KEJUTAN

Maria nyaris terlonjak kaget saat matanya menangkap sosok lelaki jangkung berkacamata dan berparas wajah baik-baik duduk manis di pojok kafe. Sosok itu tampak sedang menunggu seseorang setelah melalui perjanjian yang dibuat sematang-matangnya. Sejenak Maria ragu, apakah ia akan mendekat atau menghindarinya. Namun ia pun telah terlanjur membuat janji dengan seseorang di kafe itu, seseorang yang sudah sangat lama dinantikannya. Seseorang, yang kemudian mulai ia ragukan lamat-lamat jati dirinya.

Dulu, lelaki yang sedang duduk di bagian pojok kafe itu amat dikenalnya. Ah, siapa yang tak mengenal luar dalam mantan kekasih sendiri? Sandy memiliki goresan kisah menarik di hatinya. Namun itu dulu, ketika mereka belum memutuskan hubungan, menyudahi untuk bersayang-sayangan. Tepatnya, Maria lah yang meminta putus. Tanpa alasan. Tanpa belas kasihan.

Kisah cinta Maria dan Sandy telah berlangsung dua tahun lamanya. Bosan, tentu saja. Tak lagi ada kejutan yang membuat hatinya riang berbunga-bunga. Tak lagi ada sengatan gairah dalam tiap perjumpaan. Mereka terlanjur terbiasa satu sama lain, sampai-sampai tak lagi merasakan beda ketika ada ataupun tiada. Jenuh, itulah ungkapan sesungguhnya. Apalagi, saat itu Maria mulai tergoda oleh sosok lain yang lebih memacu hasratnya. Ia punya insting bahwa lelaki baru yang sedang diincarnya akan menjadi sosok yang berpotensi meruapkan kembali semangat hidupnya. Maria yang sudah bosan sekaligus merasa bersalah, memutuskan untuk memutus hubungan. Sandy, biarlah menjadi sekedar masa lalunya, mencari sendiri kebahagiaan tanpa perlu melibatkan dirinya lagi.

Sudah lama sekali mereka tak lagi saling berhubungan. Sandy memang masih berusaha beberapa kali menghubunginya. Bagaimanapun, masih ada sisa cinta dan kesetiaan di hati pria nestapa itu. Namun Maria telah merasa enggan. Pikirnya, lebih baik menyudahi setuntas-tuntasnya daripada meninggalkan sisa-sisa akar yang nantinya malah membelitnya. Pikirnya, ia tak mau memberi harapan palsu pada Sandy, yang pikirnya, tak punya harapan untuk masa depannya. Maria semakin menjauh, tanpa pernah menyadari bahwa Sandy menjadi semakin rapuh.

Waktu bergulir setapak demi setapak. Merajut dan menghabisi hubungan cinta seperti membalik telapak tangan bagi Maria, yang punya sejuta pesona. Lelaki tampan nan menawan itu telah ia dapatkan, telah pula ia campakkan. Kisah cintanya berganti-ganti, namun tak jauh berbeda, melulu menuangkan warna yang sama.

Namun yang ini, yang sekarang, agak berbeda. Seseorang yang semula ia kenal secara asal di media sosial ternyata cukup mampu membetikkan rasa penasarannya. Bahkan diam-diam, hasratnya berdesir tiap kali mereka bertukar sapa tanpa perlu kehadiran. Rasa ini jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Maria tertarik bukan karena ketampanan, bukan karena kejantanan. Ia terpesona oleh sebuah pembawaan yang tumbuh dalam imajinasinya.

Prasetya. Sedemikian sederhana nama akun yang mampu membuatnya berbunga-bunga. Sosok misterius itu hanya punya kata-kata, hanya punya pancaran semangat dan sedikit banyak keramahan yang mampu membuat kejenuhannya meleleh. Terlebih, ia sangat rendah hati meski banyak hal yang mampu membuatnya meninggikan diri. Kata-katanya adalah sumber inspirasi bagi jiwa-jiwa pencari. Karya-karyanya bahkan telah terbit berulang-ulang. Sungguh, ia sosok yang sangat layak dikagumi.

