat sangat menekan. Anti keterbukaan. Namun sesungguhnya ada makna filosofis di balik itu. Ada kebijaksanaan yang terselip di dalamnya.
Dan separuh diri saya yang lain mengamini sikap seperti ini.
Pertanyaan itu ibarat sebuah bumerang. Bisa menyelamatkan (hidup) tuannya dari musuh, namun juga dapat melukai diri sendiri — jika tak lihai menggunakannya. Jika tak proporsional mengelola pertanyaan, maka pertanyaan justru akan menyesatkanmu.
Diakui atau tidak, pertanyaan adalah sebagian besar dari penyebab kegalauan manusia. Apalagi akhir-akhir ini, kita begitu mudah dikelilingi oleh situasi dan kondisi yang menciptakan atmosfer kegalauan. Fatalnya adalah, ketika output tak seimbang dengan input. Ketika kepala kita nyaris diledakkan oleh berbagai pertanyaan yang beranak pinak namun tak kunjung menemukan jawaban yang memuaskan. Bagi jiwa yang dirongrong ketidaksabaran, hal ini hanya akan menimbulkan kekecewaan, apatisme, dan membuat asumsi-asumsi berdasarkan kehendak hati (jika bukan kenaifan diri) — yang belum tentu benar.

Padahal bisa jadi munculnya (banyak) pertanyaan adalah indikasi dari ketidaksabaran manusia. Tidak sabar untuk segera mengetahui jawaban, misteri dari semesta. Ibarat seorang penonton film yang bawel, ribut sendiri bertanya ini dan itu, hingga ia pun lupa cara menikmati film yang terpapar di hadapannya. Padahal toh pada akhirnya film itu berjalan dari permulaan hingga penghabisan. Segala hal yang menjadi pertanyaannya terjawab tuntas melalui alur cerita.

Pertanyaan pun bisa menjadi tanda kemalasan manusia. Terburu-buru bertanya tanpa ada usaha untuk mencari jawaban atau belajar terlebih dahulu. Bukankah fenomena yang sering terjadi saat ini adalah demikian? Ibarat seorang murid yang terus bertanya pada gurunya sementara ia menggenggam buku yang sesungguhnya berisi segala hal yang ia tanyakan. Andaikan kita lebih rajin belajar, niscaya kita akan mengetahui lebih banyak, tak sekedar hal-hal yang hanya kita tanyakan. Sayangnya, kita seringkali malas membuka buku. Kalaupun sekali membuka buku, terbit lagi ribuan pertanyaan. Jika tak berselera, maka kita akan berhenti membuka buku. Tak menyadari bahwa buku yang sedang dipelajari tersusun berjilid-jilid.

Bagi seseorang yang mampu mengelola emosinya,  maka ia akan lebih memilih rajin dan sabar mengikuti proses belajar daripada sekedar bertanya. Hanya melalui belajar ia mendapat lebih banyak pengetahuan. Dan semakin banyak pengetahuan justru memicunya untuk berhasrat mengetahui lebih banyak lagi. Sekali menemukan kunci nikmatnya belajar dan mereguk pengetahuan, maka ia akan senantiasa merasa bodoh karena rasa hausnya pada pengetahuan.

Satu yang perlu digarisbawahi, bahwa mengikuti proses belajar jauh lebih bermanfaat daripada sekedar (terus) bertanya tanpa ada kemauan mencari jawaban atau malah abai dengan jawaban atau sekedar menghabiskan waktu dengan berbagai pertanyaan yang tak ada habisnya. Padahal hidup ini singkat saja, dan banyak hal positif yang bisa kita lakukan.

Sesungguhnya semesta senantiasa memberi jawaban kepada ( segala pertanyaan) manusia. Bahkan tak perlu ditanya pun semesta memiliki kebaikan paling agung, yakni memberi beragam pengetahuan — yang bahkan tak pernah sempat terpikir di benak kita.

Yang kita perlukan hanya sekedar terus berjalan, tak berhenti untuk terus melakukan, tanpa perlu tenggelam dalam ranjau pertanyaan. Apalagi manusia adalah ciptaan yang diberi limpahan berkah arahan bagaimana cara mencari jawaban yang benar, tak sekedar melalui berbagai prasangka.

Memang, pertanyaan tak membuat kita mati atau terjerumus dosa. Namun ketika pertanyaan itu memicu ketidaksabaran hingga apatisme, maka segala kemungkinan (terburuk) pun bisa terjadi.

Segala kemungkinan memang baik. Namun di antara yang baik tentu ada yang terbaik. Terkungkung dalam jutaan pertanyaan dan kegalauan memang baik. Namun sepertinya hati saya jauh lebih tenang jika memilih sikap menjalani saja kehidupan dengan segala kejutan pengetahuannya, dan yang terpenting adalah terus berusaha melakukan yang terbaik, larut dengan kesibukan yang baik.

Yang kita perlukan hanya sekedar kesabaran. Karena hanya orang-orang yang sabar yang memperoleh keuntungan. 😀

Mengapa saya menulis…

Kalau dipikir-pikir, mungkin hidup saya ditakdirkan untuk tak jauh-jauh dari jejak aksara dan kata…

Saya senang membaca sejak pertama kali saya dapat mengeja. Pun rupanya  cenderung menyukai sastra, dan beruntung memiliki sedikit kesempatan untuk bergelut di dalamnya. Dulu, dulu sekali, di saat-saat tersembunyi, saya senang menulis puisi. Kecenderungan menyukai puisi ini beralasan. Pikir saya, itu lebih aman. Saya bisa bersembunyi di balik deretan kata-kata berkias, kalimat-kalimat bersayap. Ketelanjangan membuat saya gugup.

