“Kalau aku nggak boleh kawin dengan Hans, lebih baik aku mati sajaaa…. Huhuhuuu….”
Brakk! Pintu kamar tertutup keras, nyaris menggoncangkan apa saja, termasuk hati setiap manusia yang mendengarkannya. Sarwendah segera menggedor-gedor pintu, sementara Ngatiman hanya sanggup bisu sembari mengisap rokoknya dalam-dalam. Pikirannya sedang tak karuan.
“Bagaimana ini, Pak? Aku sudah kehabisan akal buat ngatasin anak perempuanmu yang keras kepala ini. Rasanya percuma saja kita bersikukuh menentang kemauannya,” keluh Sarwendah pada Ngatiman. Ia sudah di ambang putus asa, karena bahkan membujuk Sari membuka pintu kamar pun ia tak lagi mampu.
“Ah, Bu… Cobalah kau bujuk sekali lagi… Pelan-pelan saja…” timpal Ngatiman, masih kokoh pada pendiriannya. Ia benar-benar merasa gusar karena Sari ngotot ingin kawin dengan Hans, sosok laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya, tak jelas asal-usulnya. Padahal ia sudah mempersiapkan seorang calon yang hebat untuk putri semata wayangnya.
“Sari, dengarkan Ibu dulu, Nak… Cobalah kau mengenal Dimas lebih dulu. Dia anak yang baik, mapan, dari keluarga yang terpandang. Kalau kau memang tidak suka, kami tidak akan memaksa. Tapi cobalah dulu temui dia… Kasihan lho, sudah jauh-jauh datang tapi malah tidak kamu temui.” Sarwendah mencoba sekali lagi membujuk rayu dari balik pintu jati yang terkunci rapat.
“Kan sudah kubilang, aku tak mau dengan Dimas. Pilihanku hanya Hans, Bu! Hans Hans Hans titik! Kalau Bapak dan Ibu terus memaksa, lebih baik aku bunuh diri sekarang!”
“Wah, Nduk… Nduk… Jangan nekat, Nduk!” Sarwendah panik. Ia terus menggedor-gedor pintu sambil menoleh pada Ngatiman, yang juga mulai tertular kepanikan dan bangkit menghampiri Sarwendah di muka pintu kamar Sari. “Baiklah, Nduk… Kami turuti apa maumu. Dimas akan kami suruh pulang. Sekarang keluarlah. Mari bicarakan masalah pernikahanmu dengan Hans.” Akhirnya Sarwendah dan Ngatiman mengalah.
Tak seberapa lama, pintu kamar terbuka pelan-pelan. Sari muncul dengan muka yang sembab. Sorot matanya hanya berisi penderitaan. Tapi kemudian ia mulai dapat tersenyum sedikit demi sedikit.
“Sebaiknya kau ajak kemari dulu pacarmu yang bernama Hans. Kami ingin mengenalnya terlebih dulu, atau setidaknya membicarakan soal rencana pernikahan,” Kata Ngatiman dengan nada yang lunak. Ia sadar bahwa hati anaknya sedang seperti selembar kaca tipis.
Tiba-tiba Sari merengut. “Tentu saja Hans tidak bisa kemari, Pak. Dia orang Belanda. Tapi Bapak dan Ibu tak perlu khawatir. Kami sudah membicarakan semuanya. Bapak dan Ibu tinggal siapkan hari ijab kabulnya saja. Nanti dia pasti akan datang. Dia sibuk sekali…”
“Tapi, Nak… Kan tidak bisa begitu juga…” Sarwendah merasa keberatan. Bagaimanapun, Menurut Sarwendah, ide Sari tergolong nekat.
“Oke, lebih baik aku bunuh diri saja!” potong Sari sengit.
“Baiklah… Baiklah… Kami akan turuti maumu.” kata Sarwendah lekas-lekas.
***
Seminggu kemudian, di hari ijab kabul yang sederhana dan tampak tergesa-gesa, semua perangkat telah siap. Sementara Sari tampak tersipu-sipu dengan gaun kebaya putihnya, Ngatiman dan Sarwendah justru terserang rasa gelisah.
“Bagaimana? Mana calon mempelai prianya? Sudah jam 11 siang. Apa masih ada di perjalanan?” tanya Penghulu, yang tampak sudah tak sabar.
“Oh ya, tunggu sebentar ya, Pak…” jawab Sari dengan suaranya yang lembut dan riang, seolah-olah ia baru saja teringat sesuatu. Kemudian ia beranjak dan pergi menuju kamarnya.
Selang lima menit kemudian, Sari kembali ke ruang tamu, tempat acara sakral diselenggarakan. Kali ini ia datang dengan membawa laptopnya.
“Sari! Apa-apaan kamu! Masa di acara segenting ini malah mau main laptop!” Hardik Sarwendah setengah berbisik. Ia tampak gusar dengan kelakuan anaknya yang menurutnya tidak pada tempatnya.
“Tapi, Bu… Sari harus membuka laptopnya…” bantah Sari dengan setengah berbisik, membuat Sarwendah semakin tidak habis mengerti.
Di hadapan para hadirin, dengan tanpa merasa canggung, Sari membuka dan menghidupkan laptopnya. “Pak Penghulu, mari kita mulai acaranya. Hans sudah siap. Kami berdua sudah siap,” kata Sari sambil tersenyum pada Pak Penghulu.
Kemudian ia mengaktifkan aplikasi Skype. ***
Ah nice! Jadi teringat pernikahan antara bung karno dengan ibu fatmawati yg diwakilkan sebuah surat serta orang yg menjadi wakilnya. Hehe
terima kasih sudah membaca… 😀
pernikahan sdh semakin pragmatis ya… mgkn krn sblm nikah dah biasa putus2 n sex pra nikah.. shg kalo nikah gagal pun ya biasa…kan bisa kawin lagi..dgn hans kedua, ketiga….dll
Heuheu… Nice story Bintang. Lucu dan miris 😀
Ajiib sekali, mudah2an itu cuma flash fiction belaka 😀
aya-aya waae :p