Namun satu hal yang membuat Maria teramat girang, teramat beruntung. Usahanya yang spekulatif membuahkan hasil yang menggembirakan. Posisinya bukan lagi sekedar seorang pengagum biasa. Mereka telah berteman lebih dekat, bersikap lebih akrab. Demikianlah anggapan Maria. Media-media yang lebih pribadi mulai menjadi pilihan. Surat-surat elektronik mulai kerap berbalas-balasan. Sekiranya, banyak hal yang mereka ceritakan. Mulai dari cara menulis yang baik, dukungan berimajinasi, kisah-kisah cinta, kompleksitas persahabatan, kesenjangan orang tua, masalah pendidikan, pemerintahan, hingga ternak peliharaan.

Pesan-pesan singkat pun mulai kerap berdatangan, memberi jeda pada kesibukan. Senyatanya, keintiman di antara mereka bukan tercipta dari bibit-bibit kemesuman, melainkan dari banyak tanya yang terlontar, banyak cerita yang tersiar. Diam-diam, Prasetya telah mengisi relung-relung imajinasi Maria sebagai sosok yang menerbitkan harapan cintanya. Sosok yang diharapkan mampu menggenapi jiwanya. Memang terlalu dini untuk mengatakan bahwa Maria jatuh cinta pada sosok Prasetya. Namun ia tak kuasa mangkir, bahwa perasaan kagum itu mulai sedikit berlebih. Memang, perempuan umumnya lebih mudah larut. Emosinya seperti air. Perasaannya seringkali berloncatan dan menari kesana-kemari. Maria adalah seorang matador yang gagal. Cinta dan kekaguman yang menyeruduknya hingga menjadi puing-puing berserakan.

Hingga tibalah saat pertemuan. Pada akhirnya, ide ini menuntut untuk dilontarkan. Maria setengah memaksa, setengah merayu, bahwa pertemuan itu akan menjadi sebuah peristiwa penting baginya.

“Ada hal yang sedikit kukhawatirkan, bahwa pertemuan akan membawa perubahan, atau perbedaan kedekatan kita yang sudah terjalin sedemikian manis dan tulus. Tak ada yang berani menjaminku…”  kata Prasetya melalui surat terakhirnya.

“Aku yang menjamin. Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Apa kau dapat mempercayaiku?” balas Maria melalui pesan singkatnya.

“Aku yang seharusnya bertanya, apakah aku dapat mempercayaimu?” Prasetya mengembalikan pertanyaannya.

Namun detik-detik pertemuan itu justru memaparnya pada sebuah kejadian yang sama sekali tak terduga. Bukan Prasetya, sosok dalam imajinasinya, yang duduk di tempat yang telah disepakatinya. Maria tak habis pikir mengapa Sandy, mantan kekasihnya, yang justru mewujud nyata di hadapannya. Sempat ada keraguan, bahwa kejadian itu hanya sekedar kebetulan belaka. Barangkali Sandy memang kebetulan sedang berada di kafe tersebut, dan Prasetya kebetulan sedikit terlambat. Namun beragam pembuktian melemahkan prasangkanya. Sandy, yang memakai baju dengan warna yang Maria dan Prasetya sepakati. Sandy, yang meletakkan novel terbaru bertanda-tangan Prasetya pesanan Maria di atas meja, bersebelahan dengan secangkir kopi yang telah setengah dingin. Dan Sandy pula yang melempar senyum penuh arti ke arahnya saat menyadari kedatangannya.

Mari terpaku. Kakinya terasa begitu berat, seolah tak lagi punya kendali untuk bergerak ke arah tertentu. “Oh, apa yang harus kulakukan?” batin Maria menjerit. Ia mulai merasa panik. Maria salah tingkah, juga sedikit gelisah. Sungguh tidak mudah menghadapi kenyataan yang tiada disangka-sangka. Apalagi ia terlanjur melabuhkan hati pada sosok Prasetya, sosok imajiner yang selama ini hadir memenuhi relung hati dan jiwanya.