Saya pun bersyukur memiliki kesempatan bersua dengan orang-orang yang membuat  saya semakin cinta pada dunia sastra. Seorang guru saya menjadi salah satu figur bagi saya di dunia tulis-menulis. Juga beberapa orang yang pernah dekat dengan saya, menjadi sumber inspirasi tulisan maupun perjalanan hidup.

Dan saya juga bersyukur memiliki kesempatan berkecimpung di dunia tulis-menulis secara profesional. Menulis sebagai profesi. Kiprah kepenulisan (profesi) itu boleh dibilang bermula dari cabang bidang jurnalistik. Menulis untuk media. Menyajikan cerita dan berita kepada publik. Saya cenderung lebih senang menulis feature, meski dituntut dapat menulis banyak hal. Tapi kadang saya ingin menulis apapun yang ingin saya tulis. Maka adakalanya saya pun memperuntukkan tulisan-tulisan saya yang berbeda untuk media lain. Cara seperti ini membuat saya merasa jauh lebih puas. Sejenak, saya berpikir, inilah sebab mengapa saya menulis.

Namun di balik kiprah tersebut, ada sisi temaram yang terus membuat saya gelisah. Jurnalisme memang membesarkan sebagian dari diri saya, namun saya masih terbelenggu oleh ketidakpuasan. Sekian lama saya memelihara keresahan dalam diri, dan keresahan itu menuntut kawan baik. Sementara itu, hanya aksara lah yang menjadi kawan terbaik saya. Maka saya pun menulis lebih banyak untuk diri sendiri. Terutama, saya mulai lebih banyak menulis fiksi.

Tapi saya masih ingat betul, seseorang pernah mengatai begini pada saya; “kau menulis untuk terapi dirimu sendiri…”. 

Saya sempat menanggapi sinis padanya. Ah, berani-beraninya dia! Jika dia mengatakan bahwa saya sedang ‘terapi’, artinya (secara tidak langsung) dia menganggap saya sakit (jiwa). Saya jadi merasa tersudut.

Namun di sela-sela waktu, ketika saya termangu-mangu sambil menelaah kembali perjalanan diri sendiri, sesungguhnya saya tak terlalu mengelak bahwa barangkali memang betul, saya menulis untuk terapi. Jika ditelusuri kembali tulisan-tulisan saya, terutama fiksi-fiksi yang telah saya buat, saya tersentak oleh sebuah kesimpulan; bahwa saya kerap menulis hal-hal yang muram — meski saya sangat jarang menulis kisah hidup saya sendiri dengan menggunakan kedok fiksi. Sebagai misal, saya kerap membunuh tokoh saya sendiri — jika tidak memerosokkannya dalam kekalahan, kebencian, ataupun kehampaan. Ternyata saya lebih sering merayakan kesedihan dan kegelapan bersama tulisan. Penemuan ini membuat saya tersenyum kecut. Barangkali bagi beberapa penulis, hal ini dianggap sebagai salah satu variasi gaya. Jika mungkin, bahkan boleh lah dianggap sebagai tren — ketika happy ending yang (sempat menjadi) arus utama tak lagi ‘menarik perhatian’.

Sempat pula saya mampir pada fase dimana menulis adalah bagian dari obsesi. Namun perjalanan (hidup) membuat saya telah meninggalkan fase itu ke belakang. Saya tak hendak mati dalam ketegangan.

Hingga sampailah saya disini, yang mana kemudian saya berpikir bahwa sebenarnya kebahagiaan hidup pun bisa ditempuh dengan jalan berbagi. Andaikan saya memang hanya sanggup menulis, maka yang bisa sekedar saya usahakan adalah berbagi melalui tulisan. Terutama tentang hal-hal yang positif. Entah itu semangat, inspirasi, ataupun informasi.

Acapkali tulisan memang adalah cermin dari pemikiran/kehidupan penulisnya. Maka saya pikir, barangkali akan jauh lebih bijak jika saya menulis lebih variatif supaya diri ini seimbang. Saya belajar untuk menciptakan atmosfer yang lebih berwarna, terutama kepada pembaca yang saya muliakan. Saya belajar untuk tak lagi (melulu) menulis tentang kemuraman. Andaipun ingin menampilkan demikian, setidaknya saya berusaha untuk menyampaikan makna positif. Sejauh ini mungkin tak selalu berhasil. Saya memang masih banyak belajar karena saya adalah seorang dengan begitu banyak kekurangan.

Saya pun belajar untuk tak lagi membebani tulisan-tulisan dengan obsesi yang keterlaluan supaya saya tak terlalu kelelahan. Pikirkan dan lakukan saja apa yang bisa saya lakukan saat ini, hari ini. Jika saya hanya bisa menulis, maka tantangan saya hanya sekedar menulis (yang baik) untuk hari ini. Andai hidup saya berakhir sekarang, toh saya tak peduli dengan apa yang terjadi setelah itu, juga tak mau terbebani memikirkan nasib jejak sejarah diri saya sendiri. Sudah bukan menjadi urusan saya, karena semesta ini lebih berkuasa menentukan jalan cerita bagi setiap hidup manusia. Kita hanya sekedar wayang yang tak bisa bebas mewujudkan kemauan menjadi kenyataan. Maka biarlah saya menulis karena hari ini saya ingin menulis. Jika lelah, itu tanda bagi saya bahwa sudah saatnya untuk tidur, untuk berhenti sejenak sambil menikmati hijaunya dedaunan, lapangnya angkasa malam, dan riuhnya arena kehidupan.

Memang, bahkan proses menulis pun adalah refleksi perjalanan yang kita lalui. Sah-sah saja memiliki alasan apapun untuk menulis. Manusia tidak statis. Saya percaya, bahkan dengan menulis pun manusia mampu membesarkan dirinya sendiri — jiwa dan batinnya. Seperti halnya kawan-kawan saya di twitter, yang mengemukakan alasan mengapa mereka menulis :

@AA_Muizz : Seneng aja, sekalian curhat.
@Ikafff : karena pengen. Hehe.. Lagipula, menulis itu kan jejak bahwa kita pernah hidup dan menghidupkan..
@Maulana_Gustti9 : Karena angin dapat membaca
@NPandela : Suka.. Ungkapan kata dan imajinasi bisa dituangkan dalam bentuk tulisan sesuka hati
@shantyadhitya : buat meditasi diri
@tiaraauliaa : Karna lisan tak lihai seperti tangan
@widifitriana : krn ga ada alasan buat gak menulis, jd kenapa harus enggak menulis?
@sindyshaen : karena menulis membuat saya tetap hidup dan ‘gila’
@sarahgarcias : Writing for healing :p
@SuryawanWP : Karena menulis itu mengabadikan.
@annisasenja : Biasanya krn pengen lari dr carut marut dunia nyata
@kisahkasih_ : karena banyak rasa yg tidak terucap..
@ydkzk : Karena lebih baik menulis daripada mencuri.
@Uss_2392 : Karna sulit bicara,. Eh
@Chalinop : karena ada kumpulan kisah yg ingin diceritakan
@astarindah : Karena menyenangkan dan membebaskan….
@eroscaaa : Karna banyak yg tak terungkap dg kata, tp mampu terjabar dlm tulisan
@slmaslma : utk saat ini,buat komunikasi sm diri sendiri
@siputriwidi : karena sudah terbukti, aksara tertulis melambungkan rasa & imajinasi lebih hebat daripada gambar atau film sekalipun!
@haryasti : Karna lbh bebas menulis
@FebrianaLubis : karena terkadang pikiran tidak bisa kita ungkapkan melainkan dituangkan dlm pena tulis.
@miamels : Karena menulis itu mengalihkan perhatian
@ayuaryaaryo : Melatih otak mengungkapkan apa yang tdk bs dikatakan secara langsung
@fayihade : Menyalurkan kegilaan…drpd gila beneran
@koesmethics : Karena ada yg mau ditulis
@araapratiwi : karena ada beberapa hal yg kita tdk bisa ucapkan, tp kita bisa tuliskan. jadi, buat memorable jg buat diri kita sendiri
@intanamps : karena nulis itu curhat (mostly)
@nyinyanyi : karena butuh..
@adedek90 : karna ingin menuangkan imajinasi yg tengah melanglang buana…
@lolaorett : Untuk memberikan rumah bagi imajinasi yang mengembara
@chi_richita : Karena lebih leluasa berbicara lewat aksara
@_edenia_ : Karena asik!
@chocodit : karna terlalu banyak kata2 yg tercecer di otak. Jadi keluar diluapkan lewat tulisan aja
@RestuSA_ : Menulis itu mengaktualisasikan diri. Atau mengabadikan diri.
@child_smurf : menulis itu melegakan hati, dan membantu membekukan kenangan
@nenibintang : biar legaa..
@swannysaja : Karena suka sensasinya ketika bisa menyusun kata-kata biasa menjadi kalimat yang tak biasa.
@dienabelo : karena menulis itu bagian dari hidup
@SeiraAiren : Karena dengan menulis aku bisa menjadi apapun yang kumau.. Bahkan membunuh orang pun dihalalkan.
@titonas : karena aku bisa melihat bulan, tanpa menatap langit. mendengar ombak tanpa pergi ke laut.
@da_armstrong : Karna banyak hal yang baru bisa dimengerti kalau ditulis terlebih dahulu
@Rahmi_AprilR19 : Karena dengan menulis aq bisa melepas rasa yg terpendam di hati, hidup adlh sejarah n sejarah itu dpt dilihat melalui tulisan
@DestyDasril : karena menulis adalah terapi yg plng dahsyat untuk mengeluarkan semua rasa yg mengendap di dada, meski duka, luka dan juga suka.
@mumuu_taro : cuz i can make my own world and i’ll be everything i want there.

 

Apapun sebab menulis, saya berdoa semoga segala sebab itu menjadi sebuah kursi roller-coaster yang mengantarkan kita pada tingkatan yang lebih baik. Pencapaian yang baik, kehidupan yang baik, dan semangat jiwa yang lebih baik.

Menulislah apapun yang ingin kau tulis. Selamat menulis! 😀 

Tentang cinta yang baik….

Pada beberapa waktu lalu, saya mencoba berbagi pendapat dengan tuips di linimasa; menurut mereka, seperti apakah (definisi) cinta sejati. Banyak ragam yang mereka lontarkan. Saya yakin, apa yang terucap adalah sari dari pengalaman masing-masing. Terselip kekaguman, betapa perjalanan (hidup) ternyata memberikan kekayaan hikmah dan pengalaman. Sebuah pelajaran yang – meski belum tuntas, semoga bernilai sangat berharga.

 

Ini beberapa dari  pendapat mereka :

@TengkuAR : cinta yang baik itu di dalamnya terdapat kata ‘saling’. Baik atau buruk.

@bangimal : yang terbalas *siyul-siyul*

@EveningStand : Cinta yang nggak ada tanggal kadaluarsanya.

@istiauliany : Mencintai karna kekurangan pasangannya.

@ch_evaliana : sprti hot cappuccino, foamnya yg lembut, agak sdikit pahit namun meninggalkan rasa manis hngga tetes terakhir.

@Lidya_yang seperti menerbangkan layang-layang.. lepasin sedikit, tarik lagi, lepas lagi, tarik lagi.

@ajieaqib : Yang tak mengotori hatimu.