Maria masih berputar-putar dengan pikirannya sendiri, tak menyadari bahwa Sandy berjalan mendekat ke arahnya. Ia tak kuasa menggerakkan tubuhnya — bahkan sekedar untuk tersenyum menunjukkan keramahan. Ia tak kuasa. Gugupnya luar biasa. Perasaan dan emosinya bergolak — antara merasa malu sekaligus merasa sangat bersalah. Emosinya berkecamuk. Ingatannya tentang segala hal buruk yang pernah dilakukan di masa lalu terhadap Sandy mulai menyeruak. Maria ragu, Sandy mampu memaafkannya. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa ngeri dengan kemarahan dan kekecewaan Sandy.

Sandy sudah berada tepat di hadapannya, menatapnya yang sedang diliputi kekalutan. Sesungguhnya sorot mata itu tak terlalu tajam dan bersifat garang, melainkan sayu, penuh keteduhan. Namun Maria tak kuasa menantangnya. Ia menundukkan kepalanya, seperti prajurit yang kalah sebelum mengadu senjata. Tangan Sandy lah yang menegakkannya kembali.  Jemari kokoh itu menyentuh lembut dagunya. Beberapa detik kemudian, kedua mata mantan sepasang kekasih itu sempat saling beradu. Jiwa masing-masing berusaha saling menyelami melalui pancaran cahaya di kedua bola mata yang mencerminkan riuhnya rahasia kalbu.

“Kau masih mengingatku, kan?” sapa Sandy lembut. Kemudian ia menggamit perlahan tangan Maria, mengajaknya ke kursi yang telah dipesan dan mempersilakan duduk. Sandy memanggil seorang waitress. Tanpa pikir panjang, ia memesan cappuccino kesukaan Maria.

“Jadi, ternyata kamu Prasetya?” tanya Maria hati-hati, sedikit kikuk.

Sandy tak lekas menjawab, melainkan justru melempar senyum penuh arti.  Ia cukup menyadari bahwa terselip gurat kekecewaan di hati Maria.

“Jadi itu sebabnya kau tak pernah sekalipun mengizinkanku melihat fotomu?” Maria kembali mencecarnya, namun lagi-lagi, Sandy hanya membalasnya dengan senyuman.

“Apa kau kecewa setelah mengetahui bahwa ternyata Prasetya adalah Sandy? Kini kau mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Meski kau sudah berjanji bahwa takkan ada yang berubah setelah kita bertemu, tapi aku tak berhak mengendalikan perasaanmu. Marahlah, jika kau ingin marah padaku.”  Sandy terlihat pasrah, namun sekilas intonasinya  terdengar seperti melemparkan tantangan pada Maria.

“Aku hanya….”

“Aku minta maaf karena yang kau temui adalah aku, yang tak sesuai dengan harapanmu…” potong Sandy.

“Bukan begitu. Dengarkan aku dulu…”

“Aku tahu bahwa aku hanyalah masa lalu untukmu. Yang kau harapkan adalah Prasetya, yang sedang mengisi relung-relung imajinasimu. Prasetya berhasil menarik hatimu, tapi kini kau menemukan kenyataan bahwa Prasetya adalah Sandy. Sementara Sandy adalah yang mati-matian kau hindari. Sekarang terserah padamu, dengan apa yang akan kau lakukan setelah ini. Ah, seharusnya aku tak perlu menurutimu untuk menciptakan pertemuan ini. Andai saja begitu, barangkali kita akan tetap bahagia di tempat masing-masing…” Sandy melemparkan pandangannya ke arah lain, demi mengucap hal-hal yang memedihkan hatinya.

Maria terdiam, membiarkan Sandy meluapkan segenap isi hatinya. Hal seperti itu tak pernah dilakukannya di masa lalu. Dulu, Maria yang terlampau cerewet, terlalu menuntut. Egonya menindas kepasrahan Sandy, yang lebih senang memilih bungkam.

Hingga Sandy mulai sedikit rileks, dengan hati-hati Maria mengatur diplomasi.