@Maulana_Gustti9 : yang sedikit memberi kesalahan tp setelah itu saling memaafkan karena semakin dewasa.

@dbrahmantyo cinta yang baik adalah . . . yang memberi bukan hanya menerima.

@Yohanakuncup : yang nggak melibatkan buka baju.

@jaja_nu : Yang ikhlas, meski tanpa balasan.

Sedangkan menurut pendapat saya, cinta yang baik adalah yang tidak melawan nurani.

 

Nurani bukan sekedar kata hati, karena hati kita pun masih tersusun atas selubung yang berlapis-lapis, bertingkat-tingkat. Namun seringkali kita salah mengartikan; bahwa apa yang sebenarnya merupakan tuntutan kehendak acapkali kita artikan sebagai kata nurani. Padahal kehendak sesungguhnya berhulu pada ego. Ego hanya bicara mengenai kenyamanan dan kepuasan diri sendiri semata, tak peduli salah atau benar. Sedangkan nurani hanya menyuarakan kebenaran, tak peduli nyaman ataupun tidak nyaman. Barangkali itu sebab seringkali dikatakan bahwa sesungguhnya rumah tuhan berada dalam hati manusia. Maka nurani lah tempat Dia berada.

Dulu manusia buta, tak tahu mana yang bagus mana yang tak elok, mana yang benar dan mana yang kurang tepat. Acapkali kita terjebak antara kehendak dan kata nurani. Namun sungguh, kita harus bersyukur karena sekarang sudah memiliki banyak petunjuk yang memperjelas mana yang bagus dan mana yang tidak bagus, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Bersyukurlah kita karena rahmat yang mencerahkan. Karena selanjutnya, nurani lah yang akan menjadikan petunjuk bagi kita untuk mencapai sebuah tujuan yang paling baik. Dan ego semata lah yang menjadikan penerang hidup kita menjadi kelabu, semakin sendu.

Inilah yang menjadi dasar alasan saya; bahwa cinta yang baik adalah yang tidak melawan nurani. Juga tidak membutakan diri atas nama ego dan kehendak. Sebetapapun indah dan menyentuh perjalanan dan perjuangan cinta, jika melawan hati nurani takkan menjadi sebuah kebaikan. Riak-riak ombak hanya pemukau untuk mata manusia, tapi mata hati melihat jauh lebih dalam. Kita hidup bertujuan. Mereka yang (sempat) kehilangan tujuan hanyalah mereka yang sempat terombang-ombing dalam ombak nurani dan ego yang amat dahsyat. Jika tak ingin terombang-ambing, mari berusaha lebih keras untuk memperbesar nyala penerang. Nyalakan pelita hatimu, terangkan nuranimu. Oleh karena itu, sebelum memperjuangkan (cinta), ada baiknya untuk memastikan terlebih dahulu bahwa cinta itu memang patut diperjuangkan. Dan hanya cinta yang baik yang patut dan harus diperjuangkan.

Semisal, saya takkan setuju bahwa seseorang yang memperjuangkan (ia menyebutnya) cinta dengan seseorang yang telah berpasangan resmi adalah hal yang baik, apalagi benar. Sedramatis apapun lika-liku perjalanannya, takkan mengubah racun menjadi secawan madu. Pertama, tak ada hukum manapun yang membenarkan perbuatan merusak ikatan suci pasangan lain. Kedua, apakah menyakiti hati orang lain adalah sebuah kepuasan? Tentu saja nurani kita memiliki segala pengetahuan macam ini. Jika masih ada beribu alasan untuk berdalih, coba dengar baik-baik, atau pastikan dulu dirimu sendiri – suara dari manakah yang sejatinya ingin kau dengar. Adakalanya kita perlu belajar mendengar dengan baik apa yang diutarakan dalam diri.

Semisal, saya takkan sependapat bahwa seseorang yang memperjuangkan (ia menyebutnya) cinta dengan cara-cara yang mengintimidasi adalah sebuah perbuatan yang baik. Semesta telah sepakat bahwa menyakiti, dalam konteks apapun, tak dibenarkan. Baik itu menyakiti batin, apalagi fisik. Barangkali bagi sebagian, cinta adalah penderitaan. Namun sesungguhnya penderitaan yang kita peruntukkan diri sendiri masih jauh lebih bermartabat daripada penderitaan yang (sengaja) kita ciptakan untuk orang lain. Ungkapan ‘pikirkan dirimu sendiri, baru orang lain’ memang ada benarnya. Namun kita pun perlu berhati-hati, karena penafsiran yang kebablasan justru akan menggelincirkan hidupmu. Disadari atau tidak, semesta menghubungkan semua partikel yang ada dalam rengkuh peluknya. Ketika kita menyakiti apa yang ada di luar diri kita, sesungguhnya kita pun berproses menyakiti diri sendiri.

Andai punya waktu berlebih, sisakan sedikit untuk berkontemplasi dan berefleksi, menelusuri seluruh jalan hidup lamat-lamat. Pelan namun pasti, kita akan menemukan bahwa segala kejadian adalah sebuah kewajaran, sebuah pembayaran.

Pada akhirnya, perjalanan hidup manusia akan mengantarkan kita pada satu titik – dimana kita (se)harus(nya) memperjuangkan nurani. Bukankah hidup adalah perjuangan ?

 

Ini hanyalah sekedar persepsi. Barangkali tak ada yang begitu penting untuk diamini. Saya hanyalah seorang pejalan yang juga berlomba menuju tujuan sempurna dan berminat untuk berbagi, juga saling melengkapi. Seandainya apa yang ada di sini memberi manfaat atau menginspirasi, semoga menjadikan lebih baik.

Tentang Pertemuan yang Terselip…

Pernahkah engkau mengharap sebuah pertemuan dengan seseorang?Tentunya adalah pertemuan yang indah, yang berakhir bahagia

Saya rasa, setiap orang pasti pernah mengalami masa seperti ini. Masa mengharapkan pertemuan. Dan hukumnya, semakin kuat kita mengharap pertemuan tersebut, semakin dalam perasaan yang berkecamuk di hati.

 

Berbicara tentang pertemuan, saya pun punya kisah tersendiri mengenai  ini.

Tak beda dengan engkau, atau dengan siapa saja, saya pun mengharap sebuah pertemuan. Tepatnya pertemuan dengan seseorang. Kendati demikian, apa yang saya harapkan adalah sebuah pertemuan yang sempurna, pertemuan tanpa ada rasa terpaksa, tanpa ada rasa kikuk, tanpa ada rasa bersalah di hati. Juga bukan pertemuan di saat yang tidak tepat, pertemuan yang tak meninggalkan kesan apapun atau malah pertemuan yang membawa persoalan. Saya hanya mengidamkan pertemuan yang menyenangkan, melegakan, dan membahagiakan.

Dengan membabi buta, saya berpegang teguh pada keyakinan kuat — bahwa suatu saat nanti, pertemuan itu pasti akan terjadi. Entah bagaimana caranya, saya tak lagi sanggup mengimajinasikannya. Kalaupun saya mengadakan berbagai usaha, sesungguhnya itu hanya untuk menggenapi kesempurnaan doa dan harapan.

Sebenarnya jika saya memang hendak memaksakan diri, sangat mudah untuk mewujudkan pertemuan itu. Bahkan jika saya mau, hanya dalam waktu satu jam ke depan saja saya sudah dapat bertemu dengannya. Namun bukan itu yang hati saya inginkan. Saya hanya menginginkan sebuah pertemuan yang ikhlas. Maka saya pun tak hendak merayu-rayu atau memaksanya supaya mau bertemu dengan saya. Andai saya memang harus merayu, maka biarlah saya merayu Yang Memiliki Ruh dan Jiwanya. Jika saya harus melakukan berbagai macam upaya, maka biarlah saya melakukan banyak hal untuk-Nya yang mampu membengkokkan atau meluruskan hatinya. Demikianlah…

 

Namun entah, akhir-akhir ini saya merasa sedang diuji. Ego dan kesabaran yang diuji. Andai fragmen kehidupan saya tertayang dalam sebuah sinetron, barangkali jika saya pun sebagai penonton, maka saya akan terlonjak-lonjak di sofa dan menggigiti bantalan kursi lantaran gemas.

Hingga saat ini, pertemuan itu belum terjadi. Namun ajaibnya, selalu nyaris terjadi.

Di hari Senin, saya berencana pergi ke perpustakaan umum. Namun tiba-tiba saya berubah pikiran begitu saja, dan membatalkannya. Akhirnya, tanpa direncanakan, saya malah pergi ke gala pertunjukan. Perihal keputusan-keputusan yang berubah secara tiba-tiba itu sebenarnya sudah menjadi tabiat saya.
Namun sungguh, siapa yang sanggup menyangka kalau ternyata seseorang yang ingin sekali saya jumpai justru pada hari tersebut pergi ke perpustakaan umum!

Atau… di hari Kamis, saya pergi ke taman kota pada pukul 15.00 hingga pukul 16.00. Ternyata seseorang yang ingin saya jumpai pun mengunjungi taman kota tersebut. Hanya saja, ia tiba pada pukul 16.15, saat saya sudah meninggalkan tempat tersebut…

Akhir-akhir ini, kejadian seperti ini begitu sering terjadi. Bahkan pernah berlangsung hingga tiga hari berturut-turut. Jika hanya sekali dua, barangkali saya tak terlalu memikirkannya. Namun kenyataannya, ini benar-benar terjadi berkali-kali, dan bertubi-tubi. Takkan saya pungkiri bahwa itu sempat membuat dada saya terasa sesak. Seandainya gejolak di hati saya bertanya, ‘ada apa ini sesungguhnya?’ — maka sepertinya pertanyaan tersebut lebih tepat saya alamatkan kepada semesta.

Seperempat diri saya menyesali, mengapa saya tak jadi ke perpustakaan umum atau mengapa saya tak berlama-lama sejenak di taman kota. Mungkin seandainya begitu, saya akan dapat bertemu dia. Namun jika dipikir secara logis, siapa pula yang bakal mengetahui kemungkinan yang ‘nyaris’ ini ?
Sementara itu, tiga perempat dari diri saya berteriak-teriak lantang mengingatkan; “ini adalah ujian dan cobaanmu sebelum engkau dipertemukan dengan cara yang bahagia. Seberapa sabar-kah dirimu! Seberapa besar-kah asamu! Seberapa kuat-kah engkau menjaga dirimu!”

Maka akhirnya saya pun memutuskan untuk teguh dengan keyakinan saya ‘bahwa pertemuan yang indah itu pasti akan tiba di saat yang lebih tepat’, serta mempergiat doa dan rayuan pada Yang Memiliki Hatinya.

Bibir hanya mengejawantahkan ucapan hati — yang terus-menerus merapal harapan akan pertemuan.

Tentang bagaimana saya ataupun dia (bisa-bisanya) memikirkan tempat yang sama, selama ini saya memegang teguh keyakinan bahwa sesungguhnya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Hanya saja, kadangkala kita tak pernah atau sulit mengerti bahwa semesta kerap memiliki sebuah permainan tersendiri untuk manusia. Permainan yang sesungguhnya lebih seru dan lebih menarik dari rencana sempurna manusia. Pengetahuan dan logika kita saja yang terbatas. Demikian pula dengan kesabaran.