“Aku yang seharusnya meminta maaf, bukan kamu… Maafkan masa lalu kita… Barangkali aku memang bodoh sekaligus egois…” Sejenak Maria merasa mengambang, mencipta jeda. Ia menyadari bahwa keputusannya ada di ujung lidahnya. “Namun Prasetya ataupun Sandy, hal itu takkan mengubah sikap dan perasaanku. Bukankah aku sudah berjanji? Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Jujur saja, ketika mengetahui bahwa ternyata Prasetya adalah kamu, sebenarnya aku justru merasa lega.  Takkan kupungkiri bahwa aku mengagumi sosok Prasetya hingga sangat penasaran dan ingin menemuinya. Namun ternyata aku menemukanmu. Separuh hatiku berharap engkau telah melupakan masa lalu dan memaafkanku. Tapi sepertinya itu sulit… Aku mengerti… Maafkan aku, Sandy… Maaf telah membuat luka yang dalam di hatimu…”

Sandy terdiam. Perasaannya berkecamuk, namun ia pu tak hendak mengamuk. Bagaimanapun, ia masih mencintai Maria. Rasa cinta itulah yang membuat mati rasa sakit di hatinya. Sejujurnya, Sandy masih senantiasa berharap bahwa cinta yang menghilang itu dapat hadir kembali dan terajut dengan lebih indah. Kala menatap Maria, harapannya terbit. Sandy tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, kehilangan Maria untuk yang kesekian kali. Inisiatifnya yang menuntunnya berlutut di samping gadis itu. Tangannya meraih jemari gadis mungil itu, kemudian mendekap dan menciumnya dengan lembut.

“Aku mencintaimu Maria… Selalu begitu. Meski demikian, aku tak akan memaksamu untuk mencintaiku. Tapi aku pun tak bisa berpura-pura mengatakan bahwa aku bukan Prasetya. Aku Prasetya, sekaligus Sandy. Jika lebih baik bagimu memisahkan antara Sandy dan Prasetya, kumohon, kita hentikan saja semuanya. Itu akan membuat segalanya lebih baik untuk kita.”

Kemudian Sandy bangkit dan meraih novel yang ada di atas meja, menyerahkannya pada Maria. Sejenak ia memuaskan diri memandangi sosok Maria yang masih terpaku. Ia melihat air mata yang mengalir di pipi mantan kekasihnya. Namun Sandy tak hendak berbuat banyak. Ia memilih meninggalkan Maria yang tengah mengusap bulir-bulir bening di pelupuk mata dengan jemarinya.

Pandangan Maria beralih pada novel yang diberikan Sandy. Lamat-lamat ia membaca judul besar yang terpampang pada cover.

“Sandy..!”

Sandy menghentikan langkahnya, memberikan waktu pada Maria untuk meneruskan ucapannya. Hatinya semakin bergemuruh.

“Aku akan menerima novel ini jika kau melakukan hal yang sama…”

Sandy membalikkan tubuhnya.

“Maksudmu?”

“Ya, aku akan dengan senang hati menerima novel ini jika kau memberiku kesempatan kedua,” kata Maria lirih. Senyumnya terbit, sementara Sandy mencoba menangkap kedalaman makna di balik ucapan Maria. Seperti bisa membaca senyuman Maria, Sandy pun tersenyum bahagia, kembali menuju ke arah Maria. Lekas ia mendekap gadis mungil itu dengan pelukan hangat. Hanya lega yang tersisa di dadanya.

Ada yang berbeda di hati Maria. Perasaan indah yang membuatnya merasa sangat riang, berloncat-loncatan bak kupu-kupu di musim bunga. Perasaan yang sempat menghilang dalam dirinya, namun kini tiba-tiba hadir kembali dalam hatinya. Tak pernah terbersit sekalipun dalam pikiran, bahwa semesta akan membawanya kembali ke pelukan Sandy. Namun ia hanyalah mahluk kecil tak berdaya yang tak mampu menolak kejutan. Kejutan manis, demikian ia memaknainya dalam hati.

Maria tak ingin melepaskan Sandy, seperti halnya Sandy tak ingin melepaskan dekapannya pada Maria. Mereka tak menyadari ketika novel itu terjatuh di lantai. Novel berjudul ‘Kesempatan Kedua’ yang dipesan Maria pada Prasetya — atau Sandy. ***

 

 

Karya duet Bintang Berkisah & Rini Adhiatiningrum (@riniebee) #kisahkejutan

Editor naskah: Bintang Berkisah

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s