Atau barangkali dapat pula terjadi kemungkinan bahwa sesungguhnya hati kami telah dipersambungkan. Pikiran-pikiran bawah sadar kami saling berbicara dan bersahutan melalui dimensi tak kasat mata. Semesta memantulkan tiap getaran harapan yang terucap dengan caranya sendiri. Hanya jiwa kita saja yang masih terlampau kasar, sehingga tak peka dengan apa yang sedang terjadi. Bisa jadi… Bisa jadi begitu, bukan ? 😀

Seandainya selipan-selipan pertemuan itu terjadi lebih banyak lagi, lebih sering lagi, maka itu akan semakin meyakinkan saya bahwa Sang Sutradara Kehidupan sedang menyusun skenario yang indah untuk suatu saat yang lebih tepat nanti. Apapun kehendak-Nya adalah benar-benar di luar kuasa saya. Kemampuan saya hanya sebatas berusaha sekuat dan sekeras mungkin untuk senantiasa menjadi tokoh protagonis di hadapan-Nya.

 

Kalaupun hingga detik ini saya masih menggenggam erat harapan, itu hanya berfungsi untuk lebih memperpanjang hidup  saja. Hanya dengan harapan maka kita dapat menghidupkan diri kita…

 

Mari kita nantikan pertemuan itu — seberapa pendek atau panjang waktunya.
Karena sesungguhnya yang memperpanjang harapan adalah imajinasi tentang pertemuan….

“Seandainya kita bertemu, engkau harus tahu bahwa kejadian itu bukan semata keajaiban, melainkan adalah perjuangan.. buah perjuangan doa…

sumber gambar : redbubble.com

RUMAH

Seperti apa rasanya saat berada di rumah?

Dimanakah rumah kita? Rumahku? Rumahmu?

Jujur saja, hingga sekian lama, sulit bagi saya untuk mendefinisikan dan menerjemahkan ‘rumah’ secara tepat dari bahasa hati saya. Maka itu, di suatu siang yang penuh kelonggaran, tanpa hujan di bulan juni atau tanpa senja yang membungkus bumi, saya bertanya pada para sahabat di twitter — apa definisi rumah bagi mereka, dan seperti apakah bentuk rumah ideal dalam benak mereka.

jawaban-jawaban menarik itu antara lain :

@erdekarini : rumah adalah tempat dimana kita bisa bebas menjadi diri sendiri dengan baju terjelek sekalipun..

@shantyadhitya : tempat aku menyambut suami pulang dgn senyum, walau ia pulang dgn bt n capek…

@annytasumarya : tempat ternyaman walaupun kondisi se-amburadul apapun…

@inooong : ada ayah, ada ibu, aku, kedua kakakku, adik, dan kami bahagia di dalamnya…

@teh_inong : Rumah yg ideal adlh rumah yg membuat semua penghuninya selalu rindu untuk pulang…

@yunita_rahma : yang selalu ada senyum walau perih, selalu ada kata dan cerita sehingga ikatan penghuninya lebih kuat… yang mungil, cukup untuk anggota keluarga, yang punya halaman walau tak lebar, ada pohon mangganya… 😀

@putrasennovbil : rumah yang menawarkan keindahan rohani kak 🙂

@meydianmey : “RUMAH” adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang setia memikirkanmu (Naruto) ☺

@GunKuarve : medium, tenang, minimalis, sejuk, teduh, full sama entertainment, plus 3 penghuni dan itu keluarga

@hajjarKhaliz : Yang ada pintu kemana saja 😀

@SeiraAiren : Rumah adalah, tempat yang membuatmu melupakan apa yang kau kerjakan diluar

@annisa_anggiana : Rumah yang ideal adalah yang dibagi dengan orang2 yang dicintai.. Home is where the heart is.. 🙂

@Andry_Tulung : yg ideal buat ane seh, yg memiliki halaman yg asri n rindang.. n berpagarkan tanaman.. Tdk terlalu besar

@Ra_nana87 : tempat yg paling dituju & dirindukan disela-sela hiruk pikuk dunia. Rumah membuat kita memahami makna kata “pulang”

@kira_gitu : rumah ideal adalah berisi keluarga yg saling menyayangi ga peduli bentuk rumahnya

@ariansilencer : rumah ideal adalah yang dihiasi dengan kecintaan pada Tuhan

@Djuita_Djui : Rumah dgn banyak ventilasi dan taman kebahagiaan

@atriasartika : punya taman yg luas,jendela yang besar, & setiap dinding di ruang keluarga terdiri dari rak yg penuh buku hingga langit2

@Sesihel : ga perlu ada kolam renang. Yang penting suasananya adem, baik karna pohon rindang atau suasana keluarga yg damai

@ahkeram : ada tempat dimana kita bisa merasakan alam buatan kita, seperti tanaman dan tempat hewan..

@juzzyoke : tempat dmn kita selalu ingin pulang kembali. Kalau tdk ada rasa ingin pulang, maka rumah itu hanya bersifat fungsional,tdk ideal

@HestiDewi : sederhana tetapi di dalamnya penuh kehangatan dan kasih sayang 🙂

 

Dari jawaban-jawaban tersebut, kiranya dapat saya simpulkan bahwa

— rumah adalah yang membuat kita merasa nyaman —

Bentuk rumah yang seringkali akrab bagi saya adalah rumah yang besar, dengan halaman yang luas, taman yang asri, jendela yang lengkap, tinggi atap yang proporsional, angin sepoi yang bebas keluar masuk, beberapa binatang peliharaan, hingga kenyamanan-kenyamanan lain yang tersaji di dalamnya.

Namun nyatanya, saya seringkali dihinggapi pertanyaan galau dalam diri saya; “benarkah ini adalah ‘rumah’ saya?”

Kebetulan saya adalah seorang yang dikaruniai kegelisahan sepanjang waktu. Kegelisahan-kegelisahan yang kerap mencengkeram benak dan batin saya menjadikan saya tak sedemikian tenang menikmati sajian ‘rumah’. Hal-hal yang  benar-benar sanggup menghibur saya adalah mimpi (ketika tidur) dan angan-angan (ketika terjaga). Selebihnya, saya senantiasa terjerembab dalam kubangan berbagai pertanyaan dan pencarian.

Saya paham, senyatanya hidup ini hanyalah melulu berisi masalah. Demikianlah Tuhan menakdirkan hakekat kehidupan di dunia. Tanpa masalah, manusia takkan mendapat jalan pencerahan. Tanpa masalah, manusia takkan dapat menemukan jawaban. Dan tanpa masalah, Tuhan takkan dapat menentukan mana yang pantas dikasihsayangi atau sebaliknya.

Namun setiap kali saya terganggu oleh kecamuk-kecamuk yang tak juga surut, saya cenderung untuk melangkahkan kaki, kemanapun. Barangkali inilah salah satu penyebab yang membuat saya menjadi sosok yang cenderung berpetualang dan berperjalanan. Dimanapun, kemudian saya mencoba untuk menciptakan ‘rumah-rumah’ saya sendiri. Saya mencoba menyamankan diri dengan dunia kecil saya. Menikmati kamar saya, ruang-ruang saya, menyerap kesederhanaan atau kenestapaan saya, atau sekedar mereguk beberapa teguk cinta, kepuasan, dan kedamaian fana.

Namun lagi-lagi saya demikian sulit untuk terus merasa damai dengan apa yang ada. Bahkan kenyamanan dan kenikmatan yang saya usahakan sendiri pun pada akhirnya seperti semacam mainan yang pada saatnya saya sudahi karena merasa bosan atau barangkali merasa sudah waktunya melakukan aktivitas lain. Bagaimanapun, ‘mainan’ bukanlah apa yang benar-benar saya pikirkan meski membuat saya merasa nyaman dan terhibur. Saya masih sedemikian mencandu pada kegelisahan yang terus menggelinjang. Sampai pada satu saat, saya mencoba untuk menapak ‘pulang’. Benarkah dengan ‘pulang’ saya akan menemukan ‘rumah’? Saya kembali menyusuri titik-titik yang pernah saya lalui, atau yang pernah saya hinggapi.

Kenyataannya tak sesederhana itu. Barangkali karena jiwa saya yang terlampau ringkih, maka kegelisahan itu masih saja merajalela. Ada saat-saat dimana saya menemukan ‘rumah’ yang terlalu ‘hiruk-pikuk’, ada saat-saat dimana saya menemukan ‘rumah’ yang ‘tak ada siapa-siapa’ di dalamnya.

Hingga pada satu titik, saya menyimpulkan bahwa sesungguhnya saya tak memiliki ‘rumah’ dimanapun jika yang saya harapkan adalah sebuah rumah yang mampu menghabisi semua kegelisahan saya. Di mata saya, semesta hanya menawarkan perjalanan dan terus-menerus perjalanan. Sedangkan kita hanyalah jiwa-jiwa pengembara yang sebagian terlalu pintar atau sebagian terlampau bodoh. Adakalanya semesta tertawa terbahak saat kita hanya memiliki kaki-kaki kecil untuk menyusuri sepanjang lika-liku perjalanan, dan adakalanya semesta mencibir sinis saat kita justru memiliki terlalu banyak kendaraan canggih. Ada beberapa yang lebih berminat menikmati sepuas-puasnya setiap persinggahan, ada beberapa yang sibuk memunguti batu-bata demi membangun ‘rumah’ masa depan.

Sementara bagi saya, ‘rumah’ dapat saya temukan hanya pada saat saya menutup mata. Rumah yang mewujud dalam mimpi dan imajinasi, atau rumah yang mewujud saat tiba akhir perjalanan saya. ***

Era puisi yang meng’tsunami’…

Aku ini binatang jalang                                                                                                            dari kumpulannya yang terbuang

…..

Siapa yang tak kenal penggalan sajak diatas? Bahkan bocah-bocah berseragam putih merah akan dapat menyebutkan nama sang penyair dengan tepat. Begitu pula para ibu rumah tangga, sopir taksi, tukang kredit, juragan minyak tanah, pegawai rumah sakit, dukun jadi-jadian, penyewa topeng monyet, atau barangkali juga kuli dermaga yang pernah mengalami drop out saat kenaikan kelas dua di SLTP tiga puluh tahun lalu.

Jika dicari-cari sebabnya, pasti akan tersebut banyak jawaban; dari yang paling tepat, hingga yang sok dikait-kaitkan.Padahal saya yakin, pada jamannya, sebenarnya ada beberapa penyair yang tak kalah elok. Namun mengapa Chairil Anwar tampak yang sangat mencolok? Mengapa hanya puisi ‘jalang’ itu yang terdapat dalam buku-buku wajib diktat bahasa Indonesia? Apakah ini mengandung semacam siasat politik atau memang murni sebuah prestasi?

Puisi, meski telah eksis sejak jaman Mesopotamia, namun seringkali menjadi sajian eksklusif yang sebenarnya tak banyak dinikmati, melainkan hanya beberapa saja yang memang senang, cinta setengah mati, atau banyak paham tentang puisi. Mungkin dikarenakan puisi kerap menggunakan ungkapan-ungkapan bersayap, yang membuat orang-orang yang sudah banyak masalah dalam hidupnya jadi enggan untuk mencari-cari tahu makna tersirat atau keindahan dari puisi.

Dari kubu yang lain, sebenarnya para penyuka puisi atau bahkan para penyair itu sendiri tak sedikit yang mencoba setia dengan seleranya. Entah karena mereka memang memutuskan untuk giat menyelami puisi dengan rasa cinta yang pekat, atau sekedar menikmati kata-kata indahnya yang berirama, yang kedengaran merdu di telinga, juga di hati. Selain itu, jangan pernah lupa bahwa puisi pun adalah bentuk tulisan yang lebih banyak melibatkan rasa, mengandung emosi. William Wordsworth sendiri mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Barangkali itu sebab puisi memiliki peluang untuk lebih mudah disukai dan dicintai. Karena mereka sesungguhnya lebih dekat dengan perasaan, menerjemahkan kegelisahan jiwa melalui jalan keindahan.

Namun sejak jaman Homer hingga Pablo Neruda, jaman angkatan 45 hingga angkatan reformasi, toh perkembangan puisi hanya begitu-begitu saja. Puisi seringkali menjadi sajian eksklusif yang dimamah sebagian orang yang memang menyenanginya atau berniat sungguh-sungguh mencari-cari dan menyelaminya. Di samping itu, barangkali kita pun boleh menyalahkan media dan kesempatan yang kerap menganaktirikan puisi. Itu sebab para penulis fiksi memiliki lebih banyak peluang untuk lebih populer, pun terlihat bahwa massa mereka lebih besar dibanding massa para penyair. Orang awam akan dengan mudah menyebutkan sepuluh pengarang novel daripada sepuluh penyair. Bahkan sebagian antusias memperbincangkan isi cerita novel-novel populer bak menggosipkan artis panas. Namun ketika membicarakan puisi, mereka akan menjawab, “puisi yang mana? siapa yang mengarang? manusia juga – kah?” Di antara seratus buku yang terpajang rapi di deretan rak toko buku besar, hanya terdapat satu atau dua buku puisi yang terselip diantaranya.

Pertanyaannya, sejak kapan masa itu berakhir? Jangan-jangan, generasi (ter)kini bahkan telah lupa bahwa puisi pernah menjadi sebuah seni yang cukup eksklusif. Pasalnya, puisi kini telah menjadi semacam gaya hidup yang mulai banyak disukai siapa saja, sudah merambah ranah konsumsi awam — meski masih dalam bentuk yang terbatas. Kita patut berterima kasih pada kecanggihan teknologi IT. Di era yang semakin transparan ini, kata-kata yang terbungkus dalam bait-bait sajak bukan lagi milik para penyair-penyair yang telah di’baiat’ menjadi seniman secara resmi – melainkan milik siapa saja. Puisi dapat ditemukan dengan mudah dimana saja, dan siapapun juga dapat dengan mudah belajar darinya. Ibarat roti, kini tak lagi dikonsumsi oleh para orang kaya seperti pada jaman penjajahan dulu, melainkan sudah dinikmati oleh kalangan manapun.

Sebut saja twitter, salah satunya yang menggiatkan gerakan sajak menyajak. Media jejaring sosial yang telah menghubungkan sekian juta penggunanya dengan memperpendek jarak hubungan ini berjasa amat besar dalam mensosialisasikan puisi — meski dalam keterbatasan 140 karakter. Saat ini, begitu mudah kita temukan kata-kata indah yang memantul-mantul di linimasa. Sajak dalam 140 karakter itu seolah merupakan sebuah aliran arus tersendiri, yang mengungkapkan luapan perasaan dengan cara yang lebih elegan, lebih anggun, lebih memikat. Tak heran jika para pemilik akun yang kerap menggulirkan sajak-sajak singkat itu lekas menjadi primadona di dunia twitter. Mereka mudah menggapai massa, meraup banyak pengikut melalui kepiawaiannya menyentil emosi dengan kata-kata indah. Untuk saat ini, tanpa twitter, sajak-sajak indah itu takkan lekas sampai ke hati sekian puluh ribu pengguna twitter yang beragam latar belakang.

Kendati demikian, twitter sebagai media memang hanyalah sebuah alat yang notabene benda mati. Bagaimanapun, fenomena gerakan sajak yang sepertinya mulai meng’tsunami’ ini pun tak lepas dari andil para pemilik akun yang konsisten menelorkan sajak-sajak. Tanpa usaha yang telaten, gerakan sajak takkan sebesar ini. Tanpa Hasan Aspahani, Aan Mansyur, Joko Pinurbo, maupun para penggiat puit-tweet lainnya, masyarakat awam yang kini mulai gemar bersosialisasi melalui twitter takkan mengenal dan memamah sajak dengan sedemikian rakus. Harap dimaklumi jika tren puit-twit berbiak dan bertumbuh kembang dengan pesat. Andil terbesar, salah satunya berkat jasa para penggiat yang gigih. Puisi tak lagi milik segelintir orang, melainkan milik siapa saja yang (sudi) meminatinya. Bukan lagi makanan yang sukar dikunyah, melainkan jenis snack yang ramah sekaligus renyah.

Kendati demikian, setiap kejadian selalu memiliki efek positif maupun negatif. Tak terkecuali dengan munculnya persepsi yang baik atau mungkin tidak baik. Namun jika saya boleh memilih, maka saya akan lebih senang menghidupkan pikiran positif atas gerakan pui-twit yang sedang gencar. Puisi adalah budaya yang baik, dan mem-puisikan masyarakat pun bukan perbuatan tercela. Hati memerlukan selingan, rasa butuh keindahan. Jika masing-masing dari kita senantiasa mendukung untuk saling mengajarkan, saling menguatkan, dan saling menghibur, alangkah indah dan damainya dunia ini.

Satu ungkapan terakhir yang saya kutip dari @hurufkecil — demi menyambut era puittwit-puittwit yang bertebaran,

“Mari merayakan kata-kata!” 